Semilir angin berembus menusuk kulit. Daun-daun kering berguguran di buatnya. Brrr ... dingin sekali musim dingin kali ini. Seorang gadis berjalan terburu-buru sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Mengancingkan Cardigan Rajutnya karna memang cuaca pagi itu sangat dingin.
"Taksi!" teriak Irish pada sebuah taksi. Ia bergegas masuk, namun ia terkejut karena pada saat bersamaan seorang pemuda masuk ke dalam taksi juga. "Eh kau siapa?" ucap Irish galak.
"Kau yang siapa? Aku yang masuk duluan. Keluar sana!" pemuda itu kesal.
"Enak saja. Sudah jelas aku duluan yang masuk ke dalam taksi ini. Kau yang keluar!" Irish mendorong pemuda itu.
"Maaf—Tuan dan Nona, kalian ingin pergi ke mana?" ujar pak sopir menyela.
"Diam!" Keduanya membentak si sopir, hingga sopir itu tersentak kaget dan terdiam. Ia tampak sangat ketakutan.
"Kau keluar!" Irish membuka pintu taksi dan mendorong pemuda itu. "Jalan pak!" Irish menutup pintu taksi. Dia menoleh ke belakang dan melihat pemuda itu tengah kesal.
"Perempuan gila!" teriaknya menyepak angin di atas aspal. Sementara taksi yang di naiki Irish berhenti di sebuah perusahaan.
❣❣❣
Benjamin van De Haan masuk ke dalam rumahnya, dia melangkah dengan begitu cepat tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Beberapa pelayan hanya memperhatikan tanpa berani menyapanya. Ben, begitulah panggilan akrabnya, masuk ke dalam kamar, dan melempar jaketnya ke sofa. Dia langsung menjatuhkan badannya di atas ranjang, ingatannya kembali pada kejadian pagi tadi.
"Hiissss ... wanita sialan!" gerutu Ben. "Awas saja kalau sampai aku bertemu dengannya lagi".
Tok ... tok ... tok!
Terdengar suara pintu diketok, seorang wanita masuk ke kamar.
"Kau sudah pulang, sayang?" wanita itu berjalan mendekati Ben dan duduk di samping Ben. "Kenapa mukamu terlihat kesal?" tanya wanita itu dengan lembut.
"Tidak ada apa-apa hanya sedikit letih. Apa aku harus melakukannya besok? Rasanya aku belum siap." Ben menghela napas.
"Ini hanya sementara, sayang." Mengusap lembut rambut Ben, kemudian beranjak meninggalkan Ben di kamar. "Ah—Ibu, masak masakan kesukaanmu. Turunlah jika kau lapar. Sudah lama kita tidak makan bersama sejak kau memilih tinggal di apartemen."
"Ya, nanti aku akan turun," jawab Benjamin. Pemuda itu menghela napas panjang dan mengembuskannya, dia berpikir apakah dia benar-benar sanggup melaksanakan amanah Ayahnya untuk menggantikannya sementara.
❣❣❣
Hujan rintik-rintik di sore hari, jalanan penuh dengan genangan air. Tampak seorang gadis masuk ke sebuah cafe dan memesan Chocolate Orange. Terlihat seorang pemuda yang sedang memperhatikannya terus. Ketika hendak membalikkan badan ....
Bruukkk ....
Irish bertabrakan dengan seorang pemuda dan minuman coklat orange yang dia bawa tumpah mengenai baju pemuda itu.
"Dasar ceroboh! Mana tumpah lagi dibajuku!" pemuda itu ngomel-ngomel.
"Maaf ... maaf!" Irish langsung mengambil tisu dan membersihkannya. Ketika mata mereka saling pandang. Irish pun sudah bisa menerka kalau pemuda ini adalah orang yang tempo hari dia usir dari taksi.
"Sepertinya wajahmu sangat familiar!" pemuda itu berusaha mengingat-ngingat. "Ah ... kau kan perempuan yang mengusirku dari taksi waktu itu, kan?" Ben menunjuk wajah gadis itu dengan jari telunjuknya.
"Hah? Maaf mungkin anda salah orang," ucap Irish langsung nyelonong pergi.
"Hei ... sopan sekali kau ini, apa orang tuamu tidak mengajari sopan santun!" Ben berjalan mengikuti Irish dan langsung menarik kasar tangan Irish.
"Apa seperti ini seorang laki-laki memperlakukan seorang perempuan di tempat umum?" Irish langsung menginjak kaki Ben dan langsung keluar cafe menyetop taksi.
"Auww!" teriak Ben ketika gadis itu menginjak kakinya. "Perempuan sialan! Baru kali ini ada perempuan yang berani melawanku!" seketika Ben sadar kalau pandangan semua pengunjung cafe tertuju ke arahnya. "Sial!" ucap Ben menahan malu dan bermaksud pergi dari cafe, tapi dicegah seseorang.
"Maaf Tuan, Anda belum membayar makanan anda!" ucap pelayan cafe itu dengan ramah. Ben kaget dan langsung memberi uang pas dan pergi menuju mobilnya.
❣❣❣
Bip ... bip ... bip ....
Pintu terbuka, Irish melepas sepatunya dan langsung masuk duduk di sofa.
"Oh ... kau sudah pulang?" suara Alex dari dapur mengagetkan Irish.
"Kak Alex sudah pulang? Tidak seperti biasanya ...." Irish mendongak ke arah dapur.
"Ditanya, kenapa malah balik bertanya!" Alex berjalan sambil membawa segelas teh. Irish masih mikir mencerna perkataan kakaknya.
"Itu kenapa mukamu dilipat-lipat seperti kertas kusut saja!" tanya Alex yang duduk di sebelah Irish.
"Lagi kesal sama orang, Kak!" Irish menarik napas panjang dan langsung mengembuskan lagi.
"Kenapa? Ada yang mengganggumu?" tanya Alex, "Biasanya kalau soal seperti ini langsung curhat sama Kakak."
"Yang jelas itu, aku benci dia. Waktu itu, aku usir dia dari taksi dan hari ini aku menumpahkan coklat ke bajunya." Bla ... bla ... bla ... Irish menjelaskan panjang kali lembar kali tinggi.
"Pasti kau tidak langsung minta maaf sama dia." Alex menghela napas dan meminum tehnya.
"Aku injak kakinya!" ceplos Irish dan Alex menggeleng-gelengkan kepala.
"Memangnya Kakak mengajarimu seperti itu, Irish?" Alex menggetok kepala adiknya. Alex sudah hafal betul dengan watak adiknya ini. "Lain kali kau tidak boleh seperti itu, sudah tahu salah, ya minta maaf. Wajar saja kalau dia marah-marah, orang kau sendiri tidak meminta maaf. Lain kali kalau bertemu dengan dia lagi langsung minta maaf." Alex menasehatinya.
"Jangankan minta maaf, ketemu saja sudah ogah, Kak!" Irish mengerucutkan mulutnya karena masih kesal.
"Jangan bilang seperti itu, pamali loh!" Alex berjalan menuju meja makan. "Apa kau sudah makan? Kakak membeli makanan kesukaanmu, bersihkan dirimu terlebih dahulu, baru kita makan."
Irish mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Alex menyiapkan piring dan segelas air putih untuk adik kesayangannya itu. Selepas mandi, Irish langsung menuju ke meja makan.
"Ceker pedas!" ucap Irish ketika membuka bungkusan di meja, dia pun langsung terdiam menatap makanan itu. Alex yang menyadarinya langsung mendekati Irish memegang pundak gadis itu.
"Kenapa?" tanya Alex. "Apa kau teringat Ayah dan Ibu?" tanyanya lagi. Irish hanya diam menunduk, mengingat Ibunya selalu membuatkannya ceker pedas dan dimakan bersama dengan Ayah, Ibu, dan Kakaknya ketika menonton TV.
"Ayah dan Ibu sudah tenang di alam sana, sudah jangan bersedih lagi. Ayo di makan," kata Alex mencium kepala Irish. Dia pun memakan dengan lahap bersama dengan Alex. Selesai makan malam Irish langsung mencuci piring dan gelas juga membersihkan meja makan. Setelah itu Irish berjalan menuju ke ruang kerja kakaknya dan melihat kakaknya sedang membaca buku.
"Kak, aku mau istirahat dulu," ucap Irish.
"Kakak tahu kau sangat merindukan mereka. Bagaimana kalau besok kita ke makam Ayah dan Ibu." Alex menutup buku dan melepas kacamatanya menatap Irish dan gadis itu hanya mengangguk, "Baiklah besok pulang kerja kakak akan menjemputmu."
"Baiklah Kak. Selamat malam, selamat beristirahat. Kak Alex juga jangan tidur terlalu malam," ujar Irish, kemudian berlalu dari ruang kerjanya.
Ayah ... Ibu ... Irish sudah tumbuh menjadi gadis yang ceria dan kuat sekarang. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir lagi, aku berjanji akan menjaganya sampai Irish menemukan seseorang yang benar-benar bisa menjaganya, 'batin Alex, lalu berdiri kemudian mematikan lampu duduk dan beranjak menuju kamarnya.
❣❣❣
Benjamin berjalan menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Dia terpaksa menggunakan tangga darurat karna lift sedang dalam perbaikan. Ketika akan memutar kenop pintu. Pintu itu mendadak terbuka dan alhasil jidatnya kebentur pintu.
"Auuww!" teriak Ben sambil memegangi jidatnya. Irish yang tak tahu jika ada orang di balik pintu pun ikut terkejut.
"Maaf ... maaf ... aku tidak sengaja!" ucapnya sambil membungkuk. Ketika mata itu beradu pandang lagi ....
"Kau lagi ... kau lagi! Kenapa setiap bertemu denganmu, aku selalu sial!" Ben menatap garang ke arah gadis itu.
"Maaf, aku tidak ada waktu meladeni hal yang tidak penting seperti ini." Irish cuek dan masa bodoh.
"Tidak penting katamu!" Ben menunjuk jidatnya yang merah.
"Maaf, aku sedang buru-buru dan aku juga sudah malas melihat mukamu!" Irish cuek dan berlalu pergi meninggalkan Ben menuruni tangga tanpa memperdulikan teriakan pemuda itu. Kemudian dia berhenti sambil berpikir.
Kenapa cowok itu ada di perusahaan ini? Ah, mungkin dia hanya kurir yang mengantarkan barang,' pikirnya dalam hati.
Ben masing berdiri di depan pintu darurat sambil diam dan berpikir
Kenapa gadis sialan itu ada di perusahaan ini? bertanya-tanya dalam hati.
"Tuan muda," teriak sekretarisnya membuyarkan lamunan Ben. "Kenapa dengan jidat Anda, Tuan muda?" tanya sekretaris itu menunjuk jidat Ben.
"Ah, ini hanya kecelakaan kecil." Ben memegang jidatnya.
"Oh, kalau begitu mari Saya antar Tuan Muda ke ruang kantor."
.
Ayana celingak-celingak mencari Irish, tapi yang orang dia cari tidak ada di tempat.
"Hey ... Maria, apa kau lihat Irish?" tanya Ayana. Maria mengangkat bahunya menandakan dia tidak tahu.
"Hey Ryan, apakah kau melihat Irish?" tanya Ayana. Ryan menggelengkan kepala.
"Ke mana dia? Padahal sudah hampir masuk jam kantor. Ini orang kenapa suka sekali menghilang," bertanya pada dirinya sendiri. Meraih ponselnya dan mengetik sesuatu.
"Hallo," suara dari seberang sana.
"Irish, kau di mana? Sudah hampir jam kantor ini, kenapa kau punya hobi menghilang begitu saja!" teriak Ayana.
"Aku sedang berada di lobi bawah. Kenapa kau ini? Merajukkah? Baru ditinggal sebentar saja sudah kelimpungan seperti itu," canda Irish.
"Hey, aku ini bukan merajuk. Cepatlah kau naik sebelum kena tegur lagi!" balas Ayana.
"Iya ... iya ... sebentar lagi aku na--" telepon langsung diputus oleh Ayana. "Kenapa ini orang seenaknya saja langsung main mutusin sambungan telepon!" beonya.
Semua pegawai berkumpul ketika sekretaris Adrima memperkenalkan Benjamin van De Haan. Beberapa pegawai wanita mulai berbisik-bisik membicarakan ketampanan Benjamin.
Ketika Benjamin memperkenalkan diri, matanya langsung terfokus pada seorang gadis yang baru datang membawa tumpukkan map menuju tempat mesin fotokopi. Merasa sangat familiar dengan gadis itu sehingga mengingatkan kejadian tadi pagi ditangga darurat. Irish terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga dia tidak memperhatikan yang sedang terjadi di ruangan itu.
"Aku ketinggalan apa nih, Ay? Aku dengar tadi di lobi bawah banyak yang membicarakan CEO baru," tanyanya pada Ayana.
"Pak Adrima baru saja memperkenalkan CEO baru." Ayana menjelaskan sambil menunjuk ruang Dirut.
"Benarkah?" Irish menatap ke ruang Dirut. "Asal jangan galak saja orangnya," imbuh Irish.
"Dia benar-benar tampan." Ayana tersenyum menepuk pundak Irish.
"Hey, kau ini kenapa, Ay? Seperti apa sih dia, kenapa aku jadi penasaran?" celoteh Irish disambut tawa mereka berdua.
"Berharap aku punya kekasih seperti dia!" Ayana memasang muka imutnya.
"Bagaimana dengan Hendrick? Apa kau mau memecat dia?" tanya Irish.
"Ah, aku lupa kalau aku sudah punya kekasih!" Ayana menempuk jidatnya sendiri.
"Hubungan kalian masih baik-baik saja kan?" tanya Irish lagi.
"Entahlah ...." Ayana mengangkat bahunya.
"Irish, file yang tadi kau fotokopi tolong serahkan pada pak Ben dan mintalah tanda tangannya. Kau kan tadi belum berkenalan dengan CEO baru kita." Ryan menyerahkan beberapa map pada Irish.
"Baiklah ...." Irish menerima uluran map dari Ryan dan berjalan menuju ruang Dirut.
Tokk ... Tokk ... Tokk ....
"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan yang mempersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk.
"Selamat siang, Pak ...," sapa Irish ramah. Bersamaan dengan kalimat yang diucapkan Irish selesai, kursi itu memutar dan tampaklah seorang pemuda berhidung mancung dan berbibir indah dibalut dengan jas berwarna hitam dan rambut sedikit disisir ke belakang memperliatkan jidatnya. Seketika Irish langsung terperanjak kaget menatapnya. Pemuda itu tersenyum smirk.
"Kau!" Irish terlihat sangat kaget dengan apa yang dia lihat saat ini.
"Ada apa? Kenapa kau kaget melihatku?" tanya pemuda itu. "Apa aku terlihat seperti hantu?" imbuhnya memegang keningnya yang memerah.
Irish tidak mau ambil pusing masalah di tangga darurat tadi, dia pun langsung ke pokok intinya.
"Tolong tanda tangani beberapa file ini, Pak!" Irish berusaha tenang.
Sial sekali aku ini, ternyata pemuda ini anaknya pak Dirut!' batin Irish sedikit menggigit bibir bawahnya.
Benjamin berdiri membenahkan kancing jasnya dan berjalan mendekati Irish.
"Irish van Willem!" ujarnya memegang ID perusahaan yang terpasang dibaju Irish. "Jadi kau bekerja di perusahaan ini?" imbuhnya berjalan ke belakang tubuh gadis itu dan memegang pundaknya. Irish kaget dan berusaha tetap tenang.
"Sepertinya kau harus menarik kata-katamu tadi pagi yang mengatakan kau malas melihat mukaku dan jangan pernah muncul di depanku lagi karena apa?" Ben terdiam. "Karena setiap hari kita akan bertemu terus di kantor ini!" bisik Ben di telinga Irish. Gadis itu sedikit merinding. "Ah, satu lagi. Soal jidatku ini dan kejadian-kejadian yang lain, seperti menginjak kakiku, menumpahkan coklat di bajuku dan mengusirku dari taksi—" Ben terdiam sebentar sambil menatap Irish dengan tajam, "Aku tidak akan mempermasalahkannya, tapi dengan satu syarat. Sebagai gantinya kau harus menuruti semua perintahku!" Ben tersenyum nakal.
"Apa kau mengancamku? Bagaimana kalau aku tidak mau menurutinya, apa kau akan memecatku?" akhirnya Irish buka suara menanggapi Ben.
"Ah ... begitukah cara bawahan bicara pada atasannya? Aku tidak akan memecatmu karena Ayahku yang merekrutmu! Tapi jika kau tidak menuruti perintahku, aku akan membuatmu tidak betah kerja di sini!" ancam Ben sambil menanda tangani semua berkas. Ben menutup map itu dan memberikannya pada Irish.
"Terima kasih!" ucap Irish cuek sambil membungkukkan badan dan kemudian membalikkan badannya berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruangan.
"Hey! Siapa yang menyuruhmu untuk keluar dari ruangan ini!"
Irish menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap Ben.
"Aku belum menyuruhmu untuk keluar dari ruangan ini!" Ben berjalan mendekati Irish, dihirupnya parfum yang melekat di tubuh Irish.
"Aku suka bau parfummu! Itu membuatku tergoda untuk memelukmu!" bisik Ben di telinga Irish.
Irish tampak risih dan sedikit merinding karena bisikan Ben di telingannya, akan tetapi Irish mencoba untuk tenang.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" ucap Irish kesal.
"Hmm ... tidak ada, kau boleh keluar dan kembali bekerja!"
Irish berjalan menuju meja kerjanya dengan muka kesal, hal ini membuat Ayana heran melihat teman kantornya itu.
"Kau kenapa?" tanya Ayana heran melihat Irish tampak kesal setelah keluar dari ruangan dirut.
"Tidak apa-apa!" jawab Irish dengan senyum yang terlihat seperti dipaksa.
"Tapi kenapa pak Ben memelihatmu terus?" tanya Ay sambil sedikit menurunkan kepalanya. Irish langsung melirik ke arah ruang Dirut dan melihat pemuda itu tersenyum.
"Dasar cowok kurang ajar!" Irish menjatuhkan kepalanya ke meja.
"Sebenarnya ada apa di antara kalian?" Ayana terlihat penasaran.
"Jangan tanya sekarang Ay, nanti akan aku ceritakan!" Irish menopang dagu. Ayana pun hanya mengangkat bahunya dan mereka kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.
❣❣❣
Alex memilah-milah berkas yang akan ditanda tanganinya, sesekali dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Jam menunjukan pukul 3.45 pm. Dia menanda tangani sebuah proposal kemudian menutup map dan merapikannya di atas meja. Segera dia keluar ruangan dan menemui pak Bernad.
"Pak Bernad, sore ini Saya ada janji. Berkas sudah Saya tanda tangan, pak Bernad bisa mengambilnya di meja."
"Baik Tuan Muda, semua masalah di kantor akan Saya selesaikan," ucap pak Bernad.
"Terima kasih, Pak." Alex tersenyum dan membungkuk hormat.
Sementara di halte bus, Irish sedang menunggu jemputan bersama Ayana. Ay tampak sibuk dengan ponselnya, sepertinya dia sedang mengirim pesan pada seseorang.
Sebuah mobil silver metalik melintas di depan kedua gadis itu dan tiba-tiba ....
Ciitttss!
Suara rem mobil berdesit dengan aspal. Seketika kedua gadis itu terkejut dan langsung berlari mendekat. Benjamin langsung keluar dari mobil begitu pun juga dengan pemuda yang hampir saja menabrak mobil Ben.
"Hei! Kau bisa menyetir mobil tidak!" Ben menggebrak mobil pemuda itu.
"Tenang bro. Ku lihat mobilmu tidak ada yang lecet, jadi kenapa kau mesti marah-marah!" pemuda itu membela diri.
"Kau!" ucapan Ben terhenti ketika lengannya ditarik oleh pak Adrima.
"Tuan Muda, tolong jaga wibawa Anda. Jangan diperpanjang lagi masalah ini. Sepertinya mobil Anda juga tidak ada yang lecet." Pak Adrima menenangkan Ben. Ben hanya melirik pemuda itu kemudian masuk ke dalam mobil dan melaju pergi.
"Dasar cowok angkuh!" gerutu Irish, "Ayana, bukankan itu Hendrick?" Irish menunjuk pemuda yang baru saja ribut dengan atasannya.
"Iya benar. Hendrick!" teriak Ayana melambaikan tangan ke arah Hendrick. Pemuda itu pun langsung menghampiri Ayana.
"Maaf aku telat!" Hendrick tersenyum.
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Ayana.
"Tidak apa-apa. Pemuda itu saja yang membesar-besarkan masalah." Hendrick memegangi perutnya.
"Kenapa dengan perutmu?" tanya Ayana khawatir.
"Hmm ... hanya lapar. Baiklah, ayo kita pergi makan dulu sebelum mengantarmu pulang." Hendrick menarik tangan Ayana.
"Irish, aku duluan, ya!" Ayana melambaikan tangan ke arah Irish dan masuk mobil.
"Hati-hati Ay, sampai ketemu besok!" Irish tersenyum manis. "Enak sekali bisa diantar jemput kekasihnya, sedang aku?" menundukkan kepala dan membulatkan pipinya. Bunyi klakson mobil mengagetkan gadis itu dan senyum pun mengembang di bibirnya.
"Kakak, sudah beli bunganya?" tanya gadis manis itu setelah masuk ke mobil.
"Sudah dong. Maaf, Kakak agak telat. Banyak kerjaan di kantor." Alex mengacak-acak rambut gadis itu.
To be Continue,
Irish duduk disofa menyilangkan kaki, matanya menatap televisi di depannya dengan tangan memegang remote dan sedikit cemilan di sampingnya. Namun pikiran gadis itu entah melayang ke mana. Menekan remote TV secara bergantian, mengganti dari channel satu ke channel lainnya. Entah apa yang dicari gadis itu, sepertinya dia tidak fokus menonton acara TV. "Arrgghh!" teriaknya mengagetkan sang kakak yang sedang fokus membaca di belakangnya. "Kau ini kenapa sih, teriak-teriak tidak jelas seperti itu!" Alex membalikkan badannya melihat sang adik mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kaak!" teriaknya sambil menutupi wajahnya dengan bantal sofa. "Iya ada apa, Irish sayang?" jawab Alex "Kakaak!" teriakannya lebih kencang lagi.
Sementara itu di Rumah Sakit Leiden. Tampak seorang pemuda berjalan menuju kamar 24b. Setelah sebelumnya telah membayar semua administrasi Rumah Sakit. Pemuda itu tampak begitu bahagia. Di kamar 24b seorang wanita sedang membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas. "Bibi Dennisa, sudah siap pulang?" Alex tersenyum. "Bibi sudah siap, Tuan Muda." Wanita tua itu tersenyum. "Baiklah, ayo kita pulang, Bi." Alex memapah wanita tua itu keluar dari kamar rawat inapnya. "Terima kasih, tuan muda sudah mau menolong dan merawat Bibi," ucap bibi Dennisa. "Ah, tidak masalah, Bi. Justru aku yang harus berterima kasih pada bibi karena sudah mau merawatku dan juga Irish setelah Ayah Ibu meninggal. Bagiku bibi sudah seperti orang tua kedua bagi kami berdua." Alex tersenyum. "Tuan muda, bolehkah bibi meminta satu permintaan ...." pinta Dennisa. "Permintaan apa itu, Bi?" tanya Alex. "Tolong antar bibi ke makam tuan dan nyonya besar sek
Cinta kadang membuat seseorang terluka dan juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia. Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walaupun tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya. Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini menggambarkan hati seorang gadis bernama Ayana. Dia teringat kejadian tiga bulan yang lalu. Musim gugur,
Tokk ...Tokk ...Tokk .... Alex mengetuk pintu kamar Irish. Namun, tidak ada respon dari gadis cantik berlesung pipi itu. Akhirnya Alex membuka pintu kamar Irish, tapi tidak mendapatkan si empunya kamar di dalam. "Kakak sedang apa di kamarku?" Irish muncul tiba-tiba di belakang Alex. "Emm ... itu—anu, kakak mau tanya sesuatu." Alex menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Irish merasa heran melihat gelagat aneh dari kakaknya. "Kakak mau tanya tentang apa? Kok tumben." Irish menyeruput susu hangatnya. "Itu—soal tadi pagi—kakak melihat seseorang memanggulmu, apakah dia teman sekantormu?" tanyanya pada Irish. Irish mengernyit bingung menatap kakaknya. Mengingat-ingat siapa yang tadi pagi memanggilnya. "Ah ... Ayana maksud kakak? Kenapa kak?" Irish bertanya balik pada Alex.
'Ting tong' "Irish!" Alex berteriak dari ruang tengah. "Iyaaa ...," sahut Irish dari kamar. "Ada apa kak?" Irish menghampiri Alex. "Ini ...." Alex menyodorkan sepaket bunga pada Irish. "Bunga lagi?" Irish menerima sodoran paket bunga dari kakaknya. -'From your Secret Admirer. Bagaimana bunganya? Cantik 'kan? Secantik orang yang menerima dan membaca surat ini'- Kira-kira begitulah isi surat yang terselip di buket bunga untuk Irish. Beberapa hari ini Irish selalu mendapat kiriman bunga mawar pink kesukaannya dengan isi surat yang sama seperti surat tadi. Irish sendiri heran, kenapa orang ini tahu bunga kesukaannya. "Dari siapa?" tanya Alex terlihat penasaran pada kejadian akhir-akhir ini.
"Kau yakin tidak apa-apa Ay?" tanya Irish mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu. "Aku tidak apa-apa kok. Kau pulanglah dulu!" Ayana tersenyum. "Tapi kau terlihat sangat pucat!" "Aku hanya kecapean saja. Kau pulang saja dulu!" "Baiklah kalau kau memaksa, tapi kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya, Ay." "Iya ... jangan khawatirkan aku, segeralah ke rumah sakit." Ayana mendorong Irish masuk ke taksi. Ayana berjalan pelan menyusuri trotoar. Keringat dingin mulai mengucur, kepalanya terasa berat, pandangannya mulai terasa kabur. BRUUKKK .... Seketika orang-orang berkerumun mendekati Ayana yang tiba-tiba pingsan. Alex keluar dari loby hotel, pandangannya tertuju pada kerumunan orang-orang. "Ada apa itu pak Bernard? Kenapa ramai sekali?" tanya Alex. "Ada seorang gadis pingsan tuan muda," jawab pak Bernard. "Gadis?" Alex mengerutkan keningnya dan berjalan mendekati kerumunan orang-ora
"Hallo ... Ayana, bagaimana kabarmu?" sapa Irish merangkul Ay yang berjalan menuju lift. "Hallo juga Irish. Aku sudah agak lebih baik kok, kau sendiri bagaimana?" Ay mengedipkan matanya. "Aku? Kau lihat sendiri," ujar Irish tertawa. Kedua gadis itu masuk ke lift bersama. Namun, sebuah tangan menahan pintu lift yang hampir tertutup. Benjamin masuk ke dalam lift. "Selamat pagi, Pak!" Keduanya membungkuk hormat. Lift naik menuju lantai tiga. _________ Jam kantor telah berakhir, Ayana langsung pulang, tapi Irish tertahan di kantor karena bos besarnya memberinya banyak tugas. "Apa-apaan ini! Kenapa hanya aku saja yang harus lembur. Balas dendamkah dia?" Gerutuk Hyena. Drrttt .... Drrttt .... Sebuah panggilan masuk dari kakakn
Episode sebelumnya, Irish dan Benjamin terjebak di kantor karena terjadi pemadaman listrik. Tiga puluh menit kemudian. Pak Adrima langsung menuju ruang kantor di mana Ben sedang menunggunya di sana. "Kenapa tuan muda tidak bilang kalau malam ini akan lembur, jadi saya bisa meminta pemadaman listrik di undur dulu," ujar Adrima. Namun, Benjamin hanya cengar-cengir menanggapinya hal itu. "Jangan terlalu sering menjahili gadis ini, tuan muda. Kasihan dia," imbuh pak Adrima menatap Irish yang sedang tidur. "Ah tidak ... tidak ... bukan seperti itu," uhar Ben mengelak. "Lebih baik kita pulang saja. Mumpung belum terlalu malam. Bangunkah saja gadis itu," usul pak Adrima, sekretaris andalan keluarga Van Dee Han. "Biar dia kugendon
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al