My Actor
Alana memilih menjauh dari keriuhan dan gegap gempita acara malam itu. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Namun, tidak ada sudut yang bisa menjadi tempatnya menyepi. Sorot lampu, kamera, dan hilir mudik kru acara hampir menyapu seluruh area ruangan.Alana mencoba memanjangkan leher. Matanya liar mencari keberadaan seseorang. Namun, tentu tidak mudah untuk mencari satu orang di antara ramainya orang di ruangan itu.Setelah sesaat larut dalam pertimbangan, Alana memutuskan untuk keluar dari ruangan tempat digelarnya fashion show tersebut.Ketika akan menyentuh pintu keluar, langkah Alana menggantung karena namanya disebut."Alana, mau ke mana?""Mas Davan!" Alana kaget karena tiba-tiba sosok yang sedari tadi dicarinya tiba-tiba sudah berada di belakangnya."Aku mau keluar dulu, Mas. Mau menelepon," jawab Alana sedikit kikuk.Berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Davan membuat Alana agak kesulitan mengendalikan degup jantungnya. Paras Davan yang kharismatik mampu membuat setiap mata yang melihatnya menjadi terbius akan pesonanya. Termasuk Alana."Kamu udah selesai di sini atau belum?""Hmm ... udah, sih, Mas. Udah koordinasi sama timnya King Jhoni," ujar Alana setelah mampu mengatasi gejolak perasaannya."Okey, kalau gitu gimana kalau kita keluar sebentar? Kamu nggak keberatan, kan? Atau kamu sudah punya janji?""Sekarang? Bisa, kok, Mas. Aku nggak ada janji sama siapa-siapa.""Nggak ada yang nyariin 'kan nanti?"Alana tersenyum tipis lalu menggeleng."Nggak, Mas. Nggak ada," lanjutnya mempertegas jawaban yang telah didahului lewat bahasa tubuh."Jadi, okey, ya? Yuk!"Davan merentangkan satu tangannya mempersilakan Alana berjalan.Masih di kompleks hotel Queen. Di sebuah restoran dengan live musik, Alana dan Davan duduk berhadapan."Kamu mau makan apa?" tanya Davan disertai senyumnya yang hangat."Makasih, Mas. Aku minum aja.""Okey. Benaran, nih, aku nggak menganggu waktu kamu?""Duh, Mas, kayak aku yang siapa aja, sih, Mas. Yang ada juga Mas Davan yang super sibuk. Aku ini apalah, cuma seorang manajer biasa," ujar Alana merendah."Siapa bilang kamu manajer biasa. Kamu itu luar biasa. Siapa yang tidak kenal Alvarendra Arrazka. Seorang aktor yang sedang naik daun. Dan itu hasil besutan manajer yang luar biasa," puji Davan yang berhasil membuat Alana tersipu."Mas bisa aja," jawab Alana."Oh, ya, Mas, tadi katanya Mas ada perlu sama aku. Ada apa, ya, Mas?"Alana yang sudah sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu pramusaji selesai menghidangkan minuman pesanan mereka."Oh, iya, hampir saja lupa," ujar Davan setelah meneguk minuman yang ada di hadapannya."Aku punya penawaran buat Alana. Ups, sorry, bukan penawaran tetapi permintaan.""Permintaan?""Jadi gini, adik aku juga mau berkarir di industri hiburan. Orang tua kami menginginkan dia untuk menyelesaikan dulu pendidikannya. Namun dia tetap keukeuh untuk memasuki dunia entertain. Supaya tidak tanggung-tanggung, dia butuh seseorang yang benar-benar bisa mengangkat dia. Dan saya rasa Alana adalah orang yang tepat untuk menggembleng dia.""Mas kayaknya salah orang, deh.""Tentu tidak. Saya sudah bertemu dengan oranag yang tepat. Saya tidak mau dia setengah-setengah, apalagi dia sudah mengorbankan pendidikan formalnya. Karena itu dia harus benar-benar ditangani oleh orang yang akan bisa membawa dia menuju kesuksesan. Dan kamu sudah terbukti bisa membawa Razka menjadi salah satu artis top di negeri ini."Mas, serius ini?""Ya, tentu!""Aduh, gimana, ya. Jujur, aku merasa sangat tersanjung atas penilaian Mas Davan. Cuma, aku nggak sebaik itu juga, Mas.""Jangan terlalu merendah, Alana.""Tapi, maaf, ya, Mas, aku kayaknya nggak bisa. Aku nge-hadle satu orang aja keteteran. Aku masih kerja sendiri, bukan kerja tim.""Itu karena kamu belum mencobanya aja. Aku rasa ini kesempatan yang bagus untuk kamu melebarkan sayap. Kamu bisa pakai asisten atau mulai merekrut beberapa orang untuk jadi tim dan kamu juga bisa menambah jumlah artis untuk dihandle. Iya, kan?""Aku belum berpikir sampai ke situ, sih, Mas. Aku mau fokus sama yang sudah ada aja dulu. Dan lagi pula---"Dering dari ponsel Alana membuat kalimatnya mengatung. Nama Theo tertulis di layar benda pipih itu."Maaf, Mas, aku angkat telepon dulu."Davan mengangguk pelan, menandakan dia tidak keberatan."Kenapa Theo?""Eh, kuntilanak, lu ke mana aja, sih? Gue habis dimaki-maki sama si King-king-an di sini." Terdengar sungut Theo di antara suara berisik yang memekakkan telinga."Ada apa emangnya?""Ini, artis lu bikin perkara aja. Cepatan ke sini. Lu urus tuh urusan sama si King Kobra!"Telepon langsung ditutup tanpa Alana tahu permasalahan apa yang sedang terjadi."Mas Davan, aku benar-benar minta maaf, aku harus balik lagi ke acara tadi. Ada yang harus diselesaikan di sana.Aku juga minta maaf karena aku rasa aku nggak bisa terima tawaran Mas Davan.""Nggak usah buru-buru dijawab. Kamu bisa pertimbangkan lagi.""Ya udah kalau kamu mau ke sana lagi, yuk, aku antar lagi."***Alana bergegas ke backstage mencari keberadaan Theo, Razka, atau pun Jhoni Ares untuk mencari tahu apa permasalahan yang terjadi.Di sana terlihat Theo tengah duduk dengan wajah penuh kekesalan. Alana langsung menghampirinya."Ada apaan?""Nanya sendirilah sama si King Kobra, gue mau out dari sini!""Theo jangan pergi dulu! Tungguin gue!""Bodo amat!"Alana hanya bisa menarik napas panjang karena Theo seakan tidak menghiraukannya. Dia segera mencari keberadaan King Jhoni.Di ruang make up dia melihat keberadaan sang desainer yang sedang berbincang lewat telepon. Alana mendekatinya perlahan disertai jantung yang berdendang. Dalam hati Alana masih menerka-nerka apa yang membuat lelaki berbadan tambun itu marah padanya.Melihat kedatangan Alana, King Jhoni segera mengakhiri pembicaraan di teleponnya."Lu tahu kan ini acara eksklusif brand gue, tapi kenapa artis lu bawa-bawa brand lain dan pakai-pakai dishoot segala sama wartawan. Maksudnya apaan?"Desainer itu langsung mencecar Alana begitu mereka bertemu muka. Wajahnya terlihat ketus pada Alana."Ingat, kan pasal kedua perjanjian kita?"Alana meneguk saliva, dia tidak menyangka Razka akan seceroboh itu."King, aku mohon maaf banget, ini benar-benar nggak sengaja."Alana terus mencoba meminta maaf. Dia tahu, sebenarnya kekesalan King Jhoni bukanlah karena hal itu tetapi lebih kepada Razka."Theo, gue balik duluan, ya!"Alana berbalik badan ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Razka baru saja meninggalkan backstage dan Reana bergelayut pada lengannya.Alana pun menghampiri Theo yang ternyata masih berada di sana."Eh, gimana? Masih marah si King itu?" tanya Theo begitu menyadari kehadiran Alana di sampingnya."Udah, nggak apa-apa. Intinya dia cuma kesal sama Razka," jawab Alana pelan."Udah beres berarti?"Alana mengangguk pelan."Ya, udah, yuk, pulang!" ajak Theo menarik tangan Alana."Razka mau ke mana? Dia bilang, nggak?""Paling nganterin si Reana. Udah, nggak usah dipusingin! Lu nyari cowok baru juga, deh. Ngapain masih ngarepin orang yang udah nggak peduli ama lu!"Alana menatap kesal pada Theo.****My Actor "Ibu gimana kabarnya?" "Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?" Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana. "Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah." "Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu." "Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?" "Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik." "Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya." "Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu mas
My Actor "Ngebatalin? Emang segampang itu?" Razka menatap Alana dengan sengit. "Kenapa tidak? Tinggal bilang batal aja, udah, selesai! Beres!" ujar Alana enteng. Razka menyapu kasar wajahnya. Dia tahu konsekwensinya jika sampai terjadi pembatalan kerja sama, apalagi secara massal. Bisa-bisa tamat riwayat karirnya. "Nggak bisa begitu, dong!" ujar Razka disertai decak. "Kenapa nggak?" sambar Alana dengan mimik tanpa beban. "Nggak usah pakai-pakai ancaman segala!" "Aku nggak ngancam, kok. Cuma ngasih tahu aja. Mumpung kamu ke sini. Lebih enak kalau dengar langsung, kan?" Melihat Alana yang memperlihatkan sikap demikian, Razka seketika memutar otak agar hal itu jangan sampai terjadi. Sejujurnya dia khawatir jika Alana sampai membuktikan kata-katanya. "Okey, sekarang kita bicara baik-baik." suara Razka mulai merendah. "Mau bicarain apa lagi? Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan seenak kamu sendiri." Kali ini berganti, Alana yang berbicara dengan nada sengit. "Okey, aku akui aku se
My Actor Alana hanya mengulas senyum pada Natasya. Meski logikanya tidak menentang sama sekali atas pendapat Natasya, tetapi hatinya tetap berusaha untuk memungkirinya. "Aku ke kamar duluan, ya." Alana bangkit dari duduknya. Jika berlama-lama di sana, dia tahu akan semakin panjang dan lebar analisa yang akan diungkapkan teman dekatnya itu. "Okey, istirahat sana biar tetap waras!" Kelakar Natasya meledek Alana. Alana hanya membulatkan mata sebagai bentuk protes. Di kamarnya Alana kembali duduk termangu. Kata-kata Natasya kembali berdengung-dengung di telinganya. Namun, cepat-cepat ditepisnya. Alana kemudian mengecek ponsel. Ternyata sudah ada puluhan chat yang masuk selama HP ditinggalnya di kamar. Setelah selesai dengan benda multi fungsi itu, Alana pun beralih pada notebook yang tergeletak di atas tempat tidur. Cukup lama Alana mengamati atas layar berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan jadwal syuting Razka, aktor kesayangannya. "Enaknya bagaimana, ya?" Alana berguma
My Actor Hari-hari Alana kembali dengan rutinitas yang padat. Mulai dari menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Razka untuk melakoni pekerjaannya syuting film dari satu lokasi ke lokasi berikutnya, mengisi acara baik on air maupun off air, hingga meeting dengan para produser maupun sutradara. Tak hanya sebatas keperluan pekerjaan, untuk keperluan sehari-hari Razka pun tak luput dari perhatian Alana. Alana larut dalam kesibukan. Berkejaran dengan waktu demi dapat menuntaskan target-target kerja yang telah disusun. Pun begitu dengan Razka, dia nampak asyik dan sangat menikmati pekerjaannya. Mereka terlihat sangat akur dan saling mengisi. Di mana ada Razka sudah pasti Alana pun ada di sekitar situ. Meskipun semua terlihat baik-baik saja, Natasya selaku teman terdekat Alana, tetap mengingatkan agar temannya itu tidak terlalu mengumbar rasa cintanya kepada sang aktor. Takutnya akan berbuah penyesalan nantinya. Begitu juga dengan Theo yang sudah hapal akan siklus hubungan Alana dan Razk
MY ACTOR “Bersikaplah profesional, jangan mencampuradukkan urusan personal dengan pekerjaan!” Razka memberi penekanan pada kalimatnya itu. Sorot mata elangnya tertuju lurus pada Alana, manejer sekaligus kekasihnya. Gadis berambut lurus yang menjadi lawan bicaranya itu pun membalas dengan tatapan yang tak kalah tajam. “Ini urusan pekerjaan, nggak ada kaitannya sama hubungan kita!” Alana yang biasanya senantiasa menanggapi masalah dengan kepala dingin, kali ini juga meninggikan suaranya. “Ini bukan kali pertamanya klien komplain karena keterlambatan kamu. Dalam sebulan ini sudah ada empat komplain!” “Itu kamunya aja yang nggak bisa handle jadwal dengan benar,” sanggah lelaki berhidung mancung itu tanpa mengalihkan pandangan dari gadis yang berjarak beberapa langkah di hadapannya itu. “Schedule udah fix dari jauh-jauh hari sebelumnya. Kamu aja yang nggak disiplin,” balas Alana tak terima disalahkan. Ia pun mengeluarkan uneg-uneg yang sudah lama terpendam. “Kamu terlalu banyak mengha
My Actor Gadis berambut lurus tergerai duduk dengan pandangan menerawang. Sementara tangan kanannya memutar-mutar sedotan pada gelas yang berisi minuman berwarna oranye. Kata-kata yang ia dengar beberapa saat yang lalu masih terngiang-ngiang di telinga. “Kami harap artis anda bisa profesional dalam bekerja. Kalau bukan karena sudah terlanjur dikontrak, kami tidak mau bekerja sama dengannya. Dia tidak menghargai tim kami yang sudah standby dari pagi,” omel lelaki tinggi berkaca mata, setelah itu dia pergi dengan muka masam. Baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Alana. “Kalau kamu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari agency ataupun PH-PH, sebaiknya jangan pakai artis itu lagi,” ujar lelaki itu kemudian Ia kembali meninggalkan Alana yang hanya bisa terdiam. “Mana Pak Jodi? Belum datang?” Dengan santainya Razka langsung duduk berhadapan dengan Alana, di kursi yang tadinya diduduki Pak Jodi. “Udah pulang!” ketus Alana. “Pulang?” Razka mengerny
My Actor [Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!] Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan. “Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang. “Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun. “Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa. “Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu. “King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak seka
My Actor Alana memarkir mobilnya di halaman bangunan berarsitektur Eropa berlantai tiga. Di gedung itulah butik dan juga studio milik Jhoni Ares berada. Alana bergegas menuju pintu. Seorang security menyambutnya dengan ramah kemudian mengarahkan Alana supaya langsung ke lantai dua. Sekilas Alana mengedarkan pandangan ke butik yang ada di lantai satu itu. Matanya sungguh terpesona oleh deretan pakaian mewah yang terpajang dengan rapi. Semua itu merupakan hasil rancangan Jhoni Ares. Begitu mencapai lantai dua, Alana langsung disuguhi suasana sibuk. Beberapa orang kru terlihat tengah mempersiapkan lighting dan properti untuk pemotretan. Di sudut ruangan yang lain Jhoni Ares tengah memberi pengarahan pada beberapa orang model. Pada akhirnya mata Alana pun menangkap keberadaan sosok yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Razka sedang ditangani oleh seorang hair stylist. Sesuai prediksi Alana, ia tidak menemukan keberadaan Theo di sana. Alana pun berjalan pelan menghampiri Razka. I