Share

Part 6 : Penawaran untuk Alana

My Actor

Alana memilih menjauh dari keriuhan dan gegap gempita acara malam itu. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Namun, tidak ada sudut yang bisa menjadi tempatnya menyepi. Sorot lampu, kamera, dan hilir mudik kru acara hampir menyapu seluruh area ruangan.

Alana  mencoba memanjangkan leher. Matanya liar mencari keberadaan seseorang. Namun, tentu tidak mudah untuk mencari satu orang di antara ramainya orang di ruangan itu.

Setelah sesaat larut dalam pertimbangan, Alana memutuskan untuk keluar dari ruangan tempat digelarnya fashion show tersebut.

Ketika akan menyentuh pintu keluar, langkah Alana menggantung karena namanya disebut.

"Alana, mau ke mana?"

"Mas Davan!" Alana kaget karena tiba-tiba sosok yang sedari tadi dicarinya tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Aku mau keluar dulu, Mas. Mau menelepon," jawab Alana sedikit kikuk.

Berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Davan membuat Alana agak kesulitan mengendalikan degup jantungnya. Paras Davan yang kharismatik mampu membuat setiap mata yang melihatnya menjadi terbius akan pesonanya. Termasuk Alana.

"Kamu udah selesai di sini atau belum?"

"Hmm ... udah, sih, Mas. Udah koordinasi sama timnya King Jhoni," ujar Alana setelah mampu mengatasi gejolak perasaannya.

"Okey, kalau gitu gimana kalau kita keluar sebentar? Kamu nggak keberatan, kan? Atau kamu sudah punya janji?"

"Sekarang? Bisa, kok, Mas. Aku nggak ada janji sama siapa-siapa."

"Nggak ada yang nyariin 'kan nanti?"

Alana tersenyum tipis lalu menggeleng.

"Nggak, Mas. Nggak ada," lanjutnya mempertegas jawaban yang telah didahului lewat bahasa tubuh.

"Jadi, okey, ya? Yuk!"

Davan merentangkan satu tangannya mempersilakan Alana berjalan.

Masih di kompleks hotel Queen. Di sebuah restoran dengan live musik, Alana dan Davan duduk berhadapan.

"Kamu mau makan apa?" tanya Davan disertai senyumnya yang hangat.

"Makasih, Mas. Aku minum aja."

"Okey. Benaran, nih, aku nggak menganggu waktu kamu?"

"Duh, Mas, kayak aku yang siapa aja, sih, Mas. Yang ada juga Mas Davan yang super sibuk. Aku ini apalah, cuma seorang manajer biasa," ujar Alana merendah.

"Siapa bilang kamu manajer biasa. Kamu itu luar biasa. Siapa yang tidak kenal Alvarendra Arrazka. Seorang aktor yang sedang naik daun. Dan itu hasil besutan manajer yang luar biasa," puji Davan yang berhasil membuat Alana tersipu.

"Mas bisa aja," jawab Alana.

"Oh, ya, Mas, tadi katanya Mas ada perlu sama aku. Ada apa, ya, Mas?"

Alana yang sudah sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu pramusaji selesai menghidangkan minuman pesanan mereka.

"Oh, iya, hampir saja lupa," ujar Davan setelah meneguk minuman yang ada di hadapannya.

"Aku punya penawaran buat Alana. Ups, sorry, bukan penawaran tetapi permintaan."

"Permintaan?"

"Jadi gini, adik aku juga mau berkarir di industri hiburan. Orang tua kami menginginkan dia untuk menyelesaikan dulu pendidikannya. Namun dia tetap keukeuh untuk memasuki dunia entertain. Supaya tidak tanggung-tanggung, dia butuh seseorang yang benar-benar bisa mengangkat dia. Dan saya rasa Alana adalah orang yang tepat untuk menggembleng dia."

"Mas kayaknya salah orang, deh."

"Tentu tidak. Saya sudah bertemu dengan oranag yang tepat. Saya tidak mau dia setengah-setengah, apalagi dia sudah mengorbankan pendidikan formalnya. Karena itu dia harus benar-benar ditangani oleh orang yang akan bisa membawa dia menuju kesuksesan. Dan kamu sudah terbukti bisa membawa Razka menjadi salah satu artis top di negeri ini.

"Mas, serius ini?"

"Ya, tentu!"

"Aduh, gimana, ya. Jujur, aku merasa sangat tersanjung atas penilaian Mas Davan. Cuma, aku nggak sebaik itu juga, Mas."

"Jangan terlalu merendah, Alana."

"Tapi, maaf, ya, Mas, aku kayaknya nggak bisa. Aku nge-hadle satu orang aja keteteran. Aku masih kerja sendiri, bukan kerja tim."

"Itu karena kamu belum mencobanya aja. Aku rasa ini kesempatan yang bagus untuk kamu melebarkan sayap. Kamu bisa pakai asisten atau mulai merekrut beberapa orang untuk jadi tim dan kamu juga bisa menambah jumlah artis untuk dihandle. Iya, kan?"

"Aku belum berpikir sampai ke situ, sih, Mas. Aku mau fokus sama yang sudah ada aja dulu. Dan lagi pula---"

Dering dari ponsel Alana membuat kalimatnya mengatung. Nama Theo tertulis di layar benda pipih itu.

"Maaf, Mas, aku angkat telepon dulu."

Davan mengangguk pelan, menandakan dia tidak keberatan.

"Kenapa Theo?"

"Eh, kuntilanak, lu ke mana aja, sih? Gue habis dimaki-maki sama si King-king-an di sini." Terdengar sungut Theo di antara suara berisik yang memekakkan telinga.

"Ada apa emangnya?"

"Ini, artis lu bikin perkara aja. Cepatan ke sini. Lu urus tuh urusan sama si King Kobra!"

Telepon langsung ditutup tanpa Alana tahu permasalahan apa yang sedang terjadi.

"Mas Davan, aku benar-benar minta maaf, aku harus balik lagi ke acara tadi. Ada yang harus diselesaikan di sana.Aku juga minta maaf karena  aku rasa aku nggak bisa terima tawaran Mas Davan."

"Nggak usah buru-buru dijawab. Kamu bisa pertimbangkan lagi."

"Ya udah kalau kamu mau ke sana lagi, yuk, aku antar lagi."

***

Alana bergegas ke backstage mencari keberadaan Theo, Razka, atau pun Jhoni Ares untuk mencari tahu apa permasalahan yang terjadi.

Di sana terlihat Theo tengah duduk dengan wajah penuh kekesalan. Alana langsung menghampirinya.

"Ada apaan?"

"Nanya sendirilah sama si King Kobra, gue mau out dari sini!"

"Theo jangan pergi dulu! Tungguin gue!"

"Bodo amat!"

Alana hanya bisa menarik napas panjang karena Theo seakan tidak menghiraukannya. Dia segera mencari keberadaan King Jhoni.

Di ruang make up dia melihat keberadaan sang desainer yang sedang berbincang lewat telepon. Alana mendekatinya perlahan disertai jantung yang berdendang. Dalam hati Alana masih menerka-nerka apa yang membuat lelaki berbadan tambun itu marah padanya.

Melihat kedatangan Alana, King Jhoni segera mengakhiri pembicaraan di teleponnya.

"Lu tahu kan ini acara eksklusif brand gue, tapi kenapa artis lu bawa-bawa brand lain dan pakai-pakai dishoot segala sama wartawan. Maksudnya apaan?"

Desainer itu langsung mencecar Alana begitu mereka bertemu muka. Wajahnya terlihat ketus pada Alana.

"Ingat, kan pasal kedua perjanjian kita?"

Alana meneguk saliva, dia tidak menyangka Razka akan seceroboh itu.

"King, aku mohon maaf banget, ini benar-benar nggak sengaja."

Alana terus mencoba meminta maaf. Dia tahu, sebenarnya kekesalan King Jhoni bukanlah karena hal itu tetapi lebih kepada Razka.

"Theo, gue balik duluan, ya!"

Alana berbalik badan ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Razka baru saja meninggalkan backstage dan Reana bergelayut pada lengannya.

Alana pun menghampiri Theo yang ternyata masih berada di sana.

"Eh, gimana? Masih marah si King itu?" tanya Theo begitu menyadari kehadiran Alana di sampingnya.

"Udah, nggak apa-apa. Intinya dia cuma kesal sama Razka," jawab Alana pelan.

"Udah beres berarti?"

Alana mengangguk pelan.

"Ya, udah, yuk, pulang!" ajak Theo menarik tangan Alana.

"Razka mau ke mana? Dia bilang, nggak?"

"Paling nganterin si Reana. Udah, nggak usah dipusingin! Lu nyari cowok baru juga, deh. Ngapain masih ngarepin orang yang udah nggak peduli ama lu!"

Alana menatap kesal pada Theo.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status