My Actor
Gadis berambut lurus tergerai duduk dengan pandangan menerawang. Sementara tangan kanannya memutar-mutar sedotan pada gelas yang berisi minuman berwarna oranye. Kata-kata yang ia dengar beberapa saat yang lalu masih terngiang-ngiang di telinga.“Kami harap artis anda bisa profesional dalam bekerja. Kalau bukan karena sudah terlanjur dikontrak, kami tidak mau bekerja sama dengannya. Dia tidak menghargai tim kami yang sudah standby dari pagi,” omel lelaki tinggi berkaca mata, setelah itu dia pergi dengan muka masam.Baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Alana.“Kalau kamu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari agency ataupun PH-PH, sebaiknya jangan pakai artis itu lagi,” ujar lelaki itu kemudian Ia kembali meninggalkan Alana yang hanya bisa terdiam.“Mana Pak Jodi? Belum datang?”Dengan santainya Razka langsung duduk berhadapan dengan Alana, di kursi yang tadinya diduduki Pak Jodi.“Udah pulang!” ketus Alana.“Pulang?” Razka mengernyit.“Kamu bisa lihat jam nggak, sih? Janjinya pukul berapa dan sekarang pukul berapa?”“Ya sudah. Kalau dia sudah pulang kita ngapain lagi di sini?” Razka segera bangkit hendak melangkah pergi.“Pak Jodi tidak mau memperpanjang kontrak,” ucap Alana datar.“Ya, sudah. Baguslah. Kita bisa kerja sama dengan pihak lain. Lagi pula masih ada kontrak yang lain, kan?” balas Razka enteng.“Bagus dari mananya? Pak Jodi adalah pintu masuk kita untuk bisa dapat job yang berkelas!”Kali ini Alana agak meninggikan suara. Suasana restoran yang belum terlalu ramai pengunjung membuat keberadaan keduanya menarik perhatian. Beberapa pasang mata sempat melirik ke arah mereka.“Malas berdebat sama kamu, apalagi di tempat umum begini. Jangan dibiasakan!”Tanpa basa-basi lagi, Razka segera melangkah pergi. Alana tak mau kalah, ia pun dengan sigap mengekori Razka yang berjalan tergesa. Dengan setengah berlari, Alana berhasil menyejajarkan langkah dengan Razka.“Kita perlu bicara serius,” ungkap Alana saat mereka telah tiba di parkiran.“Aku buru-buru.”“Buru-buru ke mana? Schedule kamu kosong kok hari ini. Nggak ada jadwal syuting, nggak ada janji ketemuan dengan siapa pun,” cecar Alana.“Tidak semua yang aku lakukan harus ada dalam schedule yang kamu susun.”“Kamu mau pergi sama artis baru itu lagi?”“Bukan urusan kamu!”“Razka, selama kamu masih menjadi artis di bawah naungan aku, semua yang kamu lakukan adalah urusanku! Dan kamu juga tidak lupa, kan kalau aku ini pacar kamu? Aku berhak tahu kamu pergi dengan siapa dan mau apa?”“Kamu nyadar nggak, kamu terlalu posesif! Padahal kamu tahu sendiri bagaimana lingkungan kerja aku, kan? Kamu bukan orang awam di dunia entertain?” Razka berdecak kesal.“Tapi kamu udah sangat kelewatan, Razka! Kamu lalai dengan pekerjaan dan kamu sudah tidak menganggap keberadaan aku lagi! Apa salah kalau aku protes?” Napas Alana memburu, ia sudah tidak bisa lagi mengontrol emosi.“Terserah kamulah!” Razka kembali hendak melangkah. Namun, dengan cepat Alana menahan dengan memegang lengannya.“Sampai kapan kita akan begini?” tanya Alana pelan. Ia menatap Razka dalam-dalam.“Kalau kamu capek, kita akhiri saja sekarang.” Razka menepiskan tangan Alana. Seperti tanpa beban, ia melanjutkan langkah.Mata Alana membulat, nanar menatap punggung Razka yang kian menjauh. Napasnya seakan terhenti di saat itu. Padahal bukan untuk pertama kalinya kata-kata berakhir terlontar dari lelaki bermata tajam itu. Bahkan Alana sudah akrab dengan kata-kata tersebut beberapa minggu belakangan ini. Namun, entah kenapa kali ini terasa berbeda. Menyisakan rasa nyeri luar biasa di dada. Sungguh, sangat terasa. Apalagi, ia mengucapkan tatkala mata mereka tepat beradu pandang.Sesaat kemudian, Alana mencoba menormalkan pernapasan dan berusaha menetralkan suasana hatinya. Ia mengumpulkan keyakinan di hati bahwa Razka hanya ingin menguji kedalaman cintanya yang seharusnya tidak perlu diragukan lagi. Alana mencintai Razka begitu dalam dan sepenuh jiwa. Gadis itu bertekad untuk mempertahankan hubungannya dengan sang aktor hingga meraih bahagia yang diidam-idamkannya.Baru saja Alana hendak meneriakkan nama Razka, tetapi lelaki itu terlebih dahulu memutar badan dan pandangannya tertuju pada Alana. Dengan ekspresi datar dan sedikit berteriak dia berkata, “Untuk beberapa waktu ini, jangan hubungi apalagi temui aku. Kalau ada hal yang berkaitan dengan pekerjaan, lewat Theo saja.”Lagi-lagi Alana dibuat terperangah. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Razka tidak pernah bisa berlama-lama tanpa dirinya. Razka sangat tergantung padanya dalam segala urusan.“Tidak, ini tidak akan menjadi lebih buruk. Semua akan kembali baik-baik saja. Besok, ketika ia terbangun di pagi hari, ia akan mengambil telepon genggamnya dan menanyakan keberadaanku jika aku belum sampai ke rumahnya.” Alana bermonolog menyakinkan dirinya sendiri walaupun ia ragu atas keyakinan itu."Razka kamu tidak akan bisa jauh dari aku."Alana mengambil napas panjang lalu diembuskannya pelan-pelan. Ia berusaha mendapatkan kembali energi positif.Memang baru setahun lebih mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Sebelumnya mereka hanyalah sebagai artis dan manejer.Setelah dua tahun selalu bersama dan merasa saling cocok akhirnya mereka sepakat untuk berpacaran. Namun sayangnya, justru setelah resmi berpacaran hubungan mereka malah lebih banyak dihiasi konflik. Alana merasa Alvarendra Arrazka, aktor muda yang sedang naik daun itu, yang sangat dielu-elukan oleh para fans mulai banyak berubah.Sosok santun, lembut, pekerja keras dan selalu menghargai orang lain tak lagi ditemukan Alana pada diri Razka. Lelaki itu mulai terbawa arus gaya hidup para selebritas yang hedonis dan banyak hura-hura.Sebagai orang yang mendampingi Razka dari awal merintis karir tentu Alana tidak membiarkan hal itu terjadi. Ia telah bersusah payah membesarkan nama artisnya. Berjuangan sekuat tenaga mendapatkan kontrak-kontrak bernilai tinggi. Dari yang tidak dilirik samasekali hingga menjelma menjadi aktor dengan nilai kontrak tiap episode mencapai puluhan juta rupiah. Ratusan juta dihasilkan Razka tiap bulannya. Alana yang memperjuangkan itu semua dari nol.Sekarang, dengan mudahnya Razka bilang ingin berganti manejement dan juga mengakhiri kisah cinta mereka."Itu tidak akan terjadi, Razka! Kamu tanpa aku bukan apa-apa."***My Actor [Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!] Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan. “Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang. “Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun. “Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa. “Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu. “King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak seka
My Actor Alana memarkir mobilnya di halaman bangunan berarsitektur Eropa berlantai tiga. Di gedung itulah butik dan juga studio milik Jhoni Ares berada. Alana bergegas menuju pintu. Seorang security menyambutnya dengan ramah kemudian mengarahkan Alana supaya langsung ke lantai dua. Sekilas Alana mengedarkan pandangan ke butik yang ada di lantai satu itu. Matanya sungguh terpesona oleh deretan pakaian mewah yang terpajang dengan rapi. Semua itu merupakan hasil rancangan Jhoni Ares. Begitu mencapai lantai dua, Alana langsung disuguhi suasana sibuk. Beberapa orang kru terlihat tengah mempersiapkan lighting dan properti untuk pemotretan. Di sudut ruangan yang lain Jhoni Ares tengah memberi pengarahan pada beberapa orang model. Pada akhirnya mata Alana pun menangkap keberadaan sosok yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Razka sedang ditangani oleh seorang hair stylist. Sesuai prediksi Alana, ia tidak menemukan keberadaan Theo di sana. Alana pun berjalan pelan menghampiri Razka. I
My Actor “Ganteng maksimal.” Reana mengacungkan kedua jempolnya ke arah Razka. Razka membalasnya dengan senyum memukau. “Tumben, nih, kamu nggak ditempelin mulu ma body guard,” lanjut Reana sambil merapikan rambut bagian depan Razka. “Body guard? Siapa?” selidik Razka. “Itu tuh, manajer galak kamu. Sebel deh aku kalau ngelihat dia. Sok banget gayanya. Kayak dia itu siapa aja,” gerutu gadis yang memakai mini dress warna navy. Dia pun memperlihatkan wajah cemberut pada Razka. “Dia nggak bakalan datang, kok,” balas Razka. “Kamu kok betah, sih, dimanajeri sama dia. Apa hebatnya sih dia? Jutek, nggak profesional, terus posesif lagi. Mending kamu gabung di manajemen aku aja. Pasti akan lebih enak suasana kerjanya.” “Iya, kan aku juga pernah bilang. Nanti kalau kontrak eksklusif udah selesai aku mau ganti manajemen.” “Benaran, ya? Nanti gabung sama aku. Biar kita lebih sering dapat job bareng,” ujar Reana semringah lalu melihat ke sekeliling. “Benaran nih, manajer kamu nggak ada di s
My Actor Alana memilih menjauh dari keriuhan dan gegap gempita acara malam itu. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Namun, tidak ada sudut yang bisa menjadi tempatnya menyepi. Sorot lampu, kamera, dan hilir mudik kru acara hampir menyapu seluruh area ruangan. Alana mencoba memanjangkan leher. Matanya liar mencari keberadaan seseorang. Namun, tentu tidak mudah untuk mencari satu orang di antara ramainya orang di ruangan itu. Setelah sesaat larut dalam pertimbangan, Alana memutuskan untuk keluar dari ruangan tempat digelarnya fashion show tersebut. Ketika akan menyentuh pintu keluar, langkah Alana menggantung karena namanya disebut. "Alana, mau ke mana?" "Mas Davan!" Alana kaget karena tiba-tiba sosok yang sedari tadi dicarinya tiba-tiba sudah berada di belakangnya. "Aku mau keluar dulu, Mas. Mau menelepon," jawab Alana sedikit kikuk. Berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Davan membuat Alana agak kesulitan mengendalikan degup jantungnya. Paras Davan yang kha
My Actor "Ibu gimana kabarnya?" "Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?" Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana. "Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah." "Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu." "Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?" "Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik." "Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya." "Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu mas
My Actor "Ngebatalin? Emang segampang itu?" Razka menatap Alana dengan sengit. "Kenapa tidak? Tinggal bilang batal aja, udah, selesai! Beres!" ujar Alana enteng. Razka menyapu kasar wajahnya. Dia tahu konsekwensinya jika sampai terjadi pembatalan kerja sama, apalagi secara massal. Bisa-bisa tamat riwayat karirnya. "Nggak bisa begitu, dong!" ujar Razka disertai decak. "Kenapa nggak?" sambar Alana dengan mimik tanpa beban. "Nggak usah pakai-pakai ancaman segala!" "Aku nggak ngancam, kok. Cuma ngasih tahu aja. Mumpung kamu ke sini. Lebih enak kalau dengar langsung, kan?" Melihat Alana yang memperlihatkan sikap demikian, Razka seketika memutar otak agar hal itu jangan sampai terjadi. Sejujurnya dia khawatir jika Alana sampai membuktikan kata-katanya. "Okey, sekarang kita bicara baik-baik." suara Razka mulai merendah. "Mau bicarain apa lagi? Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan seenak kamu sendiri." Kali ini berganti, Alana yang berbicara dengan nada sengit. "Okey, aku akui aku se
My Actor Alana hanya mengulas senyum pada Natasya. Meski logikanya tidak menentang sama sekali atas pendapat Natasya, tetapi hatinya tetap berusaha untuk memungkirinya. "Aku ke kamar duluan, ya." Alana bangkit dari duduknya. Jika berlama-lama di sana, dia tahu akan semakin panjang dan lebar analisa yang akan diungkapkan teman dekatnya itu. "Okey, istirahat sana biar tetap waras!" Kelakar Natasya meledek Alana. Alana hanya membulatkan mata sebagai bentuk protes. Di kamarnya Alana kembali duduk termangu. Kata-kata Natasya kembali berdengung-dengung di telinganya. Namun, cepat-cepat ditepisnya. Alana kemudian mengecek ponsel. Ternyata sudah ada puluhan chat yang masuk selama HP ditinggalnya di kamar. Setelah selesai dengan benda multi fungsi itu, Alana pun beralih pada notebook yang tergeletak di atas tempat tidur. Cukup lama Alana mengamati atas layar berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan jadwal syuting Razka, aktor kesayangannya. "Enaknya bagaimana, ya?" Alana berguma
My Actor Hari-hari Alana kembali dengan rutinitas yang padat. Mulai dari menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Razka untuk melakoni pekerjaannya syuting film dari satu lokasi ke lokasi berikutnya, mengisi acara baik on air maupun off air, hingga meeting dengan para produser maupun sutradara. Tak hanya sebatas keperluan pekerjaan, untuk keperluan sehari-hari Razka pun tak luput dari perhatian Alana. Alana larut dalam kesibukan. Berkejaran dengan waktu demi dapat menuntaskan target-target kerja yang telah disusun. Pun begitu dengan Razka, dia nampak asyik dan sangat menikmati pekerjaannya. Mereka terlihat sangat akur dan saling mengisi. Di mana ada Razka sudah pasti Alana pun ada di sekitar situ. Meskipun semua terlihat baik-baik saja, Natasya selaku teman terdekat Alana, tetap mengingatkan agar temannya itu tidak terlalu mengumbar rasa cintanya kepada sang aktor. Takutnya akan berbuah penyesalan nantinya. Begitu juga dengan Theo yang sudah hapal akan siklus hubungan Alana dan Razk