My Actor
"Ibu gimana kabarnya?""Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?"Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana."Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah.""Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu.""Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?""Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik.""Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya.""Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu masih sanggup. Ibu tidak mau kamu jadi terbebani. Kamu itu sudah capek kerja, jangan sampai penghasilan kamu habis untuk bapak dan Ibu saja. Kamu juga perlu mempersiapkan untuk masa depan kamu. Kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri, Nak.""Ibu, Pokoknya Alana tidak izinkan Ibu untuk jualan atau kerja apapun. Semuanya Alana yang tanggung. Nanti Alana transfer lagi ke Ibu. Ibu butuh kapan pun bilang ke Alana. Tujuan Alana bekerja adalah untuk Bapak dan Ibu. Alana ingin meringankan beban ibu.""Terima kasih, ya, Nak. Tapi jangan lupa juga tabungan buat masa depan kamu, ya.""Iya, Bu. Sekarang ibu istirahat, ya. Alana mau ngecek jadwal kerjaan dulu.""Iya, Nak. Kamu juga istirahat yang cukup, ya. Ingat, kalau kerjaan kamu sudah luang, pulang, ya!""Iya, Bu. Pasti."Sejak dua tahun yang lalu Alana sudah tinggal terpisah dari orang tuanya. Kediaman orang tuanya yang berada di lingkungan padat penduduk serta akses yang lumayan memakan waktu membuat Alana memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat tinggal Razka.Di sebuah rumah di perumahan menengah, Alana tinggal bersama dua orang temannya yang bekerja di biro iklan. Jadwal Alana pulang ke rumah orang tuanya memang tidak menentu. Tergantung jadwal dan lokasi syuting Razka.Pernah ketika Razka syuting di luar kota, selama beberapa bulan Alana tidak pulang. Namun begitu, Alana tidak pernah mengabaikan kebutuhan orang tua beserta adik-adiknya. Dia menjalankan peran sebagai tulang punggung keluarga menggantikan bapaknya yang sudah tidak bisa lagi bekerja.Selesai menelepon ibunya, Alana duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap ponsel keluaran terbaru miliknya. Sudah dua hari layar ponselnya itu tidak menampilkan nama Razka.Dua hari juga Alana mencoba bercengkrama dengan dirinya sendiri. Merenungkan kembali perjalanan hubungannya dengan Razka. Pikir Alana, harusnya semua baik-baik saja. Alana merasa sikapnya wajar-wajar saja. Selama ini dia tidak pernah membatasi gerak-gerik Razka. Hanya ketika kedekatannya dengan Reana yang terkesan berlebihan yang membuat Alana agak cemburu.Alana pikir dengan dia menunjukkan rasa cemburunya, Razka akan menjaga jarak dengan Reana. Tetapi nyatanya malah jadi bumerang bagi dirinya. Razka malah merasa kalau Alana terlalu posisif dan curigaan hingga ujung-ujungnya mereka ribut dan Alanalah yang dituding bersalah.Alana menghela napas berat. Harusnya Razka memberi perhatian lebih padanya bukan malah semakin menjauh dan lengket dengan gadis yang baru beberapa bulan ini hadir dalam hidupnya.Lamunan Alana terhenti ketika ponsel di dalam genggamannya mengeluarkan getar dan suara. Nama Razka tertera di sana. Karena rindu yang begitu membuncah, tanpa berpikir apa-apa lagi langsung saja telepon itu dijawabnya."Aku di depan. Bukain pintu!" Suara Razka terdengar datar dan tanpa diawali basa-basi.Alana menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. Bergegas dia bangkit dan menyempatkan mematut penampilan di depan kaca. Menit berikutnya, Alana keluar dari kamarnya.Alana kembali merapikan anak-anak rambutnya sesaat sebelum membuka pintu utama.Begitu pintu terbuka, benar saja, Razka sudah berdiri di sana dengan ekspresi yang datar. Alana yang tadinya sudah menyiapkan senyum semringah untuk menyapa mengurungkan niatnya. Untuk beberapa saat mereka hanya terpaku dalam bisu."Masuk dulu!" ujar Alana yang masih berdiri di ambang pintu."Jadwal aku mana?" tanya Razka tanpa menggubris ajakan Alana."Jadwal apa?" balas Alana sembari beringsut masuk dan mendudukkan diri di sofa tamu. Dia pun mencoba mengimbangi sikap dingin Razka. Menguburkan kembali rasa rindu yang sempat dibiarkan menggebu."Ya, jadwal kerjaanlah! Aku mau reschedule."Razka mengikuti gerak Alana. Namun dia duduk agak berjarak dari Alana.Alana menajamkan tatapan pada Razka. "Buat apa reschedule?""Urusan aku! Nggak semuanya harus aku kasih tahu sama kamu," jawab Razka ketus.Alana menghela napas pelan sembari mengalihkan pandangan."Okey, besok atau lusa aku kasih. Aku mau cancel dulu job-job yang belum terlanjur di-DP," ujar Alana tanpa menatap Razka.Seketika Razka menoleh pada gadis yang telah bertahun-tahun menemani hari-harinya itu."Kenapa dicancel?" tanya Razka dengan tatapan penuh tanya."Kamu ingin lepas dari aku, kan? Tidak ingin dimanajeri aku lagi, kan? It's Okey! Aku tidak akan menahan kamu. Silakan aja, tetapi semua job yang didapat dari hasil nego aku, aku batalkan lagi. Yang sudah terlanjur, silakan kamu lanjutkan dan setelah itu, silakan kamu usaha sendiri dengan manajer kamu yang baru nantinya."Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja terbesit ide seperti itu dalam pikiran Alana dan tanpa pikir dua kali langsung dilontarkan saat itu juga.Razka nampak mengkerutkan dahi. Matanya membulat menatap Alana yang terlihat santai saja setelah mengucapkan kata-kata seperti itu.***My Actor "Ngebatalin? Emang segampang itu?" Razka menatap Alana dengan sengit. "Kenapa tidak? Tinggal bilang batal aja, udah, selesai! Beres!" ujar Alana enteng. Razka menyapu kasar wajahnya. Dia tahu konsekwensinya jika sampai terjadi pembatalan kerja sama, apalagi secara massal. Bisa-bisa tamat riwayat karirnya. "Nggak bisa begitu, dong!" ujar Razka disertai decak. "Kenapa nggak?" sambar Alana dengan mimik tanpa beban. "Nggak usah pakai-pakai ancaman segala!" "Aku nggak ngancam, kok. Cuma ngasih tahu aja. Mumpung kamu ke sini. Lebih enak kalau dengar langsung, kan?" Melihat Alana yang memperlihatkan sikap demikian, Razka seketika memutar otak agar hal itu jangan sampai terjadi. Sejujurnya dia khawatir jika Alana sampai membuktikan kata-katanya. "Okey, sekarang kita bicara baik-baik." suara Razka mulai merendah. "Mau bicarain apa lagi? Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan seenak kamu sendiri." Kali ini berganti, Alana yang berbicara dengan nada sengit. "Okey, aku akui aku se
My Actor Alana hanya mengulas senyum pada Natasya. Meski logikanya tidak menentang sama sekali atas pendapat Natasya, tetapi hatinya tetap berusaha untuk memungkirinya. "Aku ke kamar duluan, ya." Alana bangkit dari duduknya. Jika berlama-lama di sana, dia tahu akan semakin panjang dan lebar analisa yang akan diungkapkan teman dekatnya itu. "Okey, istirahat sana biar tetap waras!" Kelakar Natasya meledek Alana. Alana hanya membulatkan mata sebagai bentuk protes. Di kamarnya Alana kembali duduk termangu. Kata-kata Natasya kembali berdengung-dengung di telinganya. Namun, cepat-cepat ditepisnya. Alana kemudian mengecek ponsel. Ternyata sudah ada puluhan chat yang masuk selama HP ditinggalnya di kamar. Setelah selesai dengan benda multi fungsi itu, Alana pun beralih pada notebook yang tergeletak di atas tempat tidur. Cukup lama Alana mengamati atas layar berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan jadwal syuting Razka, aktor kesayangannya. "Enaknya bagaimana, ya?" Alana berguma
My Actor Hari-hari Alana kembali dengan rutinitas yang padat. Mulai dari menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Razka untuk melakoni pekerjaannya syuting film dari satu lokasi ke lokasi berikutnya, mengisi acara baik on air maupun off air, hingga meeting dengan para produser maupun sutradara. Tak hanya sebatas keperluan pekerjaan, untuk keperluan sehari-hari Razka pun tak luput dari perhatian Alana. Alana larut dalam kesibukan. Berkejaran dengan waktu demi dapat menuntaskan target-target kerja yang telah disusun. Pun begitu dengan Razka, dia nampak asyik dan sangat menikmati pekerjaannya. Mereka terlihat sangat akur dan saling mengisi. Di mana ada Razka sudah pasti Alana pun ada di sekitar situ. Meskipun semua terlihat baik-baik saja, Natasya selaku teman terdekat Alana, tetap mengingatkan agar temannya itu tidak terlalu mengumbar rasa cintanya kepada sang aktor. Takutnya akan berbuah penyesalan nantinya. Begitu juga dengan Theo yang sudah hapal akan siklus hubungan Alana dan Razk
MY ACTOR “Bersikaplah profesional, jangan mencampuradukkan urusan personal dengan pekerjaan!” Razka memberi penekanan pada kalimatnya itu. Sorot mata elangnya tertuju lurus pada Alana, manejer sekaligus kekasihnya. Gadis berambut lurus yang menjadi lawan bicaranya itu pun membalas dengan tatapan yang tak kalah tajam. “Ini urusan pekerjaan, nggak ada kaitannya sama hubungan kita!” Alana yang biasanya senantiasa menanggapi masalah dengan kepala dingin, kali ini juga meninggikan suaranya. “Ini bukan kali pertamanya klien komplain karena keterlambatan kamu. Dalam sebulan ini sudah ada empat komplain!” “Itu kamunya aja yang nggak bisa handle jadwal dengan benar,” sanggah lelaki berhidung mancung itu tanpa mengalihkan pandangan dari gadis yang berjarak beberapa langkah di hadapannya itu. “Schedule udah fix dari jauh-jauh hari sebelumnya. Kamu aja yang nggak disiplin,” balas Alana tak terima disalahkan. Ia pun mengeluarkan uneg-uneg yang sudah lama terpendam. “Kamu terlalu banyak mengha
My Actor Gadis berambut lurus tergerai duduk dengan pandangan menerawang. Sementara tangan kanannya memutar-mutar sedotan pada gelas yang berisi minuman berwarna oranye. Kata-kata yang ia dengar beberapa saat yang lalu masih terngiang-ngiang di telinga. “Kami harap artis anda bisa profesional dalam bekerja. Kalau bukan karena sudah terlanjur dikontrak, kami tidak mau bekerja sama dengannya. Dia tidak menghargai tim kami yang sudah standby dari pagi,” omel lelaki tinggi berkaca mata, setelah itu dia pergi dengan muka masam. Baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Alana. “Kalau kamu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari agency ataupun PH-PH, sebaiknya jangan pakai artis itu lagi,” ujar lelaki itu kemudian Ia kembali meninggalkan Alana yang hanya bisa terdiam. “Mana Pak Jodi? Belum datang?” Dengan santainya Razka langsung duduk berhadapan dengan Alana, di kursi yang tadinya diduduki Pak Jodi. “Udah pulang!” ketus Alana. “Pulang?” Razka mengerny
My Actor [Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!] Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan. “Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang. “Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun. “Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa. “Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu. “King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak seka
My Actor Alana memarkir mobilnya di halaman bangunan berarsitektur Eropa berlantai tiga. Di gedung itulah butik dan juga studio milik Jhoni Ares berada. Alana bergegas menuju pintu. Seorang security menyambutnya dengan ramah kemudian mengarahkan Alana supaya langsung ke lantai dua. Sekilas Alana mengedarkan pandangan ke butik yang ada di lantai satu itu. Matanya sungguh terpesona oleh deretan pakaian mewah yang terpajang dengan rapi. Semua itu merupakan hasil rancangan Jhoni Ares. Begitu mencapai lantai dua, Alana langsung disuguhi suasana sibuk. Beberapa orang kru terlihat tengah mempersiapkan lighting dan properti untuk pemotretan. Di sudut ruangan yang lain Jhoni Ares tengah memberi pengarahan pada beberapa orang model. Pada akhirnya mata Alana pun menangkap keberadaan sosok yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Razka sedang ditangani oleh seorang hair stylist. Sesuai prediksi Alana, ia tidak menemukan keberadaan Theo di sana. Alana pun berjalan pelan menghampiri Razka. I
My Actor “Ganteng maksimal.” Reana mengacungkan kedua jempolnya ke arah Razka. Razka membalasnya dengan senyum memukau. “Tumben, nih, kamu nggak ditempelin mulu ma body guard,” lanjut Reana sambil merapikan rambut bagian depan Razka. “Body guard? Siapa?” selidik Razka. “Itu tuh, manajer galak kamu. Sebel deh aku kalau ngelihat dia. Sok banget gayanya. Kayak dia itu siapa aja,” gerutu gadis yang memakai mini dress warna navy. Dia pun memperlihatkan wajah cemberut pada Razka. “Dia nggak bakalan datang, kok,” balas Razka. “Kamu kok betah, sih, dimanajeri sama dia. Apa hebatnya sih dia? Jutek, nggak profesional, terus posesif lagi. Mending kamu gabung di manajemen aku aja. Pasti akan lebih enak suasana kerjanya.” “Iya, kan aku juga pernah bilang. Nanti kalau kontrak eksklusif udah selesai aku mau ganti manajemen.” “Benaran, ya? Nanti gabung sama aku. Biar kita lebih sering dapat job bareng,” ujar Reana semringah lalu melihat ke sekeliling. “Benaran nih, manajer kamu nggak ada di s