My Actor Gadis berambut lurus tergerai duduk dengan pandangan menerawang. Sementara tangan kanannya memutar-mutar sedotan pada gelas yang berisi minuman berwarna oranye. Kata-kata yang ia dengar beberapa saat yang lalu masih terngiang-ngiang di telinga. “Kami harap artis anda bisa profesional dalam bekerja. Kalau bukan karena sudah terlanjur dikontrak, kami tidak mau bekerja sama dengannya. Dia tidak menghargai tim kami yang sudah standby dari pagi,” omel lelaki tinggi berkaca mata, setelah itu dia pergi dengan muka masam. Baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Alana. “Kalau kamu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari agency ataupun PH-PH, sebaiknya jangan pakai artis itu lagi,” ujar lelaki itu kemudian Ia kembali meninggalkan Alana yang hanya bisa terdiam. “Mana Pak Jodi? Belum datang?” Dengan santainya Razka langsung duduk berhadapan dengan Alana, di kursi yang tadinya diduduki Pak Jodi. “Udah pulang!” ketus Alana. “Pulang?” Razka mengerny
My Actor [Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!] Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan. “Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang. “Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun. “Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa. “Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu. “King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak seka
My Actor Alana memarkir mobilnya di halaman bangunan berarsitektur Eropa berlantai tiga. Di gedung itulah butik dan juga studio milik Jhoni Ares berada. Alana bergegas menuju pintu. Seorang security menyambutnya dengan ramah kemudian mengarahkan Alana supaya langsung ke lantai dua. Sekilas Alana mengedarkan pandangan ke butik yang ada di lantai satu itu. Matanya sungguh terpesona oleh deretan pakaian mewah yang terpajang dengan rapi. Semua itu merupakan hasil rancangan Jhoni Ares. Begitu mencapai lantai dua, Alana langsung disuguhi suasana sibuk. Beberapa orang kru terlihat tengah mempersiapkan lighting dan properti untuk pemotretan. Di sudut ruangan yang lain Jhoni Ares tengah memberi pengarahan pada beberapa orang model. Pada akhirnya mata Alana pun menangkap keberadaan sosok yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Razka sedang ditangani oleh seorang hair stylist. Sesuai prediksi Alana, ia tidak menemukan keberadaan Theo di sana. Alana pun berjalan pelan menghampiri Razka. I
My Actor “Ganteng maksimal.” Reana mengacungkan kedua jempolnya ke arah Razka. Razka membalasnya dengan senyum memukau. “Tumben, nih, kamu nggak ditempelin mulu ma body guard,” lanjut Reana sambil merapikan rambut bagian depan Razka. “Body guard? Siapa?” selidik Razka. “Itu tuh, manajer galak kamu. Sebel deh aku kalau ngelihat dia. Sok banget gayanya. Kayak dia itu siapa aja,” gerutu gadis yang memakai mini dress warna navy. Dia pun memperlihatkan wajah cemberut pada Razka. “Dia nggak bakalan datang, kok,” balas Razka. “Kamu kok betah, sih, dimanajeri sama dia. Apa hebatnya sih dia? Jutek, nggak profesional, terus posesif lagi. Mending kamu gabung di manajemen aku aja. Pasti akan lebih enak suasana kerjanya.” “Iya, kan aku juga pernah bilang. Nanti kalau kontrak eksklusif udah selesai aku mau ganti manajemen.” “Benaran, ya? Nanti gabung sama aku. Biar kita lebih sering dapat job bareng,” ujar Reana semringah lalu melihat ke sekeliling. “Benaran nih, manajer kamu nggak ada di s
My Actor Alana memilih menjauh dari keriuhan dan gegap gempita acara malam itu. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Namun, tidak ada sudut yang bisa menjadi tempatnya menyepi. Sorot lampu, kamera, dan hilir mudik kru acara hampir menyapu seluruh area ruangan. Alana mencoba memanjangkan leher. Matanya liar mencari keberadaan seseorang. Namun, tentu tidak mudah untuk mencari satu orang di antara ramainya orang di ruangan itu. Setelah sesaat larut dalam pertimbangan, Alana memutuskan untuk keluar dari ruangan tempat digelarnya fashion show tersebut. Ketika akan menyentuh pintu keluar, langkah Alana menggantung karena namanya disebut. "Alana, mau ke mana?" "Mas Davan!" Alana kaget karena tiba-tiba sosok yang sedari tadi dicarinya tiba-tiba sudah berada di belakangnya. "Aku mau keluar dulu, Mas. Mau menelepon," jawab Alana sedikit kikuk. Berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Davan membuat Alana agak kesulitan mengendalikan degup jantungnya. Paras Davan yang kha
My Actor "Ibu gimana kabarnya?" "Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?" Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana. "Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah." "Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu." "Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?" "Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik." "Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya." "Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu mas
My Actor "Ngebatalin? Emang segampang itu?" Razka menatap Alana dengan sengit. "Kenapa tidak? Tinggal bilang batal aja, udah, selesai! Beres!" ujar Alana enteng. Razka menyapu kasar wajahnya. Dia tahu konsekwensinya jika sampai terjadi pembatalan kerja sama, apalagi secara massal. Bisa-bisa tamat riwayat karirnya. "Nggak bisa begitu, dong!" ujar Razka disertai decak. "Kenapa nggak?" sambar Alana dengan mimik tanpa beban. "Nggak usah pakai-pakai ancaman segala!" "Aku nggak ngancam, kok. Cuma ngasih tahu aja. Mumpung kamu ke sini. Lebih enak kalau dengar langsung, kan?" Melihat Alana yang memperlihatkan sikap demikian, Razka seketika memutar otak agar hal itu jangan sampai terjadi. Sejujurnya dia khawatir jika Alana sampai membuktikan kata-katanya. "Okey, sekarang kita bicara baik-baik." suara Razka mulai merendah. "Mau bicarain apa lagi? Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan seenak kamu sendiri." Kali ini berganti, Alana yang berbicara dengan nada sengit. "Okey, aku akui aku se
My Actor Alana hanya mengulas senyum pada Natasya. Meski logikanya tidak menentang sama sekali atas pendapat Natasya, tetapi hatinya tetap berusaha untuk memungkirinya. "Aku ke kamar duluan, ya." Alana bangkit dari duduknya. Jika berlama-lama di sana, dia tahu akan semakin panjang dan lebar analisa yang akan diungkapkan teman dekatnya itu. "Okey, istirahat sana biar tetap waras!" Kelakar Natasya meledek Alana. Alana hanya membulatkan mata sebagai bentuk protes. Di kamarnya Alana kembali duduk termangu. Kata-kata Natasya kembali berdengung-dengung di telinganya. Namun, cepat-cepat ditepisnya. Alana kemudian mengecek ponsel. Ternyata sudah ada puluhan chat yang masuk selama HP ditinggalnya di kamar. Setelah selesai dengan benda multi fungsi itu, Alana pun beralih pada notebook yang tergeletak di atas tempat tidur. Cukup lama Alana mengamati atas layar berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan jadwal syuting Razka, aktor kesayangannya. "Enaknya bagaimana, ya?" Alana berguma
My Actor Hari-hari Alana kembali dengan rutinitas yang padat. Mulai dari menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Razka untuk melakoni pekerjaannya syuting film dari satu lokasi ke lokasi berikutnya, mengisi acara baik on air maupun off air, hingga meeting dengan para produser maupun sutradara. Tak hanya sebatas keperluan pekerjaan, untuk keperluan sehari-hari Razka pun tak luput dari perhatian Alana. Alana larut dalam kesibukan. Berkejaran dengan waktu demi dapat menuntaskan target-target kerja yang telah disusun. Pun begitu dengan Razka, dia nampak asyik dan sangat menikmati pekerjaannya. Mereka terlihat sangat akur dan saling mengisi. Di mana ada Razka sudah pasti Alana pun ada di sekitar situ. Meskipun semua terlihat baik-baik saja, Natasya selaku teman terdekat Alana, tetap mengingatkan agar temannya itu tidak terlalu mengumbar rasa cintanya kepada sang aktor. Takutnya akan berbuah penyesalan nantinya. Begitu juga dengan Theo yang sudah hapal akan siklus hubungan Alana dan Razk
My Actor Alana hanya mengulas senyum pada Natasya. Meski logikanya tidak menentang sama sekali atas pendapat Natasya, tetapi hatinya tetap berusaha untuk memungkirinya. "Aku ke kamar duluan, ya." Alana bangkit dari duduknya. Jika berlama-lama di sana, dia tahu akan semakin panjang dan lebar analisa yang akan diungkapkan teman dekatnya itu. "Okey, istirahat sana biar tetap waras!" Kelakar Natasya meledek Alana. Alana hanya membulatkan mata sebagai bentuk protes. Di kamarnya Alana kembali duduk termangu. Kata-kata Natasya kembali berdengung-dengung di telinganya. Namun, cepat-cepat ditepisnya. Alana kemudian mengecek ponsel. Ternyata sudah ada puluhan chat yang masuk selama HP ditinggalnya di kamar. Setelah selesai dengan benda multi fungsi itu, Alana pun beralih pada notebook yang tergeletak di atas tempat tidur. Cukup lama Alana mengamati atas layar berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan jadwal syuting Razka, aktor kesayangannya. "Enaknya bagaimana, ya?" Alana berguma
My Actor "Ngebatalin? Emang segampang itu?" Razka menatap Alana dengan sengit. "Kenapa tidak? Tinggal bilang batal aja, udah, selesai! Beres!" ujar Alana enteng. Razka menyapu kasar wajahnya. Dia tahu konsekwensinya jika sampai terjadi pembatalan kerja sama, apalagi secara massal. Bisa-bisa tamat riwayat karirnya. "Nggak bisa begitu, dong!" ujar Razka disertai decak. "Kenapa nggak?" sambar Alana dengan mimik tanpa beban. "Nggak usah pakai-pakai ancaman segala!" "Aku nggak ngancam, kok. Cuma ngasih tahu aja. Mumpung kamu ke sini. Lebih enak kalau dengar langsung, kan?" Melihat Alana yang memperlihatkan sikap demikian, Razka seketika memutar otak agar hal itu jangan sampai terjadi. Sejujurnya dia khawatir jika Alana sampai membuktikan kata-katanya. "Okey, sekarang kita bicara baik-baik." suara Razka mulai merendah. "Mau bicarain apa lagi? Toh, ujung-ujungnya juga kamu akan seenak kamu sendiri." Kali ini berganti, Alana yang berbicara dengan nada sengit. "Okey, aku akui aku se
My Actor "Ibu gimana kabarnya?" "Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?" Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana. "Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah." "Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu." "Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?" "Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik." "Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya." "Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu mas
My Actor Alana memilih menjauh dari keriuhan dan gegap gempita acara malam itu. Dia mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Namun, tidak ada sudut yang bisa menjadi tempatnya menyepi. Sorot lampu, kamera, dan hilir mudik kru acara hampir menyapu seluruh area ruangan. Alana mencoba memanjangkan leher. Matanya liar mencari keberadaan seseorang. Namun, tentu tidak mudah untuk mencari satu orang di antara ramainya orang di ruangan itu. Setelah sesaat larut dalam pertimbangan, Alana memutuskan untuk keluar dari ruangan tempat digelarnya fashion show tersebut. Ketika akan menyentuh pintu keluar, langkah Alana menggantung karena namanya disebut. "Alana, mau ke mana?" "Mas Davan!" Alana kaget karena tiba-tiba sosok yang sedari tadi dicarinya tiba-tiba sudah berada di belakangnya. "Aku mau keluar dulu, Mas. Mau menelepon," jawab Alana sedikit kikuk. Berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Davan membuat Alana agak kesulitan mengendalikan degup jantungnya. Paras Davan yang kha
My Actor “Ganteng maksimal.” Reana mengacungkan kedua jempolnya ke arah Razka. Razka membalasnya dengan senyum memukau. “Tumben, nih, kamu nggak ditempelin mulu ma body guard,” lanjut Reana sambil merapikan rambut bagian depan Razka. “Body guard? Siapa?” selidik Razka. “Itu tuh, manajer galak kamu. Sebel deh aku kalau ngelihat dia. Sok banget gayanya. Kayak dia itu siapa aja,” gerutu gadis yang memakai mini dress warna navy. Dia pun memperlihatkan wajah cemberut pada Razka. “Dia nggak bakalan datang, kok,” balas Razka. “Kamu kok betah, sih, dimanajeri sama dia. Apa hebatnya sih dia? Jutek, nggak profesional, terus posesif lagi. Mending kamu gabung di manajemen aku aja. Pasti akan lebih enak suasana kerjanya.” “Iya, kan aku juga pernah bilang. Nanti kalau kontrak eksklusif udah selesai aku mau ganti manajemen.” “Benaran, ya? Nanti gabung sama aku. Biar kita lebih sering dapat job bareng,” ujar Reana semringah lalu melihat ke sekeliling. “Benaran nih, manajer kamu nggak ada di s
My Actor Alana memarkir mobilnya di halaman bangunan berarsitektur Eropa berlantai tiga. Di gedung itulah butik dan juga studio milik Jhoni Ares berada. Alana bergegas menuju pintu. Seorang security menyambutnya dengan ramah kemudian mengarahkan Alana supaya langsung ke lantai dua. Sekilas Alana mengedarkan pandangan ke butik yang ada di lantai satu itu. Matanya sungguh terpesona oleh deretan pakaian mewah yang terpajang dengan rapi. Semua itu merupakan hasil rancangan Jhoni Ares. Begitu mencapai lantai dua, Alana langsung disuguhi suasana sibuk. Beberapa orang kru terlihat tengah mempersiapkan lighting dan properti untuk pemotretan. Di sudut ruangan yang lain Jhoni Ares tengah memberi pengarahan pada beberapa orang model. Pada akhirnya mata Alana pun menangkap keberadaan sosok yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Razka sedang ditangani oleh seorang hair stylist. Sesuai prediksi Alana, ia tidak menemukan keberadaan Theo di sana. Alana pun berjalan pelan menghampiri Razka. I
My Actor [Alana Zaura, besok bawa artis kamu ke studio saya tepat waktu. Ingat, tepat waktu!] Mata Alana terbelalak membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Pesan yang dikirim oleh Jhoni Ares, seorang perancang busana kenamaan. “Waduh, bakalan rumit ini,” gerutu Alana. Segera ia menghubungi si pengirim pesan. Tak menunggu lama, terdengar jawaban dari seseorang. “Apa ada yang belum jelas?” tanya itu terdengar sangat lugas tanpa diawali basa-basi sedikit pun. “Hai, King Jhoni. Apa kabar?” Alana mencoba berbasa-basi walaupun ia tahu itu tidak akan berarti apa-apa. “Udah, Nggak usah sok manis deh, ya. Saya hanya butuh bukti nyata dari artis kamu itu. Ingat, ya, kalau besok dia mengecewakan apalagi sampai mangkir lagi dari tanggung jawab, saya nggak akan segan-segan untuk angkat kasus ini!” ketus lelaki yang agak sedikit kemayu itu. “King Jhoni yang baik hati, jangan galak-galak, dong. Please ... kasih kesempatan. Janji, nggak bakal mengecewakan. Tapi ... ini kok mendadak seka
My Actor Gadis berambut lurus tergerai duduk dengan pandangan menerawang. Sementara tangan kanannya memutar-mutar sedotan pada gelas yang berisi minuman berwarna oranye. Kata-kata yang ia dengar beberapa saat yang lalu masih terngiang-ngiang di telinga. “Kami harap artis anda bisa profesional dalam bekerja. Kalau bukan karena sudah terlanjur dikontrak, kami tidak mau bekerja sama dengannya. Dia tidak menghargai tim kami yang sudah standby dari pagi,” omel lelaki tinggi berkaca mata, setelah itu dia pergi dengan muka masam. Baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik arah dan kembali menghampiri Alana. “Kalau kamu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari agency ataupun PH-PH, sebaiknya jangan pakai artis itu lagi,” ujar lelaki itu kemudian Ia kembali meninggalkan Alana yang hanya bisa terdiam. “Mana Pak Jodi? Belum datang?” Dengan santainya Razka langsung duduk berhadapan dengan Alana, di kursi yang tadinya diduduki Pak Jodi. “Udah pulang!” ketus Alana. “Pulang?” Razka mengerny