“Ay tidak mau Pa!”
Sangkal gadis bertubuh mungil dengan rambut kuncir kuda khas anak seusianya. Bibirnya yang berwarna merah ranum pun sudah maju beberapa centi. Menandakan Aylin memang sedang tidak bercanda.“Dengerin Papa dulu Nak.”Dengan terpaksa Aylin menghentikan langkah kakinya yang sudah menaiki tangga. Meski begitu ia tetap enggan memutar tubuhnya menghadap sang Ayah.“Enzo itu rekan bisnis terbaik Papamu Ay,” ungkap Sekar, Ibu Aylin yang masih terlihat awet muda.Apa hubungannya semua itu? Aylin bertanya-tanya dalam hati. Pemuda slengean yang sering nongkrong di depan gerbang sekolahnya berniat ingin menikahi dirinya. Benar-benar diluar dugaan Enzo adalah rekan bisnis Rendy, Ayah Aylin.“Tapi Ay masih bocil Ma. Baru juga kelas XI,” protes gadis remaja itu tidak terima.Respon yang normal untuk remaja SMA seperti Aylin. Sebenarnya Rendy juga cukup menyayangkan jika gadis kecilnya menikah secepat itu. Tapi melihat keseriusan Enzo perihal putrinya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah. Toh ia yakin Enzo bisa menjaga Aylin layaknya ia yang sudah menjaga gadis itu selama 16 tahun.“Dia laki-laki yang bertanggung jawab Ay. Sudah turuti saja kemauan Papamu.”Mutlak. Mau menyangkal sekuat apapun Aylin tetaplah anak kecil yang tidak bisa menyanggah orang tua. Ia juga teramat takut jika dikatakan menjadi anak yang durhaka kepada orang tua. Tapi ia baru kelas XI?“Tapi Pa, Aylin mau melanjutkan sekolah.”Bukan Aylin namanya jika tidak bisa membuat alibi. Bukan ingin melawan tapi ia hanya mencoba untuk mencari alasan. Sungguh ia tidak ingin masa depannya suram seperti remaja yang terjebak pernikahan dini yang pernah ia baca di berita.“Ay, dia berjanji pada Papa. Dia akan menjagamu dengan baik. Lagipula nikahnya kalau kamu udah lulus SMA kok.”Hanya beberapa kalimat namun berhasil membuat Aylin mengatupkan bibir rapat. Iya, Aylin tidak pernah berani menyanggah perkataan sang Ayah. Ah sudahlah ia terlalu belum siap menerima tawaran menikah. Toh masih sekitar satu tahun lebih.Sementara disebuah rumah bernuansa klasik namun berkelas, nampak seorang laki-laki berusia 28 tahun sedang merebahkan diri di sofa malas. Mata elangnya menatap daun yang berguguran diterpa angin. Enzo tidak bisa menghentikan bibirnya yang terus menyunggingkan lengkungan tipis.“Sehat Mang?”Reflek Enzo memutar kepala melihat suara familiar yang terdengar sedikit cempreng. Astaga bernyali sekali Enzo mengatai wanita paruh baya disampingnya cempreng. Wanita itu adalah Elena, ibu Enzo.“Bunda mah gitu, anak seganteng seleb masak manggilnya Mamang,” protes Enzo kepada Elena.Geli dengan ucapan pemuda di hadapannya Elena hanya bisa terkikik kaku. Bukan kali pertama putra semata wayangnya itu terlampaui percaya diri seperti itu. Tapi memang benar Enzo setampan seleb menurut Elena, entah menurut orang lain.“Besok ikut Bunda ke petshop ya?” bujuk Elena. Pasalnya Enzo selalu menolak ajakannya.Enzo memutar bola mata malas. Ia tahu ada maksud tersembunyi dari permintaan wanita yang ia panggil dengan sebutan Bunda itu. Bukan tanpa alasan, petshop adalah tempat Elena bertemu dengan kawan lamanya. Hal itulah yang membuat Enzo sangat malas jika diajak pergi menemani sang Ibu.KRING!!!!!!Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Siang ini gadis bertubuh mungil dengan sweater oversize nampak murung di kursi taman sekolah. Sepoi angin dibawah pohon rindang ternyata tidak bisa menyejukkan hatinya sama sekali. Pikirannya terus berkelana mengingat perkataan kedua orang tuanya perihal perjodohan.“Arrrgghhh!! Kenapa aku terus memikirkan om-om itu?? Toh dia juga tidak menemuiku lagi.”Monolog Aylin memerutuki dirinya sendiri.“Cie, mikirin pangeran norak ya Ay?”Demi apa, Aylin terkejut setengah mati melihat Sesil yang entah sejak kapan duduk disampingnya.“Sejak kapan kamu disini hah??” tanya Aylin kebakaran jenggot.Sesil mengedipkan sebelah matamya, “10 menit yang lalu.”Ya Tuhan, bagaimana bisa aku tidak sadar sama sekali? Batin Aylin mengutuk diirnya sendiri. Apa mungkin virus pangeran norak itu sungguh membuatnya terlena? Membayangkannya saja ia sudah merinding.“Om itu beneran gebetanmu ya Ay?” tanya Sesil penuh selidik. Tak lupa ia memasang wajah curiga.Secepat kilat Aylin menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan tuduhan itu.“Yakali pacarku setua itu Sil!” sanggah Aylin.“Oh pacar toh?” goda Sesil semgaja menekankan kata pacar kepada sahabatnya yang terlihat menggemaskan saat sedang menahan marah.“Dih amit-amit!”Deru mobil mewah menghentikan percakapan dua gadis remaja yang sama-sama sedang menunggu jemputan pulang sekolah. Tanpa aba-aba Aylin dan Sesil menatap seseorang yang keluar dari mobil mewah keluaran terbaru itu.Bingo! Sudah lama sekali Enzo tidak melihat pemandangan yang paling ia sukai beberapa hari ini lantaran ia harus pergi keluar kota. Dan beruntungnya ia langsung disambut peri kecil cantik yang selalu memenuhi kepalanya.“Hai tuan putri,” sapa Enzo seraya menghampiri Aylin yang duduk mematung.“Om panjang umur baru juga diomongin udah nonggol aja,” celetuk Sesil.Enzo mengernyitkan alis tak paham.“Kamu ngomongin saya??”“Aylin Om.”Apa? Sesil benar-benar minta dibogem. Dengan sengit Aylin mencubit kecil pinggang sahabatnya yang sudah asal bicara.“Tidak! Jangan percaya!”“Serius Om. Tadi Aylin bilang kangen.”Hah? Apa-apaan Sesil berkata seperti itu. Aylin sungguh tidak habis pikir.Enzo mengedipkan sebelah mata menggoda gadis mungil yang pipinya tengah memerah. Dimata Enzo Aylin terlihat seperti buah tomat yang sudah masak. Cantik dan merah merona. Ia baru tahu Aylin seimut itu.“Sesil!” bentak Aylin dengan galaknya kepada gadis bersweater sama persis dengan yang ia kenakan.“Serius Om aku gak bohong. Tadi Aylin nglamunin Om, sumpah.”Aylin merinding sekaligus mual melihat ekspresi laki-laki jangkung dihadapannya. Pasalnya Enzo memasang wajah yang sulit sekali diartikan karena terlalu norak bagi Aylin. Sungguh kentara sekali laki-laki itu sedang berbinar bahagia.“HOEK ...!”Celetukan Aylin menyadarkan Enzo yang sedang berbunga-bunga. Sekejap ia langsung tersadar dari perasaan terbangnya mendengar pernyataan teman Aylin.“Ya sudah pulang yuk!” ajak Enzo seraya menggandengan tangan kecil Aylin.“Ih jangan pegang-pegang!” protes Aylin menepis tangan Enzo dengan sengit.Bukannya marah laki-laki bertubuh jangkung itu justru melempar senyum. Ia menghargai gadis kecilnya yang menolak bergandengan tangan dengan dirinya. Meski ketus Aylin tetap menurut masuk ke dalam mobil. Tentu saja dengan wajah datar nan dingin.“Nih oleh-oleh,” ucap Enzo menyambar kado yang sudah ia siapkan sejak beberapa hari yang lalu.Mendengar kata oleh-oleh ekor mata Aylin melirik sekilas kotak berwarna cream lengkap dengan pita diatasnya. Dengan rasa penasaran tingkat dewa Aylin membuka kotak yang diberikan Enzo.“Hah??”Aylin melongo menatap isi kotak berwarna cream itu.“Gimana? Suka?” tanya Enzo tersenyum ceria.Aylin mengerjapkan bulu matanya yang lentik berulang kali. Ia mencoba membaca buku yang ada didalam kotak cream itu berulang kali. Namun ia yakin ia tidak sedang salah membaca.BERSAMBUNG“AKU BUKAN ANAK PAUD!!!”Aylin menggerutu membaca dan meresapi buku yang kini ia pegang. Matanya yang semula berbinar pun berubah menjadi nanar. Lagipula apa yang ia harapkan dari seorang Enzo yang super absurd itu. “Kata siapa buku mewarnai hanya untuk anak paud?” Lirikan tajam menghujam Enzo yang berwajah ceria tanpa dosa. Sontak laki-laki berwajah jenaka itu menutup mulut. “Om anak SMA mana yang masih memakai buku mewarnai?”Enzo menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Ia juga tidak paham mengapa ia melakukan hal demikian. Ia hanya merasa otaknya bekerja dengan keras untuk memikirkan pertanyaan Aylin. “Hmmm ...”Laki-laki berbadan jangkung itu masih mencoba berpikir dengan logikanya. Mengapa pertanyaan Aylin sulit sekali untuk ia pahami. Cklek!“Hehe, iya ayo jalan aja.”Tanpa basa-basi lagi Enzo segera menyalakan mesin mobilnya. Jiwa tidak pekanya menguap begitu saja saat melihat gadis disampingnya sudah bersiap mengenakan sabuk pengaman. Perjalanan pun berlalu den
Enzo melipat sikunya sebagai penopang dagu. Mata elangnya menatap jauh gedung pencakar langit dari balik kaca jendela kantor. Kepalanya terasa berat mendengar presentasi dari seorang karyawan kantornya yang terdengar seperti lagu penghantar tidur untuknya. Berulang kali ia menguap menahan kantuk. “Sudah pak,” ucap Jayden.Entah lantaran terlalu pelan suara Jayden atau Enzo yang terlalu mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu tidak merespon sama sekali. Matanya masih menatap kosong keluar jendela. Tentu saja tingkah Enzo membuat karyawan kantor yang mengikuti rapat itu terkekeh geli. “Pak Enzo, bangun yuk bisa yuk,” ucap Jayden seraya melambaikan tangan di depan wajah Enzo.Dengan sigap Enzo menegakkan tubuh jangkungnya yang justru mengundang gelak tawa satu ruangan. Apakah Enzo peduli? Tentu tidak. Sebenarnya ia masih bisa mendengarkan presentasi salah satu karyawannya. Ia juga paham betul apa yang menjadi bahasan rapat siang itu. Ditengah cuaca yang terik ia merasa begitu pelik
Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis."Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal."Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.Aylin melirik sekilas wanita paruh baya
Aylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin. "Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin. "Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu
"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta
"Ck! Aylin mana sih kok gak ada," monolog Sesil kepada dirinya sendiri. Gadis itu bahkan merasa tidak lahap memakan snack yang ia pegang.Sudah hampir setengah jam acara dimulai tapi tidak ada tanda kemunculan Aylin. Berulang kali Sesil menekan tombol panggil pada ponselnya namun nihil jawaban. "Kenapa Sil?" tanya ketua kelas Sesil yang kebetulan duduk berdekatan dengannya."Eh kamu tadi lihat Aylin gak?" Ketua kelasnya nampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Tadi dia perjalanan kesini kok," jawabnya.Aneh, kenapa gadis itu belum juga tiba. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sesil memutuskan untuk keluar dari aula. Setengah berlari Sesil menuju kelas XI. "Sial! Ada orang."Misel dan teman-temannya terpaksa menghentikan perundungan. Lantaran Misel mendengar jelas suara langkah kaki dari arah berlawanan. Dengan kuat ia membungkukkan badan mungil Aylin diikuti oleh dirinya yang juga ikut berjongkok menunduk. Gudang sekolah memiliki kaca jendela yang transparan dan