Kemeja rapi, jas necis, sepatu hitam mengkilap menjadi pekerjaan yang paling didamba sebagian besar manusia. Laki-laki berperawakan jangkung turun dari mobil. Ribuan karyawan yang sudah menanti sontak berdesakan untuk melihat sang CEO perusahaan WinEx Group.
Enzo Delwyn, semua mata tertuju padanya tanpa luput. Ada mata yang berbinar kagum hingga mata yang nampak penuh haru biru. Tatapan yang cukup beragam untuk menyambut kedatangan laki-laki berperawakan tinggi menjulang itu. Bukan jas dan kemeja rapi yang menyejukkan mata melainkan kaos oblong santai berwarna merah menyala. Dengan tidak matching Enzo mengenakan celana panjang warna kuning. Pun digulung sebatas lutut. Menampakkan kaki panjangnya yang dihiasi bulu kecil yang seolah malu untuk tumbuh. Hingga tiba-tiba datanglah laki-laki berjas hitam rapi nan necis menghampiri Enzo. Sekretaris perusahaan WinEx Group, Jayden."Bapak yakin hanya mengenakan sendal jepit saja?" tanya Jayden kepada bosnya. Pasalnya ia sendiri merasa gemas dengan tingkah Enzo yang terlampaui cuek soal penampilan.Enzo nyengir kuda seraya berjalan acuh melintasi ribuan karyawan. Tidak peduli dengan pandangan seluruh mata yang enggan beralih darinya. Baru kali ini ia merasa menjadi seorang artis. Perasaan menyenangkan macam apa ini? Batin Enzo geli.Dengan setengah berlari Jayden menyusul Enzo yang berjalan lebih dulu darinya. "Paling tidak tolong naikkan dulu resleting celana Bapak," ucap Jayden sukses membuat Enzo membeku.Laki-laki Jangkung itu lantas menatap tubuhnya bagian bawah. Terpampanglah celana boxer berwarna pink terang dengan motif bulan dan bintang."Hehe, kelihatan ya?" ucap Enzo terkekeh. Lalu menaikkan resletingnya dengan santai.Plak!Karyawan diseluruh ruangan itu menepuk jidat serentak. Bisa-bisanya mereka memiliki CEO sembrono seperti Enzo."Tolong di jaga ya pak. Itu aset masa depan," ucap Jayden dengan wajah sendu ingin menangis. Ia sebagai laki-laki tulen merasa harga dirinya tercabik melihat perilaku bosnya.Enzo tidak terlalu mendengarkan ucapan Jayden yang selalu bawel. Ketimbang sekretaris perusahaan, Jayden lebih cocok menjadi ibu untuk Enzo. Musabab laki-laki itu selalu melarang dan mencegah Enzo untuk melakukan ini dan itu. Persis seperti seorang ibu yang melarang anaknya bertindak ceroboh. Sungguh ironi.Laki-laki berperawakan jangkung itu menghentikan langkahnya tepat di depan ruang khusus bertuliskan CEO WinEx Group."Astaga!" pekik Enzo mengerjapkan bulu matanya yang selentik bulu mata sapi. Panjang dan hitam alami."Ada apa pak?" tanya Jayden yang berada dibelakang Enzo.Tanpa menjawab pertanyaan sekretarisnya. Enzo berlari kembali menuju mobil mewah miliknya yang bertengger di parkiran. Wajahnya yang terbiasa santai pun berubah menjadi kaku dan serius. Meliihat pantulan wajahnya sendiri dari cermin mobil Enzo terkikik geli.“Ternyata aku bisa setampan ini. Bisa-bisanya seorang Aylin menolakku.”HAACIWW!!!“Busett ... pelan napa Neng. Cewek kok gak ada anggun-anggunnya,” celetuk gadis remaja berseragam putih abu-abu kepada gadis bersurai coklat disampingnya.“Pasti ada yang ngomongin aku nih.”“Emang iya Ay?” tanya Sesil gadis yang sejak tadi setia menemani Aylin dari Taman Kanak-Kanak hingga sekarang.Gadis berwajah bulat yang sering di sapa dengan nama panggilan Aylin itu mengangguk singkat. Ia bahkan tidak yakin dengan jawaban ngasal itu. Tapi Sesil mudah percaya begitu saja.“Ay udah ditungguin di gerbang.”Aylin yang baru saja hendak menyantap tahu bulat yang sempat ia anggurkan hanya bisa mendengus kesal mendengar ucapan salah seorang siswa kelas XI. Tidak seperti biasanya ia dijemput secepat itu. Ia paham betul betapa sibuknya sang Ayah. Dengan terpaksa Aylin beranjak dari kursi kantin favoritnya. Berjalan malas menuju gerbang sekolah.“Selamat siang tuan putri.”Bukan suara barinton. Sejak kapan suara barinton berubah menjadi bass? Aylin yang kebingungan lantas mendongakkan kepala.“HAHAHAHA!!”Seketika Aylin ingin menghilang dari planet yang disebut bumi. Malu, ia sangat malu sekali. Entah datang darimana laki-laki berkaos merah mencolok mata yang akhir-akhir ini sering menemui dirinya.“Cie ... Aylin dijemput pangeran,” ujar siswa kelas XI yang seangkatan dengan Aylin.“Pangeran norak ups!” imbuh yang lain meledek Aylin tanpa segan.Geram dengan ledekan dan cemooh yang berulang. Aylin berjalan cepat menghampiri seorang laki-laki jangkung yang tengah tersenyum lebar di depan pintu mobil. Keren? Norak!“Pergi!!” usir Aylin dengan suara lantang khas remaja seusianya.Bak bongkahan batu besar. Laki-laki yang berdiri tepat disamping Aylin tidak bergeser sama sekali. Bagaimana mungkin bisa bergerak. Tubuh Aylin saja tidak ada seperempatnya dari laki-laki itu.“Tuan putri jangan kasar dong sama pangeran. Hahaha.”Lagi-lagi ledekan itu menghujani Aylin. Sungguh ia frustasi dengan situasi yang menimpa dirinya saat ini. Ia bahkan tidak kenal sama sekali dengan laki-laki yang dipanggil dengan sebutan pangeran oleh teman-temannya. Pangeran norak, catat.“Kenapa sih Om selalu kesini??” tanya Aylin tidak sabaran. Untuk apa juga ia bersabar dengan laki-laki tidak dikenal itu.Enzo berbinar mendengar suara yang menurutnya sangat merdu. Ya, suara gadis mungil yang membuat jantungnya berdebar kencang. Ia juga tidak paham bagaimana mungkin ia jatuh hati pada gadis SMA yang lebih pantas menjadi keponakannya. Tapi bukankah cinta itu buta? Kalian mau apa.“Woi!” seru Aylin seraya melambaikan tangan tepat di depan wajah laki-laki dihadapnnya. Untungnya laki-laki itu sudi sedikit menundukkan kepalanya. Sehingga Aylin tidak perlu terlalu berusaha untuk menyamai tingginya yang hanya standar.“Aku disuruh Papamu,” sahut Enzo dengan senyum merekah.Apa katanya? Papa? Dusta apalagi ini. Batin Aylin tidak habis pikir.Melihat dari penampilan laki-laki itu yang super amburadul. Rasanya tidak mungkin laki-laki itu memiliki hubungan dengan perusahaan Ayahnya. Aylin menggelengkan kepala untuk yang kedua kalinya.“Udah Ay buruan masuk mobil. Ntar keburu pergi pangerannya,” ledek Sesil yang entah mengapa ikut nimbrung. Seraya mendorong Aylin masuk mobil.Aylin mengerjapkan bulu matanya dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik saja ia sudah duduk di kursi mobil milik laki-laki aneh yang mengaku disuruh oleh papanya. Teman-temannya sungguh tidak berakhlak sudah membuat ia terjebak satu mobil dengan laki-laki itu.“Jadi mau main dulu apa langsung pulang?” tanya Enzo dengan ceria seperti anak kecil yang mendapat gula-gula.“Sebenernya Om siapa sih? Penculik??” cecar Aylin sewot. Kalaupun laki-laki itu seorang penculik anak dibawah umur Aylin tidak ciut. Toh ayahnya pasti akan menemukan dirinya kemana pun ia akan dibawa.Sangat menggemaskan. Entah mengapa gadis mungil itu semakin terlihat menggemaskan saat sedang marah. Mungkin tuduhan Aylin ada benarnya. Enzo memang penculik. Penculik hati.“Namaku Enzo.”Melihat tidak ada respon dari gadis disampingnya Enzo mencoba melirik sekilas Aylin. “Aku Enzo.”“Yang tempat kebun binatang itu?”Ya Tuhan pertanyaan macam apa itu? seketika Enzo ingin menggulung bocah disampingnya itu dengan tangannya sendiri.“Enzo bukan Zoo!”BERSAMBUNG“Ay tidak mau Pa!”Sangkal gadis bertubuh mungil dengan rambut kuncir kuda khas anak seusianya. Bibirnya yang berwarna merah ranum pun sudah maju beberapa centi. Menandakan Aylin memang sedang tidak bercanda.“Dengerin Papa dulu Nak.”Dengan terpaksa Aylin menghentikan langkah kakinya yang sudah menaiki tangga. Meski begitu ia tetap enggan memutar tubuhnya menghadap sang Ayah. “Enzo itu rekan bisnis terbaik Papamu Ay,” ungkap Sekar, Ibu Aylin yang masih terlihat awet muda.Apa hubungannya semua itu? Aylin bertanya-tanya dalam hati. Pemuda slengean yang sering nongkrong di depan gerbang sekolahnya berniat ingin menikahi dirinya. Benar-benar diluar dugaan Enzo adalah rekan bisnis Rendy, Ayah Aylin.“Tapi Ay masih bocil Ma. Baru juga kelas XI,” protes gadis remaja itu tidak terima.Respon yang normal untuk remaja SMA seperti Aylin. Sebenarnya Rendy juga cukup menyayangkan jika gadis kecilnya menikah secepat itu. Tapi melihat keseriusan Enzo perihal putrinya. Akhirnya ia memilih untuk m
“AKU BUKAN ANAK PAUD!!!”Aylin menggerutu membaca dan meresapi buku yang kini ia pegang. Matanya yang semula berbinar pun berubah menjadi nanar. Lagipula apa yang ia harapkan dari seorang Enzo yang super absurd itu. “Kata siapa buku mewarnai hanya untuk anak paud?” Lirikan tajam menghujam Enzo yang berwajah ceria tanpa dosa. Sontak laki-laki berwajah jenaka itu menutup mulut. “Om anak SMA mana yang masih memakai buku mewarnai?”Enzo menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Ia juga tidak paham mengapa ia melakukan hal demikian. Ia hanya merasa otaknya bekerja dengan keras untuk memikirkan pertanyaan Aylin. “Hmmm ...”Laki-laki berbadan jangkung itu masih mencoba berpikir dengan logikanya. Mengapa pertanyaan Aylin sulit sekali untuk ia pahami. Cklek!“Hehe, iya ayo jalan aja.”Tanpa basa-basi lagi Enzo segera menyalakan mesin mobilnya. Jiwa tidak pekanya menguap begitu saja saat melihat gadis disampingnya sudah bersiap mengenakan sabuk pengaman. Perjalanan pun berlalu den
Enzo melipat sikunya sebagai penopang dagu. Mata elangnya menatap jauh gedung pencakar langit dari balik kaca jendela kantor. Kepalanya terasa berat mendengar presentasi dari seorang karyawan kantornya yang terdengar seperti lagu penghantar tidur untuknya. Berulang kali ia menguap menahan kantuk. “Sudah pak,” ucap Jayden.Entah lantaran terlalu pelan suara Jayden atau Enzo yang terlalu mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu tidak merespon sama sekali. Matanya masih menatap kosong keluar jendela. Tentu saja tingkah Enzo membuat karyawan kantor yang mengikuti rapat itu terkekeh geli. “Pak Enzo, bangun yuk bisa yuk,” ucap Jayden seraya melambaikan tangan di depan wajah Enzo.Dengan sigap Enzo menegakkan tubuh jangkungnya yang justru mengundang gelak tawa satu ruangan. Apakah Enzo peduli? Tentu tidak. Sebenarnya ia masih bisa mendengarkan presentasi salah satu karyawannya. Ia juga paham betul apa yang menjadi bahasan rapat siang itu. Ditengah cuaca yang terik ia merasa begitu pelik
Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis."Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal."Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.Aylin melirik sekilas wanita paruh baya
Aylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin. "Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin. "Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu
"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta