“AKU BUKAN ANAK PAUD!!!”
Aylin menggerutu membaca dan meresapi buku yang kini ia pegang. Matanya yang semula berbinar pun berubah menjadi nanar. Lagipula apa yang ia harapkan dari seorang Enzo yang super absurd itu.“Kata siapa buku mewarnai hanya untuk anak paud?”Lirikan tajam menghujam Enzo yang berwajah ceria tanpa dosa. Sontak laki-laki berwajah jenaka itu menutup mulut.“Om anak SMA mana yang masih memakai buku mewarnai?”Enzo menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Ia juga tidak paham mengapa ia melakukan hal demikian. Ia hanya merasa otaknya bekerja dengan keras untuk memikirkan pertanyaan Aylin.“Hmmm ...”Laki-laki berbadan jangkung itu masih mencoba berpikir dengan logikanya. Mengapa pertanyaan Aylin sulit sekali untuk ia pahami.Cklek!“Hehe, iya ayo jalan aja.”Tanpa basa-basi lagi Enzo segera menyalakan mesin mobilnya. Jiwa tidak pekanya menguap begitu saja saat melihat gadis disampingnya sudah bersiap mengenakan sabuk pengaman. Perjalanan pun berlalu dengan keheningan tanpa ada yang mau membuka obrolan.Aylin memutar bola mata malas dengan berbagai pertanyaan yang sebenarnya bersarang didalam kepalanya. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan pada laki-laki yang mengaku rekan bisnis ayahnya itu. Tunggu, jika diperhatikan laki-laki yang berada disampingnya itu lumayan juga. Batin Aylin mulai bergejolak.“Enggak!” ungkap Aylin seraya memukul kepalanya pelan menampik perasaan aneh yang timbul di otaknya yang mulai tidak masuk akal.“Apanya yang enggak?” tanya Enzo penuh selidik.Tubuh Aylin menegang tidak mungkin ia mengatakan apa yang ia pikirkan. Lagi-lagi gadis mungil itu merona membuat Enzo terkekeh geli.“Iya aku emang ganteng.”Aylin semakin mematung mendengar pernyataan terlalu percaya diri itu. Tidak ingin Enzo terbang ke angkasa Aylin segera menggelengkan kepala.“Jangan ngada-ngada deh,” sanggah Aylin memasang wajah sedatar mungkin.Tidak memakan waktu lama mobil yang dikendarai Enzo dan Aylin tiba di sebuah toko bertuliskan Petshop dengan tempelan gambar hewan yang menjadi ciri khasnya. Aylin yang baru pertama kali datang ke petshop nampak begitu tertegun. Dengan heran ia melirik laki-laki disebelahnya. Namun keheranan itu semakin bertambah kala seorang Ibu paruh baya melambaikan tangan ke arah Enzo dan Aylin.“Ibu itu siapa?” tanya Aylin setengah berbisik tidak ingin ada orang lain yang mendengar pertanyaanya.“Lagi ikut acara uji nyali mungkin,” jawab Enzo sekenanya.“Enzo...!” seru Ibu itu mencubit pinggang putra keduanya itu.“Sakit Bun!” pekik Enzo mencoba melepaskan diri dari cubitan sang Ibu.“Masak bunda dikatain lagi uji nyali sih. Ada-ada aja kamu,” gerutu Elena tidak terima.Aylin yang sedari tadi menyimak percakapan anak dan ibu itu hanya bisa menahan tawa geli. Pantas saja Ibu paruh baya itu melambaikan tangan ke arahnya ternyata Ibu itu adalah Ibu Enzo.Deg!Calon mertua?! Batin Aylin terkejut.“Ini gadis yang kamu bilang itu ya?” tanya Elena penasaran dengan gadis bertubuh mungil berseragam putih abu-abu yang berada tepat disamping putranya.“Oh iya lupa. Kenalin Bun ini Aylin calon menantu,” jelas Enzo menimbulkan rona pipi Aylin kembali menyala.Dengan malu-malu Aylin mengulurkan tangannya kepada Ibu Enzo. Entah mengapa ia sangat gugup layaknya seseorang yang benar-benar sedang bertemu dengan calon mertua.“A ... Ay ...”“Ayam.”Aylin melotot protes dengan celetukan Enzo yang menyebut dirinya sebagai ayam. Sungguh menyebalkan!Elena tersenyum geli melihat tingkah putranya dan gadis mungil dihadapannya. Benar-benar terlihat seperti sepasang remaja yang baru saja puber. Sangat tidak cocok sekali dengan umur Enzo yang sudah 28 tahun.“Aylin tante,” ucap Aylin mencoba menutupi perasaan gugup yang menderu dadanya.“Halo Aylin, panggil Bunda Elena aja ya.”Semburat pink kembali singgah di pipi Aylin. Mendengar perkataan Elena membuat Aylin salah tingkah tingkat dewa. Aylin memang tidak bakat menyembunyikan perasaannya yang mudah tersipu.“Anak nomor tiga Jeng?” sambar seorang wanita paruh baya yang terlihat seumuran dengan Elena.Reflek Elena dan Aylin saling menggelengkan kepala.“Itu calonnya Enzo Jeng,” sahut Ibu paruh baya yang lain layaknya seorang intel yang sudah paham betul dengan hubungan Aylin dan Enzo.“Hah serius Enzo mau sama anak SMA?” celetuk Ibu-ibu semakin memanas. Jiwa pergosipan mereka mulai tersulut.“Ibu-ibu sekalian saya kan berhak memilih siapapun yang akan menjadi pendamping saya. Memangnya kenapa kalau anak SMA? Toh dia mau sama saya.”Ingin rasanya Aylin menabok Enzo yang berbicara terlalu percaya diri. Namun apalah daya ia tidak ingin Ibu-ibu itu semakin memojokkan dirinya.“Nak Enzo jangan gitu. Kan kasihan masa depan Adik ini jadi suram kalau nikah muda,” imbuh kumpulan Ibu-ibu itu tidak habis pikir.“Jeng anak saya ini seorang CEO. Mana mungkin kehidupannya suram,” sanggah Elena mulai tidak terima Enzo direndahkan.Geram mendengar cemooh dari kumpulan Ibu-ibu arisan Elena memutuskan untuk menggandeng Aylin kembali memasuki mobil. Percuma saja melawan kumpulan arisan karena mereka akan selalu mendebat.“Ay jangan dimasukkan ke hati ya,” ucap Elena mengusap surai hitam milik Aylin dengan lembut.“Yaa gimana konsepnya Bun bisa masuk hati?” tanya Enzo dengan tatapan mata fokus pada jalan raya.Tidak peduli dengan tatapan Elena yang seolah ingin membalik mobil saat itu juga.“Memangnya kamu mau konsep seperti apa??” balas Elena sengit.“Yaa paling tidak harus terorganisir,” sahut Enzo.Aylin terkikik mendengar percakapan Ibu dan anak itu. Enzo memang paling bisa membuat ia tidak bisa berlogika.“Kamu banyak-banyak sabar Ay. Enzo emang gak jelas anaknya,” ungkap Elena kepada Aylin yang masih menahan tawa.“Bun, justru Aylin harus bersyukur punya calon Enzo.”Tak lupa Enzo menyisir rambutnya dengan tangan. Entah ia melakukan itu untuk siapa. Pasalnya Aylin dan Elena berada di kursi belakang. Percuma saja ia tebar pesona di kursi kemudi.“Itu yang Bunda maksud harus banyak bersabar Ay.”Aylin tertawa renyah mendengar ucapan Elena yang terus saja menyangkah Enzo. Walaupun Ibu dan Anak itu tidak pernah berhenti berdebat tapi Aylin tahu hubungan mereka sangat harmonis.“Bunda dulu ngidam apa sih?” tanya Aylin receh.Elena tertegun sejenak. Akhirnya Aylin bertanya kepadanya karena ia khawatir gadis itu merasa tidak nyaman berada diantara dirinya dan Enzo. Nampaknya itu tidak benar.“Dulu Bunda pengen ...”“Pengen es kepal,” sambar Enzo mengintrupsi perkataan sang Ibu.“Mana ada. Bunda gak pernah ngidam es kepal tuh!” sanggah Elena tidak terima.Lagi-lagi Aylin tertawa mendengar pertikaian kecil itu.“Apa sih Bun. Enzo emang lagi pengen es kepal kok,” ucap Enzo seraya memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah stand es kepal.Aylin menatap wanita paruh baya disampingnya dengan tatapan tidak percaya.“Bun itu benar anaknya?” tanya Aylin penuh tanya.“Bukan, dia siapa ya.”BERSAMBUNGEnzo melipat sikunya sebagai penopang dagu. Mata elangnya menatap jauh gedung pencakar langit dari balik kaca jendela kantor. Kepalanya terasa berat mendengar presentasi dari seorang karyawan kantornya yang terdengar seperti lagu penghantar tidur untuknya. Berulang kali ia menguap menahan kantuk. “Sudah pak,” ucap Jayden.Entah lantaran terlalu pelan suara Jayden atau Enzo yang terlalu mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu tidak merespon sama sekali. Matanya masih menatap kosong keluar jendela. Tentu saja tingkah Enzo membuat karyawan kantor yang mengikuti rapat itu terkekeh geli. “Pak Enzo, bangun yuk bisa yuk,” ucap Jayden seraya melambaikan tangan di depan wajah Enzo.Dengan sigap Enzo menegakkan tubuh jangkungnya yang justru mengundang gelak tawa satu ruangan. Apakah Enzo peduli? Tentu tidak. Sebenarnya ia masih bisa mendengarkan presentasi salah satu karyawannya. Ia juga paham betul apa yang menjadi bahasan rapat siang itu. Ditengah cuaca yang terik ia merasa begitu pelik
Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis."Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal."Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.Aylin melirik sekilas wanita paruh baya
Aylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin. "Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin. "Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu
"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta
"Ck! Aylin mana sih kok gak ada," monolog Sesil kepada dirinya sendiri. Gadis itu bahkan merasa tidak lahap memakan snack yang ia pegang.Sudah hampir setengah jam acara dimulai tapi tidak ada tanda kemunculan Aylin. Berulang kali Sesil menekan tombol panggil pada ponselnya namun nihil jawaban. "Kenapa Sil?" tanya ketua kelas Sesil yang kebetulan duduk berdekatan dengannya."Eh kamu tadi lihat Aylin gak?" Ketua kelasnya nampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Tadi dia perjalanan kesini kok," jawabnya.Aneh, kenapa gadis itu belum juga tiba. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sesil memutuskan untuk keluar dari aula. Setengah berlari Sesil menuju kelas XI. "Sial! Ada orang."Misel dan teman-temannya terpaksa menghentikan perundungan. Lantaran Misel mendengar jelas suara langkah kaki dari arah berlawanan. Dengan kuat ia membungkukkan badan mungil Aylin diikuti oleh dirinya yang juga ikut berjongkok menunduk. Gudang sekolah memiliki kaca jendela yang transparan dan
"Nah itu dia anaknya udah pulang," ujar wanita paruh baya menyambut kedatangan Aylin.Wajah sumringah Aylin seketika berubah menjadi canggung. Ia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu namun juga merasa tidak kenal tapi familiar. Mulai dari matanya yang tajam hingga gestur tubuhnya terlihat sama persis dengan Enzo."Hai, aku Frans."Laki-laki itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan. Elena yang menyadari Aylin terlihat kebingungan lantas menatap Aylin."Dia kakak Enzo yang baru pulang dari Texas," jelas Elena membuat manik mata Aylin melebar.Sejak kapan Enzo memiliki saudara? Sudah hampir sebulan menikah tapi Aylin sama sekali tidak tahu. Ia bahkan mengira Enzo adalah anak tunggal bak cerita novel tuan muda anak tunggal."S-saya Aylin."Tidak seperti Enzo yang berpenampilan serba sembrono Frans terlihat lebih berwibawa. Entah karena laki-laki terpaut lebih tua atau memang Frans sangat menjaga harkat dan martabatnya sebagai laki-laki tulen."Tidak usah canggung. Aku gak g