Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis.
"Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal."Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.Aylin melirik sekilas wanita paruh baya disampingnya. Ia begitu kalut jika harus membuat keputusan. Tapi ia juga tidak tahu harus tinggal dengan siapa. Sementara semua saudaranya berada di luar Negeri. Mau tidak mau ia menganggukkan kepala menyetujui tawaran itu."Bun, kita harus bicara."Elena mengikuti langkah Enzo menuju ruang tengah. Semenjak kedatangan Aylin ke rumah Enzo menjadi lebih banyak diam. Entah apa yang di pikirkan."Bun kok Aylin diajak kesini. Gimana kalau ...""Bunda tahu apa yang kamu takutkan En," potong Elena menginterupsi perkataan Enzo yang belum selesai."Jadi Bunda memutuskan untuk menikahkan kalian berdua malam ini."Perkataan Elena sukses membuat Enzo membulatkan mata. Bagaimana tidak ia sama sekali tidak kepikiran jika ia akan menikahi Aylin secepat itu. Ia memang berencana menikahi Aylin tapi paling tidak gadis itu lulus SMA dahulu."Tapi Bun dia masih kelas XI," protes Enzo berharap keputusan itu belum mutlak."Memangnya kenapa? Yang penting statusnya tidak ketahuan," jawab Elena dengan santainya.Dan tanpa mengulur waktu lagi Elena benar-benar menikahkan putranya dengan Aylin. Pernikahan itu berlangsung dengan sederhana. Hanya ada kedua orang tua Enzo sebagai saksi pernikahan dan beberapa asisten rumah tangga.Setelah pernikahan sederhana itu Aylin menuju kamarnya. Ia merasa sedang bermimpi semuanya berlalu begitu saja. Kedua orang tuanya yang meninggalkan ia selamanya, pernikahan yang singkat, dan status barunya sebagai seorang istri. Aylin benar-benar lelah memikirkan semua yang menimpa dirinya dengan begitu tiba-tiba."Ma, Pa ... Aylin menikah dengan laki-laki yang Papa inginkan. Seandainya Papa masih ada pasti Papa senang kan?" monolog Aylin menahan sesak di dadanya yang kembali muncul ke permukaan.Cklek!Tubuh Aylin berjingkit mendengar gagang pintu kamarnya terbuka. Tidak! Ia masih anak SMA ia tidak boleh sekamar dengan Enzo walaupun statusnya laki-laki itu sudah sah menjadi suaminya.Dugaan Aylin ternyata meleset. Bukan laki-laki berbadan jangkung yang memasuki kamarnya. Melainkan wanita paruh baya yang sedang tersenyum lembut kepadanya. Elena yang hangat dan keibuan membuat Aylin sedikit terhibur."Akhirnya kamu resmi menjadi menantu Bunda," ucap Elena memeluk gadis mungil itu erat.Air mata Aylin kembali pecah mendengar perkataan itu. Di usianya yang masih sangat belia ia tidak menyangka akan menikah secepat itu. Ia bahkan belum lulus sekolah. Bagaimana tanggapan teman-temannya jika tahu ia sudah menikah. Aylin tidak bisa membayangkan semua itu."Tenang aja kamu tidak akan sekamar dengan Enzo. Kamar ini khusus buat kamu."Syukurlah, Aylin bernapas dengan lega. Elena menjelaskan panjang lebar tentang alasannya segera menikahkan Aylin dengan putranya. Ia hanya tidak ingin Aylin di pandang sebelah mata oleh tetangga sekitar. Ia juga ingin Aylin menjadi keluarganya. Sebagai seorang ibu Elena sangat tidak tega melihat Aylin yang sebatang kara."Terima kasih Bun. Aylin tidak tahu harus membalas kebaikan Bunda dengan apa," ucap Aylin dengan tulus."Kamu tidak perlu membalasnya. Toh Enzo memang berniat ingin menikahimu," sahut Elena mencubit pipi Aylin gemas.Berulang kali Enzo mencoba menutup matanya namun selalu gagal. Pikirannya penuh dengan pernikahan dengan Aylin yang berlangsung mendadak. Ia menjadi merasa bersalah sudah menikahi gadis di bawah umur. Tapi bukankah itu bagus? Remaja laki-laki yang ia lihat berduaan dengan Aylin di kantin menjadi tidak bisa berkutik lagi. Perasaan melegakan macam apa ini? Batin Enzo.Tok! Tok! Tok!"Bangun Mang udah jam 7."Suara khas itu membuat Enzo menarik napas dalam. Ia hafal betul pemilik suara itu adalah Elena sang Bunda. Memang benar alarm terbaik adalah Ibu. Walaupun belum sempat memejamkan mata sama sekali Enzo segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu membuka pintu kamar dengan memamerkan senyum cerah."Aaaaaaaaa!!!!"Pekikan gadis berseragam putih abu-abu menggema di ruang keluarga. Aylin menutup rapat wajahnya menggunakan telapak tangan. Enzo mengernyitkan kening heran dengan tingkah gadis yang ia nikahi semalam."Lebay amat, masih pakai kolor kok."Dengan santainya Enzo menuju meja makan dengan bertelanjang dada dan berkolor keropi.Elena dan Markus terkekeh melihat reaksi Aylin yang tentu saja terkejut dengan penampilan Enzo. Namun bagi keluarga Enzo hal itu sudah terlalu biasa. Lantaran Enzo pernah bertindak lebih sembrono daripada itu."Tapi kan geli Om masak gak pakai baju sih!" protes Aylin masih menutup matanya dengan rapat."Om?" celetuk Markus, Ayah Enzo membuat Elena semakin terbahak. Pasalnya orang tua Enzo sangat geli mendengar Aylin menyebut putranya dengan sebutan Om."Kamu manggil Enzo Om?" cecar Elena kepada Aylin.Mendengar pertanyaan Elena perlahan Aylin membuka telapak tangannya lalu menunduk. Terlalu horor jika ia menatap laki-laki dihadapannya. Aylin mengangguk mengiyakan pertanyaan Elena. Sontak kedua orang tua Enzo kembali terbahak."Bun, anaknya gak dibela nih?" ucap Enzo penuh harap.Untuk apa Enzo berharap hal itu. Tidak akan ada yang membela dirinya. Kedua orang tuanya bahkan kompak menggelengkan kepala."Sudah sana buruan mandi. Nanti Aylin telat loh!" titah Elena."Ehhh, Aylin berangkat naik taksi aja Bun.""Buat apa naik taksi. Kan bisa berangkat bareng Enzo," imbuh Markus menambahkan.Tidak! Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan. Jika Enzo mengantar Aylin ke sekolah itu artinya Aylin sedang menggali kuburannya sendiri. Dengan cepat Aylin menggelengkan kepala menolak."Nanti kalau ada yang melihat kan bahaya Bun," ungkap Aylin mencari ide. Toh ia memang tidak ingin pernikahan itu terbongkar."Kenapa? Kan aku pamanmu," sahut Enzo seraya mengunyah nasi goreng.Susah payah Aylin menelan salivanya sendiri. Nampaknya Enzo masih mempermasalahkan kejadian Minggu lalu di kantin sekolah."Pfftt, paman?" tanya Markus mencoba mencari kejelasan dari pernyataan Enzo."Kalian ini ada-ada aja," timbrung Elena tidak habis pikir dengan tingkah putranya."Bu-bukan gitu maksudnya," ucap Aylin terbata. Ia merasa bersalah menyebut Enzo paman kala itu."Santai aja, aku tidak peduli kamu menyebutku kakek pun tidak masalah. Satu hal yang pasti, aku SUAMIMU."BERSAMBUNGAylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin. "Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin. "Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu
"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta
"Ck! Aylin mana sih kok gak ada," monolog Sesil kepada dirinya sendiri. Gadis itu bahkan merasa tidak lahap memakan snack yang ia pegang.Sudah hampir setengah jam acara dimulai tapi tidak ada tanda kemunculan Aylin. Berulang kali Sesil menekan tombol panggil pada ponselnya namun nihil jawaban. "Kenapa Sil?" tanya ketua kelas Sesil yang kebetulan duduk berdekatan dengannya."Eh kamu tadi lihat Aylin gak?" Ketua kelasnya nampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Tadi dia perjalanan kesini kok," jawabnya.Aneh, kenapa gadis itu belum juga tiba. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sesil memutuskan untuk keluar dari aula. Setengah berlari Sesil menuju kelas XI. "Sial! Ada orang."Misel dan teman-temannya terpaksa menghentikan perundungan. Lantaran Misel mendengar jelas suara langkah kaki dari arah berlawanan. Dengan kuat ia membungkukkan badan mungil Aylin diikuti oleh dirinya yang juga ikut berjongkok menunduk. Gudang sekolah memiliki kaca jendela yang transparan dan
"Nah itu dia anaknya udah pulang," ujar wanita paruh baya menyambut kedatangan Aylin.Wajah sumringah Aylin seketika berubah menjadi canggung. Ia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu namun juga merasa tidak kenal tapi familiar. Mulai dari matanya yang tajam hingga gestur tubuhnya terlihat sama persis dengan Enzo."Hai, aku Frans."Laki-laki itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan. Elena yang menyadari Aylin terlihat kebingungan lantas menatap Aylin."Dia kakak Enzo yang baru pulang dari Texas," jelas Elena membuat manik mata Aylin melebar.Sejak kapan Enzo memiliki saudara? Sudah hampir sebulan menikah tapi Aylin sama sekali tidak tahu. Ia bahkan mengira Enzo adalah anak tunggal bak cerita novel tuan muda anak tunggal."S-saya Aylin."Tidak seperti Enzo yang berpenampilan serba sembrono Frans terlihat lebih berwibawa. Entah karena laki-laki terpaut lebih tua atau memang Frans sangat menjaga harkat dan martabatnya sebagai laki-laki tulen."Tidak usah canggung. Aku gak g
Keringat dingin membasahi kening Devin yang sedikit tertutup oleh rambut. Tenggorokannya kering tercekat. Harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari Aylin.Sekelebat ingatan Aylin tentang nama Viola melintas begitu saja. Entah mengapa hatinya memanas mengingat nama wanita itu."Aku mau. Aku mau jadi pacar kakak."Manik mata Devin melebar selebar-lebarnya. Bak dialam mimpi ia merasa terbang diatas awan. Muncul kupu-kupu indah beterbangan menghiasi perasaan hatinya yang berbunga. "K-kamu serius kan Ay??" tanya Devin memastikan. Ia masih tidak percaya gadis di sampingnya itu menerima ungkapan perasaannya. Ia bahkan berulang kali menyubit tangannya sendiri."Tapi boong. Hahaha"Seketika Devin memasang wajah datar sedatar triplek. Kupu-kupu yang berterbangan pun sudah sirna entah kemana."Gak lucu!" Melihat Devin yang memonyongkan bibir 5 cm Aylin tertawa geli. Ia baru sadar Devin terlihat menggemaskan saat sedang marah. Tapi bagaimana bisa tetap setampan itu?"Ngambek nih ye."Lak
"Duh mulut! Bisa kena omelan Aylin nih aku."Sesil memukul bibirnya sendiri. Bagaimana jika sahabatnya itu dihukum pamannya. Ia sering mendengar curhatan Aylin tentang pamannya yang bernama Enzo itu sering marah-marah. Bagaimana jika Aylin tidak diberi uang jajan? Memikirkannya saja Sesil sudah ngeri."Jadi setelah orang tuamu meninggal kamu tinggal bersama pamanmu?" tanya Devin."I-iya kak," sahut Aylin.Bohong, ia tidak sedang tinggal dengan pamannya melainkan dengan suaminya. Ah Aylin jadi merasa bersalah mengingat statusnya yang sudah menikah. "Oh iya mau mampir ke rumahku dulu gak? Ibuku bikin kue banyak hari ini."Tentu saja mendengar kata kue Aylin menjadi bersemangat. "Mau!" seru Aylin dengan riang.Pukul 16.15, deru mobil menyadarkan Elena yang sedang berbaring diatas sofa kesayangannya. Tidak lama kemudian muncul laki-laki berbadan jangkung dari daun pintu. Dengan mengernyitkan kening Elena keheranan."Loh mana Aylin??" tanya Elena. Tidak biasanya putranya pulang seorang di
Enzo menindih tubuh Aylin yang sengaja ia baringkan diatas kasur king size miliknya. Ia tatap mata Aylin yang terlihat sayu. Cup!Enzo kembali memangut bibir Aylin. Tangannya sudah bergerlya meraih apapun yang ada ditubuh mungil Aylin. "Sayang ..." Aylin mengejang kala dengan lihai tangan Enzo memanjakan dirinya. Tubuhnya sudah terekspos bebas tanpa sehelai benang pun. Tak henti Enzo menikmati jengkal demi jengkal tubuh mulus Aylin. Tanda merah bertebaran hampir diseluruh bagian tubuh Aylin. Enzo pun sudah melepas seulas handuk yang melilit sebatas pusarnya. Menampakkan tubuh berotot yang membuat Aylin menelan ludah. "Om kenapa berhenti?" tanya Aylin ia tatap kembali Enzo yang ragu.Laki-laki jangkung itu memutuskan untuk memeluk tubuh Aylin dari belakang. Enzo benar-benar mengutuk dirinya sendiri. Jahat sekali ia memanfaatkan Aylin yang polos demi gairah bejatnya."Maaf sayang kita tidur saja."Meski bingung Aylin akhirnya menurut. Tapi ia yakin Enzo sangat menginginkan dirinya b
"Ampun om ampun!"Enzo menatap nyalang gadis berseragam khas anak SMA yang bersimpuh dihadapannya. Memohon ampun pada Enzo yang tak bergeming sama sekali."Kenapa kamu terus menganggu Aylin!?" Tubuh Misel bergetar, ia memerutuki dirinya sendiri yang ceroboh. Hingga jejaknya mudah dibaca oleh Enzo. Padahal jelas rekaman cctv sudah diretas namun dengan bodohnya Misel justru tak sengaja menjatuhkan gelang perak miliknya disekitar pot bunga dekat majalah dinding."Jawab?!" Tubuh gadis itu berjingkit. Napasnya kembang kempis mendengar hardikan Enzo. Ia begitu takut dengan laki-laki itu."Sa-saya cuma disuruh."Enzo memincingkan mata setelah beberapa detik keningnya berkerut. Disuruh? Itu artinya Misel tidak seorang diri melakukan semua itu. Termasuk penghapusan cctv. Tidak salah lagi."Apa orang ini yang menyuruhmu?" cecar Enzo dengan menunjukkan sebuah foto laki-laki berjas rapi.Bagaimana ini? Misel menelan saliva. Ia sudah berjanji tidak akan membongkar identitas seseorang yang telah
Elena mengernyit heran dengan kehadiran sepasang suami istri yang sudah duduk santai di ruang keluarga. Begitupun Markus yang juga terperangah dengan pemandangan dihadapannya."Loh kalian disini??" tanya Elena berjalan mendekati Enzo dan Aylin yang sedang melihat tv."Bukannya kata Bi Unah ...""Iya sudah ketemu Bun. Dia tidur dirumah pohon," kata Enzo memangkas perkataan ibunya. "Hah ngapain tidur ditempat kotor seperti itu?" Cemas Elena segera merangkul menantu kesayangannya. Melihat dengan teliti barangkali ada yang lecet. Ia tidak akan mengampuni rumah pohon itu jika terjadi sesuatu dengan Aylin."Aylin, penasaran sama tempatnya Bun. Terus ketiduran."Jawaban polos itu membuat seluruh keluarga Delwyn bergeleng-geleng tak habis pikir. Kecuali Frans, ia sudah tahu adik iparnya itu memang bersembunyi di rumah pohon. Ia bahkan sengaja memancing Enzo untuk mengungkapkan kebenciannya langsung dihadapan Aylin. Agar gadis itu sadar dimana ia berada sekarang. Keluarga Delwyn bukanlah kel
Sorot cahaya rembulan mengusik Aylin yang terpejam. Matanya menyipit lantaran terkena cahaya bulan yang lebih terang dari malam sebelumnya. "Apa ini untuk merayakan hariku yang malang?" monolog Aylin seraya menatap agungnya sang rembulan yang membulat sempurna. Ditengah rasa kantuknya yang masih tersisa sedikit. Aylin terus mengucek bola matanya berharap rasa kantuknya agak berkurang."Hah apa ini?" ucap Aylin menatap lekat ukiran yang berada dirumah pohon yang kini sedang ia duduki.Enzo dan FransAylin mengusap tulisan yang terlihat samar namun masih bisa terbaca dengan jelas itu. Kayu yang sudah mulai ditumbuhi lumut tak membuat Aylin gentar mengusap beberapa ukiran yang terlihat sudah lawas."Sebuah kematian harus dibayar dengan jiwa"Mata Aylin mengerjap sepersekian detik membaca tulisan itu. Mendadak ia merasa sedang syuting film horor. Bagaimana bisa mereka bisa menuliskan hal semacam itu? Batin Aylin tidak paham. Dilihat dari gaya tulisannya yang acak-acakan sudah bisa dipas
"Bi, om sudah pulang ya?"Wanita berbadan tambun yang akrab di sapa Bibi oleh keluarga Delwyn reflek menoleh saat Aylin datang menghampirinya. Gadis itu nampak membawa segelas air putih."Sepertinya sudah Non. Tadi saya mendengar suara mobil."Aylin manggut-manggut mengerti. Setelah meneguk air putih ia beranjak dari kursi. Namun Aylin menyipitkan mata melihat Bi Unah yang datang membawa cangkir kosong menuju dapur."Loh memangnya ada tamu Bi?" tanya Aylin heran dengan cangkir yang biasa digunakan untuk tamu. Ia sedang dirumah sendirian tidak mungkin ada tamu penting saat rumah sedang kosong. Bahkan ibu mertuanya juga sedang ada acara keluar."Iya Non tadi ada mbak-mbak nyariin tuan muda."Aylin lantas berpikir, Mbak-mbak? Ah palingan rekan kerja Enzo di kantor. Aylin tidak ingin ambil pusing. Toh bukan urusannya juga."Non mau kemana?" tanya Bi Unah karena Aylin terlihat buru-buru."Mau nyari om Enzo Bi," sahut Aylin tanpa menoleh ke belakang. Ia terus fokus berjalan ke depan menuju
"Aku sudah mengganti semua harta Aylin menjadi atas namaku kak."Wow, Frans sungguh tercengang dengan penuturan adiknya itu. Bisa-bisanya ia tidak tahu akal bulus Enzo. Jadi itu musabab Enzo keluar kota beberapa hari yang lalu. Ada untungnya juga Aylin masih dibawah umur. Semua hak waris bisa diwakilkan oleh walinya."Ini baru adikku."Frans mengacak rambut Enzo bak anak kecil. Hal yang paling sering Frans lakukan dulu saat Enzo masih kecil nan polos. Kini adiknya itu sudah tumbuh menjadi pria dewasa. Yang bahkan jauh lebih licik dibandingkan dengan Frans."Tapi kenapa kamu tidak menceritakan tentang Aylin ke Viola?" Enzo nampak berpikir sejenak. Ia memang tidak pernah mengatakan apapun tentang Aylin kepada Viola. Untuk apa juga? Enzo merasa itu tidak penting baginya. Viola bukan ibunya yang harus mengetahui semua tentang kehidupannya."Bukannya kamu cinta mati dengannya, hahaha."Frans tertawa mengingat betapa cintanya Enzo dengan Viola. Gadis yang bahkan pernah menyelingkuhi Enzo d
Enzo mengacak rambutnya asal. Berulang kali ia memastikan namun tidak juga mendapat titik terang. Hanya layar berwarna hitam yang tertampil pada monitor dihadapannya. Aneh, sementara aktivitas yang lainnya dapat terekam dengan jelas."Sudah dihapus pak," tutur satpam sekolah kala mengecek cctv. Ia memainkan mouse naik turun mencari vidio yang dimaksud Enzo. Namun nihil tak ada satu pun yang ditemukan.Jelas sekali ada yang menghapus cctv sekolah. Namun anehnya tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang yang mencurigakan yang terekam cctv. Bagian yang terhapus hanya beberapa menit sebelum istirahat. Bahkan Enzo dapat menyaksikan betapa sedihnya raut wajah Aylin kala dicemooh siswa yang lain."Ada yang tidak beres."Enzo yakin ada sesuatu dibalik terhapusnya cctv. Selain untuk menutupi siapa pelaku sebenarnya. Kali ini pelakunya nampak sudah sangat ahli. Siapa gerangan dibalik semua ini?"Maksud bapak?" tanya satpam tidak mengerti dengan maksud laki-laki jangkung disampingnya. "Ada yan
"Astaga, Aylin kamu kenapa??" tanya wanita paruh baya terperangah melihat kondisi menantunya yang begitu buruk. Rambut kotor acak-acakan serta bau busuk amis menyengat.Bukannya menjawab gadis mungil itu justru kembali merengek setelah sempat mereda saat dibonceng pulang oleh Devin. Hal itu membuat Elena semakin cemas. Ia teringat kejadian perundungan yang menimpa Aylin beberapa bulan yang lalu."Kamu dirundung lagi??" cecar Elena terus mengintrogasi Aylin yang tersedu pilu."Aylin ... " Devin menjeda ucapannya, ia ragu."Kenapa? Dia kenapa!?" bentak Elena tidak sabaran."Aylin dikeluarkan dari sekolah Tan."Elena membelalak mendengar penuturan Devin. Bagaimana bisa? Jangan-jangan? Elena sungguh tak kuasa membayangkan oleh sebab gerangan apa menantunya itu dikeluarkan dari sekolah."Apa karena ..."Devin mengangguk ia tahu kemana arah pertanyaan ibu mertua Aylin itu. Tidak salah lagi hal yang paling mungkin bisa membuat Aylin dikeluarkan dari sekolah hanyalah statusnya yang sudah meni
Hampir semua orang shock setelah membaca pengumuman yang tertempel di meja dinding siswa. Ada yang menepis tidak percaya. Namun lebih banyak yang meyakini apa yang tertera adalah benar adanya."Kok kamu masih bisa bebas berkeliaran di sekolah?" cecar siswa satu kelas. Mereka benar-benar tidak terima Aylin bisa masuk sekolah.Sementara gadis mungil yang sedang dikerumuni siswa itu hanya bisa diam dan tersedu menangis. "Pergi! Kamu sudah menikah gak boleh sekolah!" usir mereka kian menjadi.Sesil lari tergopoh menuju kelas. Berulang kali ia mengutuk dirinya sendiri karena datang terlambat. Ia begitu khawatir dengan Aylin setelah melihat gambar buku nikah Aylin yang terpampang jelas. Parahnya terdapat dua foto mempelai yang tidak diblur sama sekali."Keluar kamu!! Kamu gak pantes disini!!" teriak teman sekelas Aylin seraya menarik kasar tangan Aylin. "Hentikan!" seru Sesil dengan napas terenggah. Ia lalu membawa pergi Aylin dari kerumunan. Semua siswa mengawasi Aylin tanpa luput sedik