Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis.
"Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal."Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.Aylin melirik sekilas wanita paruh baya disampingnya. Ia begitu kalut jika harus membuat keputusan. Tapi ia juga tidak tahu harus tinggal dengan siapa. Sementara semua saudaranya berada di luar Negeri. Mau tidak mau ia menganggukkan kepala menyetujui tawaran itu."Bun, kita harus bicara."Elena mengikuti langkah Enzo menuju ruang tengah. Semenjak kedatangan Aylin ke rumah Enzo menjadi lebih banyak diam. Entah apa yang di pikirkan."Bun kok Aylin diajak kesini. Gimana kalau ...""Bunda tahu apa yang kamu takutkan En," potong Elena menginterupsi perkataan Enzo yang belum selesai."Jadi Bunda memutuskan untuk menikahkan kalian berdua malam ini."Perkataan Elena sukses membuat Enzo membulatkan mata. Bagaimana tidak ia sama sekali tidak kepikiran jika ia akan menikahi Aylin secepat itu. Ia memang berencana menikahi Aylin tapi paling tidak gadis itu lulus SMA dahulu."Tapi Bun dia masih kelas XI," protes Enzo berharap keputusan itu belum mutlak."Memangnya kenapa? Yang penting statusnya tidak ketahuan," jawab Elena dengan santainya.Dan tanpa mengulur waktu lagi Elena benar-benar menikahkan putranya dengan Aylin. Pernikahan itu berlangsung dengan sederhana. Hanya ada kedua orang tua Enzo sebagai saksi pernikahan dan beberapa asisten rumah tangga.Setelah pernikahan sederhana itu Aylin menuju kamarnya. Ia merasa sedang bermimpi semuanya berlalu begitu saja. Kedua orang tuanya yang meninggalkan ia selamanya, pernikahan yang singkat, dan status barunya sebagai seorang istri. Aylin benar-benar lelah memikirkan semua yang menimpa dirinya dengan begitu tiba-tiba."Ma, Pa ... Aylin menikah dengan laki-laki yang Papa inginkan. Seandainya Papa masih ada pasti Papa senang kan?" monolog Aylin menahan sesak di dadanya yang kembali muncul ke permukaan.Cklek!Tubuh Aylin berjingkit mendengar gagang pintu kamarnya terbuka. Tidak! Ia masih anak SMA ia tidak boleh sekamar dengan Enzo walaupun statusnya laki-laki itu sudah sah menjadi suaminya.Dugaan Aylin ternyata meleset. Bukan laki-laki berbadan jangkung yang memasuki kamarnya. Melainkan wanita paruh baya yang sedang tersenyum lembut kepadanya. Elena yang hangat dan keibuan membuat Aylin sedikit terhibur."Akhirnya kamu resmi menjadi menantu Bunda," ucap Elena memeluk gadis mungil itu erat.Air mata Aylin kembali pecah mendengar perkataan itu. Di usianya yang masih sangat belia ia tidak menyangka akan menikah secepat itu. Ia bahkan belum lulus sekolah. Bagaimana tanggapan teman-temannya jika tahu ia sudah menikah. Aylin tidak bisa membayangkan semua itu."Tenang aja kamu tidak akan sekamar dengan Enzo. Kamar ini khusus buat kamu."Syukurlah, Aylin bernapas dengan lega. Elena menjelaskan panjang lebar tentang alasannya segera menikahkan Aylin dengan putranya. Ia hanya tidak ingin Aylin di pandang sebelah mata oleh tetangga sekitar. Ia juga ingin Aylin menjadi keluarganya. Sebagai seorang ibu Elena sangat tidak tega melihat Aylin yang sebatang kara."Terima kasih Bun. Aylin tidak tahu harus membalas kebaikan Bunda dengan apa," ucap Aylin dengan tulus."Kamu tidak perlu membalasnya. Toh Enzo memang berniat ingin menikahimu," sahut Elena mencubit pipi Aylin gemas.Berulang kali Enzo mencoba menutup matanya namun selalu gagal. Pikirannya penuh dengan pernikahan dengan Aylin yang berlangsung mendadak. Ia menjadi merasa bersalah sudah menikahi gadis di bawah umur. Tapi bukankah itu bagus? Remaja laki-laki yang ia lihat berduaan dengan Aylin di kantin menjadi tidak bisa berkutik lagi. Perasaan melegakan macam apa ini? Batin Enzo.Tok! Tok! Tok!"Bangun Mang udah jam 7."Suara khas itu membuat Enzo menarik napas dalam. Ia hafal betul pemilik suara itu adalah Elena sang Bunda. Memang benar alarm terbaik adalah Ibu. Walaupun belum sempat memejamkan mata sama sekali Enzo segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu membuka pintu kamar dengan memamerkan senyum cerah."Aaaaaaaaa!!!!"Pekikan gadis berseragam putih abu-abu menggema di ruang keluarga. Aylin menutup rapat wajahnya menggunakan telapak tangan. Enzo mengernyitkan kening heran dengan tingkah gadis yang ia nikahi semalam."Lebay amat, masih pakai kolor kok."Dengan santainya Enzo menuju meja makan dengan bertelanjang dada dan berkolor keropi.Elena dan Markus terkekeh melihat reaksi Aylin yang tentu saja terkejut dengan penampilan Enzo. Namun bagi keluarga Enzo hal itu sudah terlalu biasa. Lantaran Enzo pernah bertindak lebih sembrono daripada itu."Tapi kan geli Om masak gak pakai baju sih!" protes Aylin masih menutup matanya dengan rapat."Om?" celetuk Markus, Ayah Enzo membuat Elena semakin terbahak. Pasalnya orang tua Enzo sangat geli mendengar Aylin menyebut putranya dengan sebutan Om."Kamu manggil Enzo Om?" cecar Elena kepada Aylin.Mendengar pertanyaan Elena perlahan Aylin membuka telapak tangannya lalu menunduk. Terlalu horor jika ia menatap laki-laki dihadapannya. Aylin mengangguk mengiyakan pertanyaan Elena. Sontak kedua orang tua Enzo kembali terbahak."Bun, anaknya gak dibela nih?" ucap Enzo penuh harap.Untuk apa Enzo berharap hal itu. Tidak akan ada yang membela dirinya. Kedua orang tuanya bahkan kompak menggelengkan kepala."Sudah sana buruan mandi. Nanti Aylin telat loh!" titah Elena."Ehhh, Aylin berangkat naik taksi aja Bun.""Buat apa naik taksi. Kan bisa berangkat bareng Enzo," imbuh Markus menambahkan.Tidak! Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan. Jika Enzo mengantar Aylin ke sekolah itu artinya Aylin sedang menggali kuburannya sendiri. Dengan cepat Aylin menggelengkan kepala menolak."Nanti kalau ada yang melihat kan bahaya Bun," ungkap Aylin mencari ide. Toh ia memang tidak ingin pernikahan itu terbongkar."Kenapa? Kan aku pamanmu," sahut Enzo seraya mengunyah nasi goreng.Susah payah Aylin menelan salivanya sendiri. Nampaknya Enzo masih mempermasalahkan kejadian Minggu lalu di kantin sekolah."Pfftt, paman?" tanya Markus mencoba mencari kejelasan dari pernyataan Enzo."Kalian ini ada-ada aja," timbrung Elena tidak habis pikir dengan tingkah putranya."Bu-bukan gitu maksudnya," ucap Aylin terbata. Ia merasa bersalah menyebut Enzo paman kala itu."Santai aja, aku tidak peduli kamu menyebutku kakek pun tidak masalah. Satu hal yang pasti, aku SUAMIMU."BERSAMBUNGAylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin. "Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin. "Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu
"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta
"Ck! Aylin mana sih kok gak ada," monolog Sesil kepada dirinya sendiri. Gadis itu bahkan merasa tidak lahap memakan snack yang ia pegang.Sudah hampir setengah jam acara dimulai tapi tidak ada tanda kemunculan Aylin. Berulang kali Sesil menekan tombol panggil pada ponselnya namun nihil jawaban. "Kenapa Sil?" tanya ketua kelas Sesil yang kebetulan duduk berdekatan dengannya."Eh kamu tadi lihat Aylin gak?" Ketua kelasnya nampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Tadi dia perjalanan kesini kok," jawabnya.Aneh, kenapa gadis itu belum juga tiba. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sesil memutuskan untuk keluar dari aula. Setengah berlari Sesil menuju kelas XI. "Sial! Ada orang."Misel dan teman-temannya terpaksa menghentikan perundungan. Lantaran Misel mendengar jelas suara langkah kaki dari arah berlawanan. Dengan kuat ia membungkukkan badan mungil Aylin diikuti oleh dirinya yang juga ikut berjongkok menunduk. Gudang sekolah memiliki kaca jendela yang transparan dan
"Nah itu dia anaknya udah pulang," ujar wanita paruh baya menyambut kedatangan Aylin.Wajah sumringah Aylin seketika berubah menjadi canggung. Ia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu namun juga merasa tidak kenal tapi familiar. Mulai dari matanya yang tajam hingga gestur tubuhnya terlihat sama persis dengan Enzo."Hai, aku Frans."Laki-laki itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan. Elena yang menyadari Aylin terlihat kebingungan lantas menatap Aylin."Dia kakak Enzo yang baru pulang dari Texas," jelas Elena membuat manik mata Aylin melebar.Sejak kapan Enzo memiliki saudara? Sudah hampir sebulan menikah tapi Aylin sama sekali tidak tahu. Ia bahkan mengira Enzo adalah anak tunggal bak cerita novel tuan muda anak tunggal."S-saya Aylin."Tidak seperti Enzo yang berpenampilan serba sembrono Frans terlihat lebih berwibawa. Entah karena laki-laki terpaut lebih tua atau memang Frans sangat menjaga harkat dan martabatnya sebagai laki-laki tulen."Tidak usah canggung. Aku gak g
Keringat dingin membasahi kening Devin yang sedikit tertutup oleh rambut. Tenggorokannya kering tercekat. Harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari Aylin.Sekelebat ingatan Aylin tentang nama Viola melintas begitu saja. Entah mengapa hatinya memanas mengingat nama wanita itu."Aku mau. Aku mau jadi pacar kakak."Manik mata Devin melebar selebar-lebarnya. Bak dialam mimpi ia merasa terbang diatas awan. Muncul kupu-kupu indah beterbangan menghiasi perasaan hatinya yang berbunga. "K-kamu serius kan Ay??" tanya Devin memastikan. Ia masih tidak percaya gadis di sampingnya itu menerima ungkapan perasaannya. Ia bahkan berulang kali menyubit tangannya sendiri."Tapi boong. Hahaha"Seketika Devin memasang wajah datar sedatar triplek. Kupu-kupu yang berterbangan pun sudah sirna entah kemana."Gak lucu!" Melihat Devin yang memonyongkan bibir 5 cm Aylin tertawa geli. Ia baru sadar Devin terlihat menggemaskan saat sedang marah. Tapi bagaimana bisa tetap setampan itu?"Ngambek nih ye."Lak
"Duh mulut! Bisa kena omelan Aylin nih aku."Sesil memukul bibirnya sendiri. Bagaimana jika sahabatnya itu dihukum pamannya. Ia sering mendengar curhatan Aylin tentang pamannya yang bernama Enzo itu sering marah-marah. Bagaimana jika Aylin tidak diberi uang jajan? Memikirkannya saja Sesil sudah ngeri."Jadi setelah orang tuamu meninggal kamu tinggal bersama pamanmu?" tanya Devin."I-iya kak," sahut Aylin.Bohong, ia tidak sedang tinggal dengan pamannya melainkan dengan suaminya. Ah Aylin jadi merasa bersalah mengingat statusnya yang sudah menikah. "Oh iya mau mampir ke rumahku dulu gak? Ibuku bikin kue banyak hari ini."Tentu saja mendengar kata kue Aylin menjadi bersemangat. "Mau!" seru Aylin dengan riang.Pukul 16.15, deru mobil menyadarkan Elena yang sedang berbaring diatas sofa kesayangannya. Tidak lama kemudian muncul laki-laki berbadan jangkung dari daun pintu. Dengan mengernyitkan kening Elena keheranan."Loh mana Aylin??" tanya Elena. Tidak biasanya putranya pulang seorang di