Aylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin.
"Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin."Terima kasih kak."Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan."Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu. Ah, akhir-akhir ini jantung Aylin berdebar tidak jelas hanya karena seorang laki-laki. Rupanya aliran darah itu memompa kuat hingga sampai di kedua pipi Aylin yang kini merah jambu."Kak Devin baik sekali. Aku tidak tahu kakak orang sehangat ini," ucap Aylin malu."Hangat? Memangnya aku meluk kamu?"Sontak Aylin membulatkan mata. Ia baru sadar perkataannya sedikit ambigu di dengar. Dengan cepat Aylin menggelengkan kepala. Semakin tersipu ia kepada Devin.Pipi merah Aylin menjadi hiburan tersendiri bagi Devin. Ia merasa puas bisa menggoda gadis yang ia kagumi sejak kelas XI. Walaupun ia sedikit terlambat mendekati Aylin. Tapi kali ini ia akan memastikan Aylin akan menjadi miliknya."Kak Devin apaan sih!" sangkal Aylin tidak terima.Laki-laki disamping Aylin itu lantas terkekeh. Memperlihatkan kedua lesung pipinya yang terlihat jelas saat sedang tersenyum dan tertawa. Begitu manis dan menawan."Ya udah aku masuk kelas dulu ya. Jangan lupa di makan kuenya."Devin mengusap surai hitam milik Aylin yang sedang tergerai. Jantung Aylin semakin berdetak tidak karuan. Rambut yang di belai hati yang rontok.Tanpa disadari Aylin. Ternyata ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi dirinya. Sorot mata itu begitu penuh kebencian. Tidak puas hanya melihat. Gadis itu menghampiri Aylin dengan angkuh."Cih!"Aylin terkejut dengan tingkah kakak kelasnya yang tiba-tiba menampik sekotak kue yang ia pegang. Hingga membuat kue itu berhamburan dari dalam kotak."Kok dijatuhin sih kak?!" seru Aylin beranjak dari tempat duduk. Mencoba memungut sisa kue yang tidak keluar dari kotak.Misel menyunggingkan senyum sinis. Puas hati ia melihat gadis tidak tahu diri itu memungut kue yang ia jatuhkan."Bagus, seperti itulah kamu. Pemungut!"Tubuh Aylin mematung. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa kakak kelasnya itu berbuat demikian."Jauhi Devin. Dia milikku bodoh," jelas Misel memandang rendah Aylin yang memang berstatus sebagai adik kelasnya."Maksud kakak apa?"Misel memutar mata malas. Sok polos sekali gadis dihadapannya itu. Ingin rasanya ia menjambak rambut Aylin agar gadis itu tersadar."Kamu sadar gak sih. Kamu sudah merebut Devin!" ucap Misel dengan nada tinggi hingga membuat perhatian beberapa murid tertuju padanya dan Aylin.Suasana pun menjadi ramai. Aylin dan Misel menjadi tontonan para murid yang belum masuk kelas. Memang masih ada waktu sekitar 5 menit sebelum Bell masuk berbunyi.Aylin yang tidak nyaman menjadi pusat perhatian hanya bisa menundukkan kepala takut. Ia tidak tahu akan menjadi tontonan siswa sebanyak itu. Terlebih gara-gara seorang laki-laki. Seperti sinetron saja."Aku tidak pernah merebut kak Devin dari kakak. Kak Misel jangan salah paham," sanggah Aylin mencoba meyakinkan Misel.Walaupun ia merasa sangat sakit mengetahui Devin ternyata sudah memiliki seorang pacar. Tapi ia mencoba untuk menahan rasa nyeri di hati kecilnya. Ia tidak boleh berharap lebih pada laki-laki yang bahkan sudah milik orang lain.Misel kembali tersenyum sinis. Pandai sekali rubah kecil dihadapannya berakting. Jelas-jelas ia melihat Aylin dan Devin begitu dekat. Bahkan Devin memberi sekotak kue kepada Aylin.Plak!Tamparan menghujani pipi Aylin hingga membuat gadis bertubuh mungil itu tersungkur ke tanah. Tentu saja hal itu disaksikan oleh murid yang berkerumun."Misel hentikan!" seru laki-laki paruh baya berseragam dinas. Yang tak lain adalah guru Kimia.Tangan Misel yang sudah terangkat untuk melayangkan tamparan kedua pun terpaksa ia urungkan. Sayang sekali sudah ketahuan Guru padahal ia masih ingin memberi pelajaran Aylin."Bubar! Bubar! Masuk ke kelas masing-masing.""Yah, pak Toro gak asik."Murid yang berkerumun pun mulai beranjak dari taman sekolah menuju kelas. Sementara Aylin dan Misel dibawa menuju ruang BK.Pukul 15.30,Enzo melirik sekali lagi arloji dipergelangan tangannya. Harusnya gadis mungil yang ia tunggu sudah menemuinya. Setelah beberapa menit kemudian. Benar saja gadis bersurai hitam keluar dari gerbang sekolah."Pipimu kenapa?" tanya Enzo langsung menyadari pipi Aylin lebam.Dengan cepat Aylin menutup lebam pipinya dengan rambut miliknya yang sengaja ia gerai. Namun nampaknya hal itu justru membuat Enzo semakin curiga."Kamu berantem??" cecar Enzo tidak menyerah.Tiba-tiba gadis mungil disebelah Enzo itu tersedu. Ya Tuhan, Enzo terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak berniat membuat gadis SMA itu menangis."Hei jangan nangis. Kamu mau dibeliin permen?"Pertanyaan itu justru membuat Aylin semakin tersedu. Enzo benar-benar tidak peka sama sekali seperti biasa.Bingung dengan tingkah Aylin yang masih terus menangis. Enzo memutuskan untuk melajukan mobilnya pulang. Hingga tiba pada sebuah bukit yang Aylin pun tidak tahu kenapa Enzo membawa dirinya ke tempat itu."Kenapa Om membawaku kesini?" tanya Aylin menghapus sisa air mata dari ekor matanya yang sembab.Enzo menatap gadis disampingnya. "Yakin masih mau nangis ditempat seindah ini?" ucapnya kemudian.Benar, untuk apa Aylin menangis ditempat setenang itu. Seulas senyum terbit dari bibir Aylin. Ia tidak menyangka ada tempat sebagus itu. Kemana saja ia selama ini hingga tidak mengetahui bukit Nirwana.Drrrt! Drrrrt!Getaran gawai membuat Enzo menghentikan langkah kakinya. Alisnya berkerut membaca nama kontak yang muncul dilayar ponsel."Halo?", sahut Enzo kemudian.Aylin membalikkan badan saat mendengar Enzo yang mengangkat telfon. Laki-laki bertubuh jangkung itu nampak tergesa kembali masuk mobil. Dan brum, dalam sekejap Enzo pergi begitu saja."Hah?"Aylin menganga tidak percaya ia ditinggalkan begitu saja oleh Enzo. Terlebih ia baru pertama kali datang ke tempat itu."Dasar Om-om gak jelas!" umpat Aylin dengan kesalnya. Sepenting itukah panggilan telfon Enzo hingga membuat ia harus ditinggal sendirian.Apa yang membuat Enzo melupakan Aylin begitu saja?"Bener-bener ya kamu!"Elena mendengus kesal dengan tingkah putranya. Pasalnya Enzo meninggalkan Aylin seorang diri. Hal itu lah yang membuat Elena memarahi Enzo."Iya-iya Enzo minta maaf," ucap Enzo."Kok kayak gak ikhlas gitu jawabnya!?" protes Elena sengit.Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik napas dalam. Daripada terjadi perang dunia lebih baik ia mengalah."Iya Bunda cantik Enzo minta maaf," sahut Enzo seraya memamerkan deretan giginya.Namun wanita paruh baya itu masih saja menggerutu. Ia sungguh tidak bisa menoleransi kelalaian putranya. Bagi Elena Aylin tak kalah penting karena sudah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri.Tidak mempan dengan pujian Enzo mencoba memutar otak mencari cara. Guratan serius mulai terpancar dari wajahnya yang biasanya jenaka. Sungguh pemandangan yang langka."Bun tadi Enzo beli gulali loh," bujuk Enzo merayu sang Ibu agar luluh.Apakah cara itu akan berhasil? Aylin geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan bujukan Enzo kepada mertuanya.
"Nih minum dulu," ucap laki-laki berparas paling mencolok diantara remaja laki-laki seusianya. Begitu menawan dan berkharisma.Misel terpana pada tatapan laki-laki yang mengenakan seragam senada dengan dirinya. Napasnya yang ngos-ngosan mendadak menjadi teratur. Rupanya ospek hari ini adalah outbond dan game. Cuaca yang terik membuat badan mudah sekali berkeringat sehingga badan menjadi lemas dan tenggorokan kering keronta.Hingga datanglah seorang pangeran bagai cerita di negeri dongeng membawa sebotol air mineral. Saat itu lah pertemuan pertama kali Misel dengan Devin terjadi. "Makasih ganteng," puji Misel jujur apa adanya. Bukan hanya ganteng tapi sangat ganteng di mata Misel.Bukannya tersipu laki-laki yang duduk disamping Misel justru terbahak mendengar pujian Misel."Kamu orang ke seratus yang bilang aku ganteng hari ini, hahaha."Misel justru kian tersipu susah payah ia menyembunyikan rona merah yang muncul di pipinya. Lesung pipi Devin mengalihkan dunianya."Eh kita temenan
"Hik ... Hik!"Enzo menahan napas lalu sejenak lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya cara itu sangat ampuh menghilangkan cegukan yang melanda dirinya beberapa saat yang lalu. "Minum!" titah seorang laki-laki berusia hampir 35 kepada Enzo. Lantaran Enzo yang sejak tadi terus cegukan seperti anak kecil."Sudah sembuh Kak," ucap Enzo menjulurkan lidah mengejek. Puas sekali ia dapat mengerjai sang Kakak.Benar, laki-laki yang kini tengah duduk di sofa berwarna biru itu adalah Frans kakak Enzo yang baru saja pulang dari Texas. Sekilas mereka terlihat familiar satu dengan yang lain. Mulai dari garis wajah hingga bentuk mata yang tajam."Jadi karena orangtuanya meninggal kamu menikahi gadis itu lebih cepat?" Enzo menganggukkan kepala. Ia tahu yang dimaksud Frans adalah Aylin. "Jangan bilang kamu jatuh cinta beneran?" cecar Frans penuh selidik.Reflek Enzo menautkan alis tajam. "Mustahil.""Bagus, dengan begitu kamu bisa menghancurkan gadis itu kapan saja."Remaja laki-laki berusia 11 ta
"Ck! Aylin mana sih kok gak ada," monolog Sesil kepada dirinya sendiri. Gadis itu bahkan merasa tidak lahap memakan snack yang ia pegang.Sudah hampir setengah jam acara dimulai tapi tidak ada tanda kemunculan Aylin. Berulang kali Sesil menekan tombol panggil pada ponselnya namun nihil jawaban. "Kenapa Sil?" tanya ketua kelas Sesil yang kebetulan duduk berdekatan dengannya."Eh kamu tadi lihat Aylin gak?" Ketua kelasnya nampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Tadi dia perjalanan kesini kok," jawabnya.Aneh, kenapa gadis itu belum juga tiba. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sesil memutuskan untuk keluar dari aula. Setengah berlari Sesil menuju kelas XI. "Sial! Ada orang."Misel dan teman-temannya terpaksa menghentikan perundungan. Lantaran Misel mendengar jelas suara langkah kaki dari arah berlawanan. Dengan kuat ia membungkukkan badan mungil Aylin diikuti oleh dirinya yang juga ikut berjongkok menunduk. Gudang sekolah memiliki kaca jendela yang transparan dan
"Nah itu dia anaknya udah pulang," ujar wanita paruh baya menyambut kedatangan Aylin.Wajah sumringah Aylin seketika berubah menjadi canggung. Ia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu namun juga merasa tidak kenal tapi familiar. Mulai dari matanya yang tajam hingga gestur tubuhnya terlihat sama persis dengan Enzo."Hai, aku Frans."Laki-laki itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan. Elena yang menyadari Aylin terlihat kebingungan lantas menatap Aylin."Dia kakak Enzo yang baru pulang dari Texas," jelas Elena membuat manik mata Aylin melebar.Sejak kapan Enzo memiliki saudara? Sudah hampir sebulan menikah tapi Aylin sama sekali tidak tahu. Ia bahkan mengira Enzo adalah anak tunggal bak cerita novel tuan muda anak tunggal."S-saya Aylin."Tidak seperti Enzo yang berpenampilan serba sembrono Frans terlihat lebih berwibawa. Entah karena laki-laki terpaut lebih tua atau memang Frans sangat menjaga harkat dan martabatnya sebagai laki-laki tulen."Tidak usah canggung. Aku gak g
Keringat dingin membasahi kening Devin yang sedikit tertutup oleh rambut. Tenggorokannya kering tercekat. Harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari Aylin.Sekelebat ingatan Aylin tentang nama Viola melintas begitu saja. Entah mengapa hatinya memanas mengingat nama wanita itu."Aku mau. Aku mau jadi pacar kakak."Manik mata Devin melebar selebar-lebarnya. Bak dialam mimpi ia merasa terbang diatas awan. Muncul kupu-kupu indah beterbangan menghiasi perasaan hatinya yang berbunga. "K-kamu serius kan Ay??" tanya Devin memastikan. Ia masih tidak percaya gadis di sampingnya itu menerima ungkapan perasaannya. Ia bahkan berulang kali menyubit tangannya sendiri."Tapi boong. Hahaha"Seketika Devin memasang wajah datar sedatar triplek. Kupu-kupu yang berterbangan pun sudah sirna entah kemana."Gak lucu!" Melihat Devin yang memonyongkan bibir 5 cm Aylin tertawa geli. Ia baru sadar Devin terlihat menggemaskan saat sedang marah. Tapi bagaimana bisa tetap setampan itu?"Ngambek nih ye."Lak
"Duh mulut! Bisa kena omelan Aylin nih aku."Sesil memukul bibirnya sendiri. Bagaimana jika sahabatnya itu dihukum pamannya. Ia sering mendengar curhatan Aylin tentang pamannya yang bernama Enzo itu sering marah-marah. Bagaimana jika Aylin tidak diberi uang jajan? Memikirkannya saja Sesil sudah ngeri."Jadi setelah orang tuamu meninggal kamu tinggal bersama pamanmu?" tanya Devin."I-iya kak," sahut Aylin.Bohong, ia tidak sedang tinggal dengan pamannya melainkan dengan suaminya. Ah Aylin jadi merasa bersalah mengingat statusnya yang sudah menikah. "Oh iya mau mampir ke rumahku dulu gak? Ibuku bikin kue banyak hari ini."Tentu saja mendengar kata kue Aylin menjadi bersemangat. "Mau!" seru Aylin dengan riang.Pukul 16.15, deru mobil menyadarkan Elena yang sedang berbaring diatas sofa kesayangannya. Tidak lama kemudian muncul laki-laki berbadan jangkung dari daun pintu. Dengan mengernyitkan kening Elena keheranan."Loh mana Aylin??" tanya Elena. Tidak biasanya putranya pulang seorang di
Enzo menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Ia yakin ia sudah keramas rutin Minggu ini. Tatapannya kosong menatap jauh jendela yang menyajikan pemandangan gedung pencakar langit disekitarnya."Apa bapak sedang tidak enak badan?"Jayden merasa heran dengan penampilan atasannya itu hari ini. Bukan kaos oblong seperti biasanya. Enzo tengah mengenakan kemeja yang senada dengan celana. Mendengar Jayden menanyakan kesehatannya. Enzo segera menyentuh kening dan ketiaknya. "Aku sehat kok," jawabnya setelah memastikan suhu ketiak dan keningnya sama."Pffttt."Geli Jayden melihat tingkah Enzo yang menurutnya sangat kocak. "Jangan tertawa!" seru Enzo dengan tegas.Jayden pun langsung tidak berkutik. Secepat kilat ia memasang wajah seriusnya kembali. Namun ia tetap merasa aneh dengan Enzo yang lain dari biasanya. Apa mungkin?"Bapak patah hati ya?" Mata tajam Enzo menembus ulu hati Jayden. Menimbulkan rasa ngilu pada batin Jayden. Hingga bulu ketiaknya meremang ketakutan. "Sembarangan."T