Share

Mutiara Untuk Abang
Mutiara Untuk Abang
Penulis: HIZA MJ

Bab 1 Prolog

Penulis: HIZA MJ
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-30 15:29:29

"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai."

Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo.

"SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang.

Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'.

Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri?

Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya.

Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara bekerja.

Motaz adalah lulusan kedokteran di Universitas bergengsi di dalam negeri. Menyelesaikan spesialisnya di luar negeri dan lulus dengan predikat mahasiswa terbaik. Motaz seharusnya menjadi dokter Anak yang hebat setelah kelulusannya.

Namun sayang. Mimpinya harus terkubur begitu saja sebab permintaan sang ayah agar Motaz meneruskan kepengurusan manajemen rumah sakit.

Motaz memiliki adik laki-laki bernama Nicholas yang mengidap kanker otak sekian tahun lamanya. Pernah sembuh setelah dioperasi dan melakukan berbagai rangkaian pengobatan lainnya.

Tetapi, sel jahat itu tumbuh kembali dan menggerogoti kesehatan Nicho.

Nicho meninggal membawa penyakitnya. Nicho sudah baik-baik saja, namun rupanya Nicho meninggalkan luka mendalam untuk keluarga dan calon istrinya. Juga meninggalkan wasiat yang menjadi sumber rumitnya perjalanan Motaz selanjutnya.

Mutiara. Namanya singkat saja. Sesingkat perjalanan cintanya pada seorang selebritas yang sedang naik daun bernama Nicholas.

Mutiara adalah seorang dokter bedah saraf yang memiliki reputasi yang baik. Dokter yang piawai dengan pisau bedahnya. Ramah dengan para pasiennya, kompeten di bidangnya dan berdedikasi tinggi di tempat kerjanya.

Mutiara adalah orang hebat dengan masa lalu yang tak bisa disebut hebat. Masa lalunya kelam sampai ia bertemu dengan Nicho yang menyuguhkan kebahagiaan baginya meski singkat.

Kebahagiaan itu terenggut lenyap begitu saja bersama tubuh Nicho yang kini terkubur menjadi satu di liang lahat.

Tapi tak sampai di situ. Kehidupan Mutiara kembali jungkir balik setelah ia harus menikah dengan kakak Nicho sendiri yang ternyata adalah atasan di rumah sakit tempat ia bekerja.

Mereka tak saling kenal, tak saling tahu bahwa mereka seharusnya sebentar lagi memiliki hubungan keluarga.

Tetapi, kematian Nicho justru menjadikan hubungan mereka bukan hanya sekedar anggota keluarga biasa, melainkan Suami Istri.

***

Seminggu sebelum pernikahan Motaz dan Mutiara.

"Aku mohon, Bang. Aku ngerasa waktuku nggak lama lagi. Aku mohon Abang mau menggantikanku menikahi Ara. Dia sebatang kara di kota ini, dan aku sangat mencintainya. Aku nggak akan rela dia jatuh di tangan laki-laki lain. Aku percaya Abang. Jaga dia untukku, Bang." Kalimat Nicho lemah dan terbata-bata. Napasnya terengah-engah meski sudah dibantu selang oksigen yang menempel di hidungnya.

Tangan kurusnya yang penuh bercak bekas suntikan vitamin selepas kemoterapi berusaha menggenggam erat tangan kakaknya. Rambutnya sudah habis dicukur karena banyak rontok akibat kemo juga.

Mamanya yang berjongkok di depan lemari es berpura-pura mengambil buah sudah berurai air mata sejak tadi. Hanya kurang dari dua minggu lagi pernikahan itu dilaksanakan, tapi tubuh Nicho semakin lemah.

Kanker yang menggerogoti otaknya semakin menyebar. Penglihatannya pun sebenarnya berkurang banyak. Nyeri yang ia rasakan seringkali terasa seperti kepalanya mau pecah.

"Hanya Tuhan yang tau umur seseorang, Nich. Banyak cancer survivor yang akhirnya sembuh dari penyakitnya. Percaya Abang. Kamu harus kuat, kamu harus sembuh dan menikah." Motaz tak berhenti meyakinkan sang adik.

"Abang lebih tau kondisiku karena Abang juga seorang dokter. Aku udah nggak kuat. Di sini.." Nicho mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk mengangkat tangan dan menyentuh kepalanya. "Di sini, sakit sekali." Rintih Nicho.

"Janji sama aku, Bang. Nikahi Ara kalau aku pergi." Lanjutnya.

Motaz, sang kakak tak berani menjawab atau menjanjikan apapun. Ia memang belum menikah, tapi menikah menggantikan adiknya dan menikahi pacar adiknya itu agak...

Agak, aneh dan ganjil menurutnya.

Ia merapatkan mulutnya menarik ke kanan dan kiri tipis. Kemudian menepuk kecil jari-jari tangan adiknya yang bagian telapaknya tertusuk jarum infus.

Nicho meminta banyak vitamin yang terbaik agar dirinya lekas pulih. Ia tak ingin terlihat lemah dan pucat saat menemui Mutiara nantinya. Mutiara tidak boleh tahu bahwa ia sedang sekarat.

Mutiara harus tetap bahagia meski ia tiada nanti. Dan laki-laki yang ia percayai hanyalah kakaknya sendiri. Motaz laki-laki yang lembut selaras dengan apa yang tergambarkan di wajah dan perilakunya.

Bukan hanya baik, ia juga lelaki mapan yang akan mewarisi rumah sakit milik orang tua mereka.

"Kamu yang akan menikahi pacarmu. Bukan aku." Tegas Motaz, lalu berpaling dari Nicho.

Menjauhi brankar tempat Nicho terbaring dan memilih duduk di sofa dekat pintu yang jauh dari Nicho.

Nicho menderita kanker otak sejak tiga tahun lalu. Bukan. Tepatnya sejak lima tahun lalu. Lima tahun lalu ia sudah pernah di operasi di luar negeri dan dinyatakan sembuh.

Namun, tiga tahun lalu, ternyata sel jahat itu tumbuh kembali dan menggerogoti Nicho semakin ganas. Hari dimana kanker itu dinyatakan tumbuh kembali itu, di hari itu pula pertemuannya dengan Ara di sebuah rumah sakit di Jerman. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun tak bertemu.

Ya. Nicho dan Ara adalah teman lama sebelum akhirnya Ara mendapatkan beasiswa studi ke Jerman. Dan di negara itulah mereka kembali dipertemukan. Setahun setelah pertemuan itu mereka menjalin hubungan sampai saat ini dan memutuskan menikah.

Ya. Beberapa hari lagi Nicho dan Ara seharusnya melangsungkan pernikahannya.

Di ruangan yang sangat lapang, di kamar VVIP itu hanya bunyi mesin EKG-lah yang menemani detik demi detik ketiga orang penghuni kamar itu. Bunyi dengingan mesin yang nyaring dan seirama detak jantung itu membuat dada Motaz dan ibunya sesak.

Motaz membetulkan selimut adiknya sampai sebatas dada saat Nicho terlihat sudah tertidur. Lalu menatap wajah pucat Nicho sampai beberapa sampai sang ibu memanggilnya.

"Ibu terlalu banyak menangis. Badan ibu jadi kurus begini." Ucap Motaz sambil mengusap bahu sang ibu.

Mereka duduk bersandingan di kursi tunggu di luar kamar VVIP tempat Nicho dirawat. Ibunya menyeretnya keluar sebab sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin beliau katakan.

Katherine, wanita blasteran Turki-Jerman itu kembali menitikkan air mata.

"Ibu ikhlas kalau Nicho harus pergi, ibu harus ikhlas. Ibu juga tidak kuat setiap kali melihat Nicho muntah dan merintih setelah melakukan kemoterapi. Dia sudah pernah melalui itu lima tahun lalu, Motaz. Pasti menyakitkan. Turuti permintaan saudaramu."

"Ibu tau aku--"

"Sampai kapan?" Potong ibunya cepat. Ada nada jengkel sekaligus bosan di sana.

Motaz terdiam. Tangannya yang tadi berada di bahu ibunya perlahan terlepas dan berada di pangkuannya. menghadap tembok putih polos yang sekarang seperti sedang mengolok-oloknya.

"Apa dua tahun tidak cukup bagimu untuk sembuh dari luka itu? Kenapa kamu terlalu melebihkannya, Motaz? Ibu sudah tak yakin sejak awal dengannya dan kamu terus memaksa. Lalu kamu tau sendiri akhirnya bagaimana." Tukas si ibu.

Bu Katherine mengira itulah alasan Motaz menghindar. Ternyata mereka terlibat kesalahpahaman.

Yang dipikirkan Motaz berbeda dengan yang dipikirkan ibunya.

Motaz mendesah pelan. "Bukan berarti aku bisa menerima permintaan Nicho begitu saja. Aku nggak kenal dia siapa. Dan.. Kenapa harus aku?"

"Kamu kenal. Kamu pasti kenal. Kalau bukan kamu siapa lagi? Saudara Nicho cuma kamu, anak ibu ya cuma kalian berdua. Ibu juga mau Ara menjadi anak, Ibu, Motaz."

Bagian 'kamu pasti kenal' membuat Motaz menoleh ibunya mengernyit. Motaz tak mengerti. Ia memang sering mendengar kisah kasih Nicho lewat ibunya karena ia memang tinggal terpisah dengan mereka. Tapi ia tak pernah sekalipun bertemu dengan pacar adiknya itu.

Saat acara tunangan Nicho pun ia tak bisa menghadirinya karena perjalanan ke luar negeri yang tidak bisa ditunda.

Tapi ia sering mendengar namanya disebut. Kalau tidak salah, Ara?

Ya. Ara. Hanya itu yang ia dengar, Nicho juga menyebutkannya tadi. Nama lengkapnya siapa ia tak tahu.

"Aku? Kenal dia?"

Ibunya mengangguk. "Dan seperti yang kamu dengar sendiri tadi, karena hanya kamu yang dipercaya oleh Nicho untuk menjaga Ara." Ibu Katherine menggenggam tangan Motaz sebelum akhirnya kembali masuk ke ruang rawat Nicho, meninggalkan Motaz merenung sendirian.

Motaz tercengang. Cara ibunya menggenggam tangannya persis seperti Nicho beberapa saat lalu.

Batinnya bergejolak tak tenang. Tentu saja ia menolak. Mustahil menikahi wanita yang sama sekali tak dikenalnya. Apalagi bekas.. Maksudnya..

Argggh!!

Motaz menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia gagal menemukan istilah untuk wanita bernama Ara itu. Ia tak menemukan kalimat yang tepat bahkan untuk menyebutnya.

"Ara.." Gumam Motaz.

Kekhawatiran Nicho nyatanya berlebihan. Tiga hari sudah Nicho dirawat di rumah sakit itu dengan dibantu suplai vitamin yang banyak sesuai permintaannya. Dan ia pulang dalam keadaan sehat walaupun tenaganya belum pulih benar.

Nicho memilih rumah sakit yang berbeda. Padahal rumah sakit ayahnya tempat Mutiara bekerja memiliki fasilitas lebih lengkap dan dokter terbaik.

Ruma Sakit Royal International Jakarta adalah salah satu rumah sakit paling berkelas dengan kualitas pengobatan terbaik di sana.

Tetapi, karena alasan untuk menghindari Ara agar tak cemas, Nicho memilih rumah sakit lain.

Bab terkait

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 2 Press Conference

    Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-31
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 3 Dia Tidak Baik-Baik Saja

    "Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-05
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 4 Kritis

    Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-05
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 5 Selamat Tinggal

    Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-06
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 6 Duka

    Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-07
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 7 Surat Wasiat

    Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-08
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 8 Tumpah Ruah

    Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-15
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 9 Mutiara dan Motaz

    Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-15

Bab terbaru

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 85 Tangisan Dua Wanita

    "Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 84 Menghilangnya Senja

    Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 83 Rujukan

    "Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 82 Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 81 Dimana dia?

    "Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 80 Pindah Ke Jerman?

    "Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 79 Kondisi Mutiara

    Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 78 Aini dan Ayu

    Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 77 Utusan

    Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara

DMCA.com Protection Status