"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.
Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.
Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.
Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus.
"Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala.
"Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?"
"Kamu nggak apa-apa sendiri?"
Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah benar-benar tak kuat dengan sakit kepalanya. Terlebih nyeri di bagian belakang retina matanya, rasanya ia ingin melepas sejenak kepalanya dan melepaskan rasa sakitnya.
"Udah biasa sendiri ini. Pulang sekarang ya.."
Jadwal mereka hari itu harusnya padat sekali. Setelah melakukan press conference, Mutiara dan Nicho harus mencari souvenir pernikahan dan survei beberapa perabot untuk rumah baru mereka.
Semakin mendekati hari pernikahan justru Mutiara semakin merasa banyak sekali hal-hal yang belum terselesaikan untuk pernikahan mereka itu.
Mutiara memapah calon suaminya masuk ke dalam mobil dan mengantar Nicho pulang dengan mobilnya. Ia tak akan membiarkan Nicho menyetir sendiri dalam keadaan pucat pasi seperti itu.
Dalam perjalanan menuju kediaman Nicho, Mutiara tak henti-hentinya melirik Nicho yang tengah memejamkan mata. Perasaannya sama sekali tak tenang. Wajah pucat Nicho bukan pucat seperti orang yang masuk angin biasa.
Mutiara juga memperhatikan Nicho beberapa kali meringis seolah sedang menahan sakit.
Tapi memaksa Nicho pergi ke dokter adalah hal mustahil. Karena Nicho pasti menolak dengan keras. Mutiara membiarkan Nicho beristirahat meski ia cemas luar biasa. Ia yakin Nicho bukan sakit kecapekan biasa.
Nicho sengaja memejamkan matanya. Menahan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Ia hampir menangis ketika melihat betapa cemasnya Mutiara karena keadaannya.
Nicho berusaha keras menahan apapun, menahan tangannya agar tak kelepasan meremas kepalanya, menahan air matanya agar tak menetes meski setitik. Menahan diri agar tak mengerang sebab kesakitan. Menahan diri agar tetap sadar meski sedang memejam. Ia takut ia justru malah kebablasan pingsan dan membuat Mutiara semakin cemas.
Rasanya... Kepulangannya sudah semakin dekat. Nicho tak sanggup lebih lama menahan sakit ini. Tapi ia harus bertahan karena kakaknya belum juga memberikan jawaban.
Ia harus mendengar sendiri Motaz menyanggupi permintaannya menikahi Mutiara.
Mobil Mutiara memasuki halaman rumah Nicho. Rumah bergaya turki yang sangat elegan dan modern itu merepresentasikan Bu Katherine yang berasal dari sana.
Mutiara memarkirkan mobilnya kemudian membangunkan Nicho. Mutiara masih tidak tahu kalau Nicho hanya berpura-pura tidur.
"Kita udah sampai di rumah, Yang."
Mutiara mendengar pintu besar bergaya bodrum berwarna biru itu terbuka. Mutiara menoleh. Ibu Nicho sudah berada di ambang pintu dengan raut sama cemasnya dengan Mutiara.
Beberapa saat lalu, Nicho memberinya kabar bahwa ia akan pulang bersama Mutiara.
Nicho membuka matanya saat pintu di sampingnya dibuka Mutiara.
"Nicho pucat banget, Bu. Apa dia menyembunyikan sesuatu dari Ara?" Tanya Mutiara saat Ibu Katherine mendekat ke mobilnya.
Ibu Nicho baru akan membuka mulutnya, tapi kemudian Nicho menyela dengan cepat.
"Aku udah bilang, aku cuma kecapekan, Yang. Jangan khawatir." Ucapnya lemah.
Mutiara mengernyit.
"Ibu, tolong." Lirih Nicho.
Mutiara semakin mengernyit. Posisinya lebih dekat dengan Nicho, tapi Nicho meminta tolong ibunya untuk memapahnya?
Katanya cuma kecapekan biasa, tapi tubuh Nicho jauh lebih lemah dari biasanya. Menopang tubuhnya sendiri saja tak mampu. Mutiara menatap lesu Nicho yang dipapah ibunya memasuki rumah. Ia masih diam di tempatnya, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Bu Katherine yang sadar bahwa Mutiara tak mengikuti langkah mereka kemudian menoleh. "Ayo masuk, Ara."
Ara adalah panggilan sayang dari Nicho untuk Mutiara. Karena Nicho memanggil demikian, ibu dan ayahnya juga ikut memanggil Mutiara dengan panggilan itu.
Pun Mutiara sangat menyukainya.
"Iya, Ibu." Sahut Mutiara dengan senyum simpul.
Sebenarnya Mutiara sudah tak asing lagi dengan rumah itu. Dua tahun menjalin hubungan dengan Nicho, ia sering diajak pacarnya itu berkunjung ke rumah orang tuanya.
Mutiara juga sangat disayang oleh Ibu Katherine sendiri. Beliau yang tak memiliki anak perempuan sangat bersemangat saat Nicho memperkenalkan Mutiara padanya.
Ayah yang sudah mengenal Mutiara lebih dulu juga menyetujui hubungan mereka. Mutiara bekerja di rumah sakit milik ayah Nicho sejak ia selesai belajar di Jerman dan kembali ke Indonesia. Tepatnya satu tahun yang lalu.
Nicho sudah berada di kamarnya, sementara Mutiara menunggu di ruang tamu yang semua ornamen-ornamennya bergaya Turki klasik.
"Souvenirnya bagaimana?" Tanya Bu Katherine sambil membawa dua gelas minuman.
"Nanti Ara yang cari, Bu. Setelah dari sini. Apa Nicho baik-baik saja? Saya bisa memeriksanya tapi tidak ada peralatannya di sini."
"Nicho baik-baik saja, Ara." Jawab Bu Katherine tanpa menatap Mutiara.
Mutiara mengangkat alisnya. Jawaban ibunya Nicho dengan raut wajah beliau tidak sinkron sama sekali.
Wajah sedih beliau sama sekali tidak bisa ditutup-tutupi. Gesture resah nan gelisah Bu Katherine kentara di mata Mutiara. Duduknya tak tenang dan selalu melirik ke arah kamar Nicho.
Nicho tidak baik-baik saja. Ibu terlihat sangat sedih dan cemas. Pikir Ara.
Meski begitu, Mutiara tetap mengangguk agar Ibu Nicho tahu bahwa ia percaya Nicho sedang baik-baik saja.
Mutiara dikejutkan oleh getar ponselnya sendiri. Ia merogoh ponsel itu di kantongnya. Melirik layar memunculkan nama dokter residen.
"Maaf, Bu. Ara jawab telepon ini dulu."
"Silakan." Jawab Bu Katherine tersenyum ramah.
Mutiara berdiri belum mengangkat teleponnya tapi masih menyempatkan melihat calon mertuanya itu. Kemudian ia gegas keluar ke teras menerima panggilan telepon di sana.
"Hallo.."
[Dok, pasien kecelakaan butuh operasi secepatnya.]
"Saya cuti hari ini. Dokter Harun atau Dokter Mia kemana?"
[Dokter Harun juga sedang di ruang operasi. Dokter Mia ada seminar tadi sudah pesan jangan diganggu.]
"Ck! Oke. 10 menit lagi saya sampai."
"Apa iya penting seminarnya dari pada nyawa manusia. Heran! Selalu begitu!" Gerutu Mutiara setelah menutup sambungan teleponnya. Dokter Mia adalah rekan kerjanya. Usianya masih di bawah Mutiara, tapi kecerdasannya membuat ia lebih cepat menjadi dokter bedah dan memiliki lisensinya.
Hanya cerdas. Dokter yang kompeten butuh tanggungjawab besar, bukan hanya kecerdasan. Juga, karena Dokter Mia adalah anak dari salah satu pimpinan di rumah sakit itu, ia selalu bekerja seenaknya. Memilih pasien ini dan itu. Dan banyak hal tak bertanggungjawab lainnya.
Mutiara kembali masuk dan berpamitan pada calon mertuanya itu.
"Ibu, Maaf sekali. Ada telepon darurat dari rumah sakit. Ara harus secepatnya kesana." Kata Mutiara seraya mengambil tasnya dengan tergesa.
"Baik.. baik.. pasienmu sangat penting."
Deg.
Di telinga Mutiara, kata-kata itu seolah sedang menyindirnya. Apa pasienku artinya lebih penting dari pada calon suamiku? Apa maksudnya begitu?
Mutiara tersenyum tipis lalu keluar dari rumah itu. Langkahnya lebar-lebar menuju mobilnya. Wajahnya tertunduk mencari kunci mobil hingga tak memperhatikan sebuah mobil juga memasuki halaman rumah Bu Katherine.
Saat mobil Mutiara mundur hendak keluar, mobil yang baru masuk itu maju memakai tempat yang tadi dipakai mobil Mutiara parkir.
"Pasti abangnya Nicho." Gumam Mutiara, lalu melesat cepat.
Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di
Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara
Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara