Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.
Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.
Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.
Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.
Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.
Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.
Dan hari itu, ia dibuat kembali resah setelah mendapat telepon dari sang ibu. Kata beliau, kondisi Nicho semakin lemah setelah melakukan press conference itu. Motaz tak berpikir lama. Ia segera pulang mengabaikan pekerjaan yang menumpuk melambai hendak menahannya.
Motaz memandangi mobil yang baru saja keluar dari rumah orang tuanya itu. Mobilnya tidak asing baginya, plat nomornya demikian. Tapi sekeras apapun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban siapa pemilik mobil itu.
Motaz mengerjap kemudian menggeleng sekali. Dengan setengah berlari ia masuk ke dalam rumahnya. Beberapa saat lalu, ibunya menghubunginya soal kondisi Nicho."Ibu..." Serunya.Bu Katherine keluar dari dapur dan menghampiri Motaz. "Nicho ada di kamarnya. Kondisinya lemah sekali."Mereka kemudian melangkah sama-sama menuju kamar Nicho. "Siapa tamu barusan, Bu?" Tanya Motaz."Tamu?" Ulang Bu Katherine. Beliau tak pernah menganggap Ara sebagai tamu, sehingga tak mengerti siapa yang dimaksud Motaz."Ada mobil keluar dari sini, sewaktu aku sampai." Terang Motaz."Oh, itu Ara. Sayang sekali kamu nggak ketemu. Dia yang mengantar Nicho pulang." Sahut Bu Katherine, sesaat kemudian beliau termenung. Wajahnya terlipat dengan kesedihan yang bercampur kecemasan.Motaz mengangguk. Langkahnya kemudian berhenti karena tangannya ditahan oleh sang ibu."Ara mungkin sudah curiga dengan kondisi Nicho. Ibu nggak sanggup terus menerus berbohong padanya, Motaz. Ibu nggak sanggup. Ara terlihat sangat cemas. Nicho bahkan tak sanggup berjalan sendiri saat Ara mengantarnya kemari."Motaz menyentuh bahu sang ibu. "Aku akan coba bicarakan dengan Nicho. Kita lihat kondisi dia dulu, Motaz udah panggil dokternya kemari."Bu Katherine mengangguk.Dengan perlahan Motaz membuka pintu kamar adiknya. Kamar dengan nuansa hitam, putih dan abu-abu itu menambah suasana pucat si pemilik kamar."Nich.." Panggil Motaz."Bang.." Sahut Nicho lemah."How you feel?" Tanya Motaz."Sakit.. sekali. Tapi.. ak-u harus me-nahannya, a-ku belum mau mati sebelum mendapat jawaban dari Abang." Kalimat Nicho sangat lemah dan terbata-bata.Di belakang Motaz, Bu Katherine tak sanggup lagi menahan laju air matanya karena mendengar kata 'mati' dari mulut anak bungsunya itu."Nich, dengar.""Aku nggak kuat lagi, Bang." Sela Nicho. "J-jangan pak-sa aku bertahan lagi.""Bagaimana dengan Ara? Apa kamu akan meninggalkannya begitu saja? Kamu tega membohonginya selama ini. Kamu harus sembuh dan menikahinya!" Tanpa sadar Motaz meninggikan suaranya. Motaz kembali sadar ketika lengannya dicengkeram sang ibu.Nicho mengulas senyum yang itu saja sudah sangat menguras tenaganya. "Apa aku tidak terlihat mencintainya? Aku bertahan selama ini untuknya.""Belum. Kamu belum memaksimalkan usahamu untuk tetap bersamanya. Kamu menolak operasi, kamu menolak kemoterapi. Kamu bilang Ara adalah dokter saraf. Dia pasti bisa membantumu kalau kamu jujur padanya. Kamu yakin kamu bisa membohonginya?" Motaz semakin kesal karena pesimisme Nicho."Berjanjilah padaku, Abang harus menikahi Ara kalau aku pergi."
Motaz berdecak. "Tidak ada yang akan menikahinya kecuali kamu. Jadi, sembuhlah!"
Ia keluar kamar Nicho tanpa mengacuhkan sang ibu yang menahannya.
"Ibu akan bicara pada kakakmu. Sebentar lagi dokter Farhan akan datang. Istirahatlah dulu." Kata sang ibu. Beliau membetulkan selimut Nicho kemudian keluar kamar mencari anak sulungnya.Di tepian kolam renang, napas Motaz tersengal. Ia marah, kecewa dan entah perasaan apa lagi yang bercampur menjadi satu bergemuruh di dalam dadanya."Omong kosong pernikahan.." Geram Motaz."Motaz.." Panggil sang ibu.
Motaz menoleh sekilas kemudian kembali memandang air tenang di kolam renang meski menyilaukan. Matahari sedang terik-teriknya dan ia berdiri di tepian kolam tanpa mempedulikan panas yang menusuk kulit.
"Tolong, Bu. Aku nggak bisa. Itu sama saja ibu menyerah pada Nicho! Jangan paksa aku untuk menjanjikan hal yang mustahil. Bagiku menikahi pacar adikku sendiri itu hal yang... Sudahlah! Aku nggak mau bahas ini lagi." Motaz memalingkan wajahnya. Kemudian duduk di tempat teduh.
Ibu Katherine tahu benar bagaimana Motaz. Dirinya yang sebenarnya tak bisa menolak permintaan siapapun terutama ibunya.
"Sejak kecil Nicho memang sakit-sakitan, Motaz. Tubuhnya lemah tak seperti anak-anak lain. Kamu tau itu. Saat dia jatuh sakit karena flek paru-paru kamu menangis tersedu dan mengatakan padanya bahwa kamu akan mengabulkan semua permintaannya. Kamu nggak ingat? Usia Nicho 5 tahun waktu itu dan kamu 10 tahun. Kamu begitu ketakutan karena Nicho kesakitan sampai berucap demikian. Kamu mungkin lupa. Tapi Nicho mengingatnya. Dia sangat mengenal kamu, makanya dia nggak ragu menyerahkan Ara dalam penjagaanmu." Bu Katherine menghela napas sangat dalam sebelum melanjutkan.
"Kalau kamu katakan ibu menyerah dengan kondisi Nicho, ibu mana yang akan menyerah pada anaknya, Motaz. Tapi tiap kali melihat Nicho kesakitan seperti itu, hati Ibu seperti tercabik dan dikoyak. Kalau Tuhan lebih sayang padanya dan Nicho tak akan merasakan sakit lagi, ibu akan berusaha ikhlas meskipun berat." Bu Katherine menggenggam tangan Motaz sangat erat. Satu bulir air matanya menetes dan dengan cepat beliau mengusapnya.
---
Mutiara memarkirkan mobilnya asal di parkiran khusus dokter di depan IGD rumah sakit itu. Berlari secepat mungkin menuju pasien yang membutuhkan operasi. Satu dokter residen yang menunggunya sejak tadi menyambutnya dengan laporan status pasien."Pasien pendarahan intrasebrum di serebelum, Dok. Kondisi semi koma dan tidak ada gerakan motorik. Sudah di pindai CT otak. Pendarahannya cukup banyak sampai menekan batang otak." Dokter residen tahun kedua bernama Angga menjelaskan status pasien sambil berjalan cepat menyamai jalannya Mutiara."Berapa umurnya?""15 tahun."Mutiara mendesah. "Siapkan ruang operasi dan hubungi dokter anestesi segera..""Ruang operasi 1 sudah siap, Dok." Sahutnya cepat.Mutiara berdiri di depan layar komputer melihat seksama gambar ctscan setelah ia berganti baju operasi.Bersedekap mempelajari gambar tersebut. Tiba-tiba bayangan Nicho melintas di depannya. Wajah pucatnya, tubuh kurusnya, kepala pelontosnya, pipi tirusnya.Lagi-lagi Mutiara mendesah. "Ada apa denganmu, Nich?" Lirih Mutiara."Dokter.." Panggil Angga.Mutiara mengangguk mengerti. Angga memanggilnya karena pasien siap dilakukan operasi. Dokter anestesi telah siap di tempatnya."Mess..(pisau bedah)" Ucap Mutiara sambil mengulurkan tangannya. Pisau itu didapatnya, dan gerakan tangannya sangat cepat membelah kulit tengkorak.
Ia juga mahir menggunakan bor untuk melubangi tengkorak kepala itu, asisten dokter di sampingnya melakukan penyedotan dan pengairan di daerah lubang sekitar itu. Kerjasama yang baik.
Operasi itu membutuhkan waktu paling cepat 6 jam dan selambat-lambatnya 9 jam jika kondisi pasien semakin parah."Operasinya berhasil dan lancar. Pendarahannya berhasil di atasi, tetapi pasien mengalami pembengkakan parah. Kondisi pasien masih kritis dan akan terus kami pantau di ICU dan diberi obat untuk pembengkakannya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Ujar Mutiara pada wali pasien begitu selesai melakukan operasi itu.
"Kapan anak saya akan sadar, Dok?"
"Saat ini kami tidak tahu pastinya karena kondisi anak anda masih kritis. Kami akan terus pantau. Permisi."
Mutiara berjalan dengan satu tangannya memegang tengkuk. Operasi bedah tengkorak tak pernah mudah karena selalu berperang melawan waktu.
Ia menuju ruangannya dan berganti baju. Jam waktu itu menunjukkan pukul 19.32. Ternyata operasinya membutuhkan waktu 7 jam lamanya.
Mutiara mengambil ponselnya. Notifikasi di ponselnya banyak sekali. Ada 7 panggilan tak terjawab dari Ibu Katherine.
Mutiara mengernyit. "Banyak sekali.. Apa terjadi sesuatu?" Gumam Mutiara.
Kemudian ia berpindah ke kotak pesan. Pesan dari Ibu Katherine membuat jantungnya berhenti sesaat.
"Nich.."
Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara
Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan