Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.
Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.
Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran.
"Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.
Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal.
"Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara.
"Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."
Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya bekerja, bertemu pasien mungkin bisa mengalihkan kesedihan saya, Dok." Jawabnya.
Semua yang ada di stasiun perawat itu mengangguk mengerti dan menyetujui. Terserah keputusan Mutiara. Mereka semua tahu Mutiara adalah dokter kompeten yang semangat belajar.
"Kalau begitu, Mari bersiap kunjungan pasien." Kata Dokter Teddy.
Mutiara mengangguk untuk kesopanan, lalu dokter Teddy diikuti dua dokter residen dan satu perawat menuju bangsal menjenguk satu per satu pasiennya.
Sementara Mutiara menuju NICU setelah mengambil jas doker di ruangannya, menjenguk pasien anak kecil yang baru dioperasinya kemarin.
"Angga, bagaimana perkembangan pasien ini? Kamu pantau terus, kan?"
"Kemarin tekanan darahnya sempat turun, Dok. Saya beri 100cc mannitol yang saya bagi dua. Motoriknya juga sudah mulai ada kemajuan, dia menggerakkan jari-jarinya kemarin malam." Terang Angga.
"Adek.. Bisa angkat tanganmu?" Pinta Mutiara.
Pasien itu mengangkat tangannya perlahan. Meski hanya sedikit tapi itu merupakan perkembangan yang luar biasa.
Mutiara menyingkap selimut yang menutup kaki pasien itu, "Angkat kakimu."
Pasien anak kecil itu mengangkat kaki kanannya sesuai perintah. Gerakannya sangat baik.
"Dia mengikuti instruksi dengan baik." Kata Mutiara, lalu memandang Angga sambil membetulkan selimut dan mengecek selang infus. "Arterinya tidak akan pecah lagi jadi jangan khawatir dan teruskan nimodipine sesuai dosis kemarin. Untuk sakit kepalanya berikan acetaminophen."
"Baik, Dok." Sahut Angga sambil menuliskan semua di catatan miliknya.
"Pastikan kamu ganti perbannya, agar lukanya sembuh dengan baik."
"Baik, Dok. Dok..." Panggil Angga.
"Ya?"
"Dokter yakin enggak apa-apa?"
Mutiara menepuk bahu Angga dua kali kemudian berlalu begitu saja tak ingin menjawab pertanyaan itu. Kenapa harus ditanya? Tentu saja dia tidak baik-baik saja.
Ditinggalkan seseorang yang amat ia cintai dan seharusnya menjadi belahan hidupnya sampai tua. Mutiara sangat terpukul. Terlebih terselip rasa bersalah sebagai dokter karena tidak peka dengan tanda-tanda yang dialami Nicho.
Angga mengikuti Mutiara di belakangnya keluar dari NICU tersebut. Mereka terperanjat karena seorang perawat berdiri menghadang mereka.
"Ada apa, Sus?"
"Dokter Mutiara dicari Pak Direktur. Beliau sudah menunggu di ruangan anda, Dok."
Mutiara menghela napas dan menghembuskannya cepat. Mutiara mengangguk mengerti, "Makasih. Kamu boleh kembali." Katanya.
Mutiara menuju ruangannya, sedangkan Angga dan perawat tadi berbisik-bisik. "Ngapain Pak Direktur nyariin dokter Mutiara?"
Perawat bernama Indri itu mengangkat kedua bahunya. "Bukannya Pak Direktur itu anaknya yang punya rumah sakit ini, itu artinya Pak Direktur itu kakaknya calon suami Dokter Mutiara yang meninggal kemarin."
"Ribet banget kamu ngomongnya." Ejek Angga.
"Hiiih. Nanya-nanya, giliran dijawab malah ngejek."
"Pak Direktur juga harusnya berduka kalau begitu, beliau juga bekerja hari ini. Ada apa dengan mereka.."
"Bukan urusan kita. Dokter Mia tadi titip ini.." Perawat itu mengangsurkan kotak alumunium berisi peralatan ganti perban. "Kamu diminta ganti perban pasien Ibu Dewi."
"Haiisshhh.. Emangnya kemana Faiz?"
"Ikut dokter Teddy keliling." Sahut Indri singkat.
"Haisshhh.." Angga mengacak rambutnya kesal. Dokter bedah dan dokter residennya sama-sama mengesalkan.
Mutiara membuka pintu ruangannya perlahan. Motaz duduk membelakangi pintu itu dengan tangan bersedekap di depan dada.
"Ada apa Anda mencari saya?" Mutiara berdiri menghadap ke jendela seperti hal nya Motaz di depannya.
Menatap punggung Motaz yang juga tengah berdiri di sana. Saat menyadari kemiripan Motaz dan Nicho, Mutiara tak sanggup bertatap muka dengan direkturnya itu. Hatinya sakit sekali saat mengingat kekasihnya yang malang.
Tunggu. Nicho yang malang atau justru dirinya sendiri yang malang?
"Kurasa banyak yang harus kita bahas." Ucap Motaz berbalik.
"Saya nggak mau." Jawab Mutiara karena tahu kemana arah pembicaraan itu.
"Ini bukan hanya tentang kamu."
Kepala Mutiara menoleh dengan cepat dan membelalakkan matanya menatap Motaz.
"Lalu? Yang menjalani pernikahan itu nantinya saya. Bukan orang lain. Kalau bukan tentang saya lalu siapa lagi?" Suara Mutiara cukup sengit dan bernada tinggi.
"Aku."
Mutiara menelan ludahnya sambil memalingkan muka. Air matanya ditahan di pelupuk mata agar tak lolos begitu saja di depan orang asing yang baru dikenalnya sebagai kakak Nicho itu.
Ya. Meski Motaz adalah direkturnya, atasan di tempat kerjanya tapi ia sama sekali tak pernah bersinggungan dengannya. Pernah bertemu pun tidak. Mutiara menghabiskan waktunya di departemen saraf, poli dan bangsal. Ia tak pernah mau berurusan dengan politik perusahaan meski seringkali diajak oleh ketua departemennya.
"Aku tidak akan tenang karena aku sudah berjanji dengan Nicho. Walaupun aku pasti lebih tidak tenang karena harus menikah dengan pacar adikku sendiri. Semuanya terasa aneh."
Mutiara menggigit bibirnya keras. Air matanya lolos saat nama Nicho disebutkan. Kemudian tangannya terulur untuk menghapusnya dengan cepat.
"Aku yakin ibu pasti sudah membahas ini denganmu, kan? Kita harus menikah. Demi Nicho." Kata Motaz. Lantas mengangsurkan sebuah surat pada Mutiara.
"Apa ini?"
"Bacalah. Aku juga dapat. Itu surat yang ditulis Nicho."
Mata Mutiara sejenak menatap Motaz dengan raut tak terbaca, perlahan beralih pada selembar surat itu dan membukanya.
'Dear, Ara, Sayangku..
Saat kamu membaca surat ini aku pasti sudah tidak ada di dunia. Maafkan aku karena meninggalkanmu. Maafkan aku karena tidak jujur padamu soal penyakitku. Kuharap kamu tidak merasa bersalah pada dirimu sendiri. Ini semua bukan salahmu. Ini pilihanku karena aku tak mau membuatmu sedih. Tapi.. kamu pasti sedih sekarang 'kan? Itu sebabnya aku mengirimkan orang yang akan menjagamu mulai sekarang. Orang terdekatku yang aku yakin akan dirinya. Cuma dia yang aku percayai untuk menjagamu. Dia abangku. Namanya Motaz.
Dia pasti ada di dekatmu sekarang, kan?'
Mutiara mendongak. Menatap sekitar, darimana Nicho tau kalau sekarang dia sedang bersama Motaz? Apa jangan-jangan dia mengawasiku?
'Ini adalah permintaanku yang terakhir, Yang. Demi kamu dan demi aku. Aku akan tenang kalau kamu selalu berada di dekat Bang Motaz. Kuharap kamu bisa berbahagia dengannya.
Terima kasih untuk kebersamaan kita. Aku cinta kamu Mutiara.'
Motaz sudah sejak tadi kembali menatap jendela. Mutiara pasti menangis. Dan wanita itu pasti akan malu jika isaknya disaksikan orang asing.
Dan tebakannya benar. Isakan itu sudah menyambangi telinga. Motaz memejamkan mata.
Tangisan wanita ini membuat jantungnya terasa ikut diremas. Motaz menajamkan telinganya, Mutiara pasti tengah berjongkok.
Cukup lama Mutiara menangis, dan selama itu pula Motaz berdiri terpaku mendengarkan tangisa seorang wanita yang menyayat hati.
Mutiara terisak lama sekali. Kemudian tersentak ketika ia menyadari tengah berada dimana. Mutiara menghapus air matanya kasar. Melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam tas dokternya.
Mutiara berdiri dan berkata, "Maaf. Saya kembali ke ruangan saya, permisi."
"Tunggu!" Motaz berbalik. "Apa jawabanmu?"
"Apa saya punya piihan lain?" Tanya Mutiara tegas setegas tatapannya pada Motaz.
Motaz menghela napasnya. Menjawab pun rasanya ia juga tak sanggup karena Mutiara benar. Mereka bahkan tak memiliki piihan lain.
Kenapa hidupnya harus bergantung kepada surat wasiat itu?
Jawabannya satu, karena ia mencintai saudaranya.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai."
"SAH... SAH.."
"Selam-at, aku tetap akan berdoa agar kamu bahagia, Ti.. Meski ini hanya karena surat wasiat dari Nicho.." Ungkap Dea dalam bisikan saat memeluk Mutiara.
Selamat?
Apa pantas Mutiara menerima ucapan itu? Kuburan Nicho bahkan masih basah...
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka
Motaz memperlambat gerakannya tanpa sadar. Mematut diri di cermin berlama-lama di sana. Menyimpulkan dasi yang senada dengan warna jasnya. Kali itu ia mengenakan jas berwarna cokelat tua. Kakinya melangkah sedikit canggung keluar dari kamarnya. Melirik tangga yang nampak sepi. Memangnya sejak kapan tangga itu mampu mengeluarkan suara-suara sendiri dan ramai? Motaz meletakkan clutch-nya di atas meja makan, kemudian menyiapkan sarapan. Hanya dua helai roti dimasukkan dalam toaster, 30 detik kemudian toaster berdenting lalu rotinya menyembul keluar. Motaz meletakkan masing-masing di piring kecil. Satu untuknya dan satu lagi untuk Mutiara. Lantas menuangkan susu hangat ke dalam gelas. Satu gelas lagi juga untuk Mutiara. Sejujurnya, ia sempat berhenti sejenak termenung dengan apa yang ia lakukan. Kenapa dia menyiapkan sarapan untuk Mutiara? Lalu otaknya berputar cepat mencari alasan, dia harus menjaga Mutiara 'kan? Dia hanya melakukan kebaikan dari seorang manusia ke manusia lain. Ti
Beberapa jam yang lalu. Pukul 3 dini hari, rasanya mata itu baru saja terpejam saat dering ponsel menyentak memaksa Mutiara bangun. Suara Angga yang melengking langsung menyambut gendang telinganya ketika telepon itu telah tersambung. "Dok.. Pasien Nyonya Rahma terjatuh dari brankar, pendaharan di bekas operasinya kemarin. Cepat kemari, Dok." "Hubungi dokter anestesi dan siapkan ruang operasi. Aku sampai di rumah sakit lima belas... Enggak, sepuluh menit lagi." Pasien Mutiara yang di operasinya dua minggu yang lalu karena pendarahan otak akibat kecelakaan ala itu mengalami pendarahan otak kembali setelah terjatuh dari ranjangnya, bekas operasi yang belum sembuh sempurna itu robek dan terbuka lagi. Mutiara harus bergegas saat itu juga, memakai baju yang paling cepat dan hijab instan, tak lupa menyambar ponsel, kunci mobil dan tasnya. Jam 3 lebih sedikit itu deru mobilnya meninggalkan rumah Motaz. Terbiasa dengan ritme kehidupan tanpa siapapun membuat Mutiara lupa bahwa ia telah
Mutiara harus kembali memasuki ruang operasi untuk ketiga kalinya. Siapa yang sangka dia akan melakukan tiga kali operasi dalam kurun kurang dari 12 jam? Ia bahkan belum sempat menelan sebutir nasi pun, belum ada jenis makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Hanya seteguk air ketika ia bersiap untuk operasi kedua tadi. Hanya jeda setengah jam. Jangan tanyakan bagaimana lehernya sekarang. Mutiara sudah terbiasa dengan operasi dengan durasi lama. Durasi terlamanya ketika melakukan satu kali operasi adalah 12 jam. Saat itu ia menangani operasi pengangkatan tumor yang berada di sekitaran pangkal tulang belakang dan otak. Operasi yang sangat berisiko dan panjang. Tetapi rasanya tidak selelah sekarang. Tiga jenis operasi yang berbeda, pembedahan yang berbeda meski kalau diakumulasi durasi akan sama, tetapi energi yang ia keluarkan berbeda. Ditambah ia belum makan apapun sejak pukul 3 dini hari tadi. Operasi yang ketiga itu masih dalam kategori operasi ringan. Pasien beruntung kare
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan