Beranda / Pernikahan / Mutiara Untuk Abang / Bab 9 Mutiara dan Motaz

Share

Bab 9 Mutiara dan Motaz

Penulis: HIZA MJ
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-15 12:38:15

Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.

Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.

Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal.

Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu.

Mbah Uti.

Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini.

Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal.

Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 10 Mutiara dan Motaz (2)

    Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-15
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 11 Ruang Piket

    Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-19
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 12 Rindu dan Gamang

    Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-20
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 13 Lupakan Masa Lalu

    Motaz memperlambat gerakannya tanpa sadar. Mematut diri di cermin berlama-lama di sana. Menyimpulkan dasi yang senada dengan warna jasnya. Kali itu ia mengenakan jas berwarna cokelat tua. Kakinya melangkah sedikit canggung keluar dari kamarnya. Melirik tangga yang nampak sepi. Memangnya sejak kapan tangga itu mampu mengeluarkan suara-suara sendiri dan ramai? Motaz meletakkan clutch-nya di atas meja makan, kemudian menyiapkan sarapan. Hanya dua helai roti dimasukkan dalam toaster, 30 detik kemudian toaster berdenting lalu rotinya menyembul keluar. Motaz meletakkan masing-masing di piring kecil. Satu untuknya dan satu lagi untuk Mutiara. Lantas menuangkan susu hangat ke dalam gelas. Satu gelas lagi juga untuk Mutiara. Sejujurnya, ia sempat berhenti sejenak termenung dengan apa yang ia lakukan. Kenapa dia menyiapkan sarapan untuk Mutiara? Lalu otaknya berputar cepat mencari alasan, dia harus menjaga Mutiara 'kan? Dia hanya melakukan kebaikan dari seorang manusia ke manusia lain. Ti

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-20
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 14 Hari yang Melelahkan

    Beberapa jam yang lalu. Pukul 3 dini hari, rasanya mata itu baru saja terpejam saat dering ponsel menyentak memaksa Mutiara bangun. Suara Angga yang melengking langsung menyambut gendang telinganya ketika telepon itu telah tersambung. "Dok.. Pasien Nyonya Rahma terjatuh dari brankar, pendaharan di bekas operasinya kemarin. Cepat kemari, Dok." "Hubungi dokter anestesi dan siapkan ruang operasi. Aku sampai di rumah sakit lima belas... Enggak, sepuluh menit lagi." Pasien Mutiara yang di operasinya dua minggu yang lalu karena pendarahan otak akibat kecelakaan ala itu mengalami pendarahan otak kembali setelah terjatuh dari ranjangnya, bekas operasi yang belum sembuh sempurna itu robek dan terbuka lagi. Mutiara harus bergegas saat itu juga, memakai baju yang paling cepat dan hijab instan, tak lupa menyambar ponsel, kunci mobil dan tasnya. Jam 3 lebih sedikit itu deru mobilnya meninggalkan rumah Motaz. Terbiasa dengan ritme kehidupan tanpa siapapun membuat Mutiara lupa bahwa ia telah

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 15 Skorsing

    Mutiara harus kembali memasuki ruang operasi untuk ketiga kalinya. Siapa yang sangka dia akan melakukan tiga kali operasi dalam kurun kurang dari 12 jam? Ia bahkan belum sempat menelan sebutir nasi pun, belum ada jenis makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Hanya seteguk air ketika ia bersiap untuk operasi kedua tadi. Hanya jeda setengah jam. Jangan tanyakan bagaimana lehernya sekarang. Mutiara sudah terbiasa dengan operasi dengan durasi lama. Durasi terlamanya ketika melakukan satu kali operasi adalah 12 jam. Saat itu ia menangani operasi pengangkatan tumor yang berada di sekitaran pangkal tulang belakang dan otak. Operasi yang sangat berisiko dan panjang. Tetapi rasanya tidak selelah sekarang. Tiga jenis operasi yang berbeda, pembedahan yang berbeda meski kalau diakumulasi durasi akan sama, tetapi energi yang ia keluarkan berbeda. Ditambah ia belum makan apapun sejak pukul 3 dini hari tadi. Operasi yang ketiga itu masih dalam kategori operasi ringan. Pasien beruntung kare

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-22
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 16 Pingsan atau Tidur?

    "Nicho..""Ara.. Ikutlah denganku.""Kamu terlihat bahagia, apa kamu bahagia udah ninggalin aku? Aku kangen kamu...""Ikut aku, Ra.""Kemana? Ini dimana? Nicho..."Tangan Nicho berusaha menggaet tangan Mutiara, tetapi jarak yang cukup jauh itu membuat tangannya hanya mengambang hampa di udara."Ara, aku mencintaimu. Ikutlah aku..""Tapi.. Aku nggak bisa ninggalin pasienku. Aku baru selesai operasi, Nich. Aku harus menanggung hukuman karena kelalaianku. Aku ingin istirahat tapi aku nggak bisa ikut kamu.. Nicho.. Aku kangen..""Aku kangen, Nich.." Gumam Mutiara parau. Air matanya meleleh melewati hidung dan berpadu dengan air mata lainnya di sudut kanan.Mutiara membuka matanya.Sudah berapa lama Mutiara tertidur?Ia terbangun karena perutnya yang semakin terasa melilit. Sudah berapa lama ia tak makan?Tangan Mutiara terulur lemah menarik ponsel di dalam tas nya. Menekan tombol power berkali-kali tetapi tetap tak menyala.Baterainya kehabisan daya. Memasukkan kembali ponsel itu ke dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-22
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 17 Si Anak Manja

    Seminggu skrosing ternyata sama sekali tak berat bagi Mutiara. Selain bisa beristirahat selama empat hari dengan tidur tanpa sadar itu, tiga hari yang tersisa itu digunakan Mutiara seperti hari-hari biasanya. Belajar. Meki tidak sadar, tidur selama empat hari itu membantu tubuh Mutiara pulih lebih cepat. Tubuhnya ringan tidak seperti beberapa minggu ke belakang. Meski begitu, hatinya belum benar-benar pulih dari kenangan seorang Nicho. Suara yang memanggilnya terus terngiang dan membayang. Sesekali Mutiara mendesah berat ketika suara itu terasa mengganggu. Ya. Suara itu sekarang terasa menganggu bahkan. Mengganggu kerinduannya yang seharusnya sudah terpendam kini muncul ke permukaan lagi. Rindu pada panggilan Nicho yang khas itu. Suaranya, cara memanggilnya, tatapan matanya. Semuanya terasa istimewa dulu.Juga Mutiara mengalihkannya dengan membuka kembali jurnal jurnal kedokteran bedah saraf dan menonton video-video operasi pembedahan.Walau terdengar agak lancang tetapi Mutiara te

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-23

Bab terbaru

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 85 Tangisan Dua Wanita

    "Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 84 Menghilangnya Senja

    Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 83 Rujukan

    "Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 82 Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 81 Dimana dia?

    "Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 80 Pindah Ke Jerman?

    "Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 79 Kondisi Mutiara

    Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 78 Aini dan Ayu

    Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 77 Utusan

    Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara

DMCA.com Protection Status