Jadwal update Menikahi Calon Adik Ipar setiap harinya adalah pukul 10.00 dan 22.00 Diusahakan dua bab setiap harinya. Mohon dukungannya ya, supaya saya semangat nulisnya. Cerita ini ringan dan menyenangkan, tetapi pasti ada nangis-nangisnya juga.
Seminggu skrosing ternyata sama sekali tak berat bagi Mutiara. Selain bisa beristirahat selama empat hari dengan tidur tanpa sadar itu, tiga hari yang tersisa itu digunakan Mutiara seperti hari-hari biasanya. Belajar. Meki tidak sadar, tidur selama empat hari itu membantu tubuh Mutiara pulih lebih cepat. Tubuhnya ringan tidak seperti beberapa minggu ke belakang. Meski begitu, hatinya belum benar-benar pulih dari kenangan seorang Nicho. Suara yang memanggilnya terus terngiang dan membayang. Sesekali Mutiara mendesah berat ketika suara itu terasa mengganggu. Ya. Suara itu sekarang terasa menganggu bahkan. Mengganggu kerinduannya yang seharusnya sudah terpendam kini muncul ke permukaan lagi. Rindu pada panggilan Nicho yang khas itu. Suaranya, cara memanggilnya, tatapan matanya. Semuanya terasa istimewa dulu.Juga Mutiara mengalihkannya dengan membuka kembali jurnal jurnal kedokteran bedah saraf dan menonton video-video operasi pembedahan.Walau terdengar agak lancang tetapi Mutiara te
Tiga hari kemarin Motaz benar-benar tak berani mengganggu Mutiara meski rasa khawatirnya membumbung tinggi menyelimuti. Rasa khawatir itu kemudian ia lampiaskan dengan secara rutin mengunjungi departemen bedah saraf dimana Mutiara bekerja. Hanya lewat. Tetapi walau hanya lewat, ternyata hal itu cukup mengusik penduduk departemen itu. Seperti yang disampaikan Lisa terakhir kali. Wajah datar tanpa senyum itu masalahnya. Kalau saja Motaz murah senyum pasti tak akan jadi masalah. Tapi entah sejak kapan terakhir kali Motaz terlihat tersenyum, semuanya dibuat tak nyaman karenanya. Mutiara sakit terakhir kali ia ke sana dan pertama kali mengetahui rumah Mutiara. Wajahnya pucat dan Mutiara tertidur selama empat hari. Seraut kekhawatiran yang tumbuh itu sudah mampu mengganggu pikirannya. Bagaimana keadaannya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Apa dia sudah sembuh? Apa yang dilakukan Mutiara selama skorsingnya? Apa yang dilakukan Mutiara? Kenapa pula Motaz ingin tahu? Motaz mungkin hanya
"Muti hentikan!!" Seru Motaz. Berderap melangkah lebar-lebar lalu menarik mundur Mutiara yang kini terbenong dalam cengkeramannya. Mutiara tergamam, suara ini pernah didengarnya. Suara ini sungguh tak asing di telinganya. Suara ini... panggilan ini.. Rasa sakit dan damai yang terasa dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba menelusup membangkitkan memori yang terkubur dalam otak Mutiara. Memori pahit yang mendalam yang ingin benar-benar dilupakan. Hanya karena suara itu... Mutiara mematung, tetapi ia masih sadar hanya untuk melepas tangan Motaz yang mencengkeram lengannya. Menjauh beberapa langkah dan menghujamkan tatapan pada mata abu-abu terang itu. Saat sadar sepenuhnya, Mutiara mengerling pada Motaz, melirik tajam pada Mia, lantas meraup setumpuk map berisi rekam medis pasien-pasiennya lantas berlalu dari kerumunan itu menuju bangsal pasien. 'Muti...' Suara itu masih terngiang-ngiang di kepala Mutiara. Padahal semua rekan-rekannya memanggilnya begitu. Tetapi terasa berbeda saat
Dentang piring yang beradu dengan sendok menjadi latar suara yang mendominasi di kantin siang itu. Juga paduan suara dari beberapa meja membicarakan cerita masing-masing. Hampir seluruh kantin itu penuh.Semua terlihat seru dengan ceritanya sendiri-sendiri. Begitu juga di meja Dea dan Mutiara.Dua orang yang menghadapi piring yang kini separuhnya telah kosong itu masih asyik bercerita. Sesekali wajah Dea cemberut berganti kesal, lalu terlihat mengomel. Berbeda dengan Mutiara yang sepertinya khusyuk mendengarkan sambil mengunyah makanannya.Makanan yang keseluruhannya disiram sambal itu terlihat begitu menggoda lidah. Entah bagaimana kondisi perutnya nanti, apa sama menggodanya atau malah menunggu lilitan siksa sambal."Bagaimana kabar keponakanku yang ngegemesin itu?" Tanya Mutiara setelah menyelesaikan makan siangnya."Ngegemesin dari mana. Pusing aku di rumah, Mut.. Dia mirip siapa, dah. Banyak kali pertanyaannya." Keluh Dea.Usia putri Dea menginjak lima tahun. Masih dalam kategori
Mutiara seharusnya tidak perlu merasa sekecewa itu hanya karena tawarannya untuk memasak ditolak. Bukankah seharusnya ia merasa senang karena terbebas dari sebuah rutinitas yang mungkin akan menyiksanya itu. Berpura-pura menjadi istri yang berbakti disaat kondisi pernikahan itu begitu mengguncang batinnya adalah sebuah perbuatan yang menyiksa. Mutiara melangkah cepat-cepat menuju kamarnya yang di lantai dua rumah Motaz itu. Melangkah sampai tak memperhatikan bahwa tasnya yang terselempang dibahu berayun menyenggol botol parfum yang ada di atas meja. PRANGGGG!!! "Aaa.." Mutiara berteriak kencang. Mutiara menatap kosong botol parfum yang pecah dan isinya meluber kemana-mana itu. Tubuhnya bergerak reflek, berjongkok lantas memunguti pecahan kaca itu dengan tangan kosong. Bolehkah sekali ini saja ia mengulangi apa yang ia lakukan dulu? Melarikan diri. Bolehkah ia mengulanginya lagi? Mutiara rasa hidup dengan kepura-puraan ini begitu menyiksanya. Ia mungkin tak akan sanggup menjala
Senyapnya malam itu ternyata mampu menusuk relung hati Mutiara semakin dalam. Selepas menutup semua jendela dan tirai rapat-rapat, Mutiara bergelung di atas ranjang, meringkuk memeluk lututnya. Dingin sekali. Bukan udaranya, tetapi di dalam dirinya terasa sangat dingin. Setelah percakapan malam itu, Mutiara justru semakin menanamkan di dalam dirinya bahwa ia sedang dan masih dalam membalas budi. Motaz mepertegasnya walau tak langsung. Utangnya semakin bertumbuh subur kini karena tinggal seatap dengan Motaz. Juga keinginan untuk tak hidup gratis membuat Mutiara bertekad melakukan apa saja di rumah itu, sebelum... Sebuah pemikiran untuk pergi dari rumah itu melintas di pikiran Mutiara.Mutiara membersihkan rumah, memasak menyiapkan sarapan atau makan malam meski tak pernah makan bersama. Mutiara selalu membawa makanannya ke kamar. Menikmati sambil menatap keluar jendela. Mutiara melakukan semua itu untuk dirinya sendiri. Agar ia tak terlalu terbebani dengan hidup di bawah atap mili
'Rasanya sama. Perasaan sakit saat melihat ia terbaring seperti ini sama dengan saat melihat Muti terbaring di rumah sakit karena kelakuan bedebah itu. Melihatmu selalu mengingatkanku pada Muti. Melihatnya terbaring seperti ini seperti diriku yang dulu saat melihat Muti terluka.'Motaz menatap lama tangan Mutiara yang ditusuk jarum infus. Menjaga orang yang sedang sakit seharusnya bukan sesuatu yang sulit. Motaz sudah lebih dari berpengalaman bertahun-tahun mendampingi adiknya.Namun, pengalaman ternyata bisa lenyap begitu saja saat ia menghadapi Mutiara. Kepalanya terasa kosong tiba-tiba dan ia tak bisa memikirkan apapun. Kepanikan dan kekhawatiran sibuk meliputi sampai ia tak bisa berpikir jernih."Sudah hampir pagi," Motaz melirik jam tangannya, sudah hampir jam lima.Matanya tak mampu terpejam meski tubuhnya menggerutu meminta hak istirahat sejak semalam."Aku pergi ke mushola sebentar.." Pamitnya pada Mutiara yang masih terpejam.Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, Motaz kemba
Tubuh Mutiara terasa ringan setelah tidur beberapa jam. Pagi itu setelah membersihkan diri dan membuka semua tirai dan jendela, Mutiara merebehkan badannya di atas ranjang. Mengisi daya ponselnya dan menunggu lalu tak terasa matanya memejam dengan sendirinya. Selama ini, tidurnya hampir tak pernah nyenyak karena selalu dibayang-bayangi wajah mendiang Nicho. Pun saat mampu terlelap, Nicho selalu datang di dalam mimpinya. Rindu yang mendalam itu nyatanya justru membuatnya tak nyaman. Mutiara berusaha terus menegakkan kepala di depan semua orang, tapi selalu tak mudah baginya ketika sendirian. Dan tidur pagi itu, ia seolah membayar semua lelah, letih dan mengurai semua sesak di dada. "Jam 10.." Gumam Mutiara. Ketika ia teringat ia berada di mana dan mengingat Motaz yang telah menjaganya semalaman, Mutiara tersentak bangun. Tiba-tiba ingin tahu apa kegiatan laki-laki itu.Walaupun sebenarnya ia tahu mustahil bisa bertemu Motaz. Laki-laki itu pasti sudah berangkat kerja sejak ta
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan