Share

Bab 20 Pecahan Kaca

Penulis: HIZA MJ
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-26 11:25:08

Dentang piring yang beradu dengan sendok menjadi latar suara yang mendominasi di kantin siang itu. Juga paduan suara dari beberapa meja membicarakan cerita masing-masing. Hampir seluruh kantin itu penuh.

Semua terlihat seru dengan ceritanya sendiri-sendiri. Begitu juga di meja Dea dan Mutiara.

Dua orang yang menghadapi piring yang kini separuhnya telah kosong itu masih asyik bercerita. Sesekali wajah Dea cemberut berganti kesal, lalu terlihat mengomel. Berbeda dengan Mutiara yang sepertinya khusyuk mendengarkan sambil mengunyah makanannya.

Makanan yang keseluruhannya disiram sambal itu terlihat begitu menggoda lidah. Entah bagaimana kondisi perutnya nanti, apa sama menggodanya atau malah menunggu lilitan siksa sambal.

"Bagaimana kabar keponakanku yang ngegemesin itu?" Tanya Mutiara setelah menyelesaikan makan siangnya.

"Ngegemesin dari mana. Pusing aku di rumah, Mut.. Dia mirip siapa, dah. Banyak kali pertanyaannya." Keluh Dea.

Usia putri Dea menginjak lima tahun. Masih dalam kategori
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 21 Mencoba Memahami

    Mutiara seharusnya tidak perlu merasa sekecewa itu hanya karena tawarannya untuk memasak ditolak. Bukankah seharusnya ia merasa senang karena terbebas dari sebuah rutinitas yang mungkin akan menyiksanya itu. Berpura-pura menjadi istri yang berbakti disaat kondisi pernikahan itu begitu mengguncang batinnya adalah sebuah perbuatan yang menyiksa. Mutiara melangkah cepat-cepat menuju kamarnya yang di lantai dua rumah Motaz itu. Melangkah sampai tak memperhatikan bahwa tasnya yang terselempang dibahu berayun menyenggol botol parfum yang ada di atas meja. PRANGGGG!!! "Aaa.." Mutiara berteriak kencang. Mutiara menatap kosong botol parfum yang pecah dan isinya meluber kemana-mana itu. Tubuhnya bergerak reflek, berjongkok lantas memunguti pecahan kaca itu dengan tangan kosong. Bolehkah sekali ini saja ia mengulangi apa yang ia lakukan dulu? Melarikan diri. Bolehkah ia mengulanginya lagi? Mutiara rasa hidup dengan kepura-puraan ini begitu menyiksanya. Ia mungkin tak akan sanggup menjala

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-26
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 22 Cemas

    Senyapnya malam itu ternyata mampu menusuk relung hati Mutiara semakin dalam. Selepas menutup semua jendela dan tirai rapat-rapat, Mutiara bergelung di atas ranjang, meringkuk memeluk lututnya. Dingin sekali. Bukan udaranya, tetapi di dalam dirinya terasa sangat dingin. Setelah percakapan malam itu, Mutiara justru semakin menanamkan di dalam dirinya bahwa ia sedang dan masih dalam membalas budi. Motaz mepertegasnya walau tak langsung. Utangnya semakin bertumbuh subur kini karena tinggal seatap dengan Motaz. Juga keinginan untuk tak hidup gratis membuat Mutiara bertekad melakukan apa saja di rumah itu, sebelum... Sebuah pemikiran untuk pergi dari rumah itu melintas di pikiran Mutiara.Mutiara membersihkan rumah, memasak menyiapkan sarapan atau makan malam meski tak pernah makan bersama. Mutiara selalu membawa makanannya ke kamar. Menikmati sambil menatap keluar jendela. Mutiara melakukan semua itu untuk dirinya sendiri. Agar ia tak terlalu terbebani dengan hidup di bawah atap mili

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-27
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 23 Bubur Ayam

    'Rasanya sama. Perasaan sakit saat melihat ia terbaring seperti ini sama dengan saat melihat Muti terbaring di rumah sakit karena kelakuan bedebah itu. Melihatmu selalu mengingatkanku pada Muti. Melihatnya terbaring seperti ini seperti diriku yang dulu saat melihat Muti terluka.'Motaz menatap lama tangan Mutiara yang ditusuk jarum infus. Menjaga orang yang sedang sakit seharusnya bukan sesuatu yang sulit. Motaz sudah lebih dari berpengalaman bertahun-tahun mendampingi adiknya.Namun, pengalaman ternyata bisa lenyap begitu saja saat ia menghadapi Mutiara. Kepalanya terasa kosong tiba-tiba dan ia tak bisa memikirkan apapun. Kepanikan dan kekhawatiran sibuk meliputi sampai ia tak bisa berpikir jernih."Sudah hampir pagi," Motaz melirik jam tangannya, sudah hampir jam lima.Matanya tak mampu terpejam meski tubuhnya menggerutu meminta hak istirahat sejak semalam."Aku pergi ke mushola sebentar.." Pamitnya pada Mutiara yang masih terpejam.Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, Motaz kemba

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-28
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 24 Mungkin Berbeda

    Tubuh Mutiara terasa ringan setelah tidur beberapa jam. Pagi itu setelah membersihkan diri dan membuka semua tirai dan jendela, Mutiara merebehkan badannya di atas ranjang. Mengisi daya ponselnya dan menunggu lalu tak terasa matanya memejam dengan sendirinya. Selama ini, tidurnya hampir tak pernah nyenyak karena selalu dibayang-bayangi wajah mendiang Nicho. Pun saat mampu terlelap, Nicho selalu datang di dalam mimpinya. Rindu yang mendalam itu nyatanya justru membuatnya tak nyaman. Mutiara berusaha terus menegakkan kepala di depan semua orang, tapi selalu tak mudah baginya ketika sendirian. Dan tidur pagi itu, ia seolah membayar semua lelah, letih dan mengurai semua sesak di dada. "Jam 10.." Gumam Mutiara. Ketika ia teringat ia berada di mana dan mengingat Motaz yang telah menjaganya semalaman, Mutiara tersentak bangun. Tiba-tiba ingin tahu apa kegiatan laki-laki itu.Walaupun sebenarnya ia tahu mustahil bisa bertemu Motaz. Laki-laki itu pasti sudah berangkat kerja sejak ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-29
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 25 Awal Baik

    Motaz memasuki garasi rumahnya saat jam di tangannya menunjukkan pukul 18.30. Sedangkan reservasi yang ia buat hanya sisa setengah jam lagi. Salahnya memang, pulang terlalu mepet waktu disaat jalanan sedang parah-parahnya kemacetan. Membuka dan menutup pintu mobil dengan kilat dan melangkah lebar-lebar masuk ke dalam rumah. "Mutiara.." Serunya tanpa canggung. Terdengar seperti hubungan mereka sudah sangat akrab. Motaz melirik jam tangannya sembari menunggu di ujung tangga. Mutiara muncul di ujung tangga lainnya dengan pakaian yang lain dari biasanya. Selalunya Mutiara menggunakan celana panjang bahan dipadu padankan dengan blouse atau tunik dan hijab warna senada. Namun kali ini, meski tetap kasual Mutiara mengenakan outer tunik panjang bermotif serta rok plisket panjang warna cokelat muda dengan dalaman kaos polos berwarna putih. Hijab pashmina warna senada menambah aura kecerdasan dan keanggunan Mutiara menguar kemana-mana. Motaz hampir saja menganga membuka mulutnya seandainy

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-29
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 26 Membuat Semua Tak Nyaman

    Semburat fajar mulai muncul memayungi seluruh ufuk timur. Mutiara menggeliat bangun dari tidur nyenyaknya, bersiap melaksanakan sembahyang dua rakaat.Rutinitas di kamar mandinya tidak terlalu lama, 10 tahun tinggal di Jerman mengubah kebiasaan mandi Mutiara. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya yang 'harus' mandi dua kali sehari. Mutiara telah terbiasa mandi hanya sekali dan itu saat menjelang waktu tidurnya.Mutiara bahkan sering melewatkan agenda mandinya saat di Jerman saat musim dingin tiba. Meski fasilitas air panas lancar, tetapi karena merasa badan tak mengeluarkan keringat maka kewajiban mandi itu lama kelamaan hilang.Dua rakaat telah ditunaikan. Tak lupa memanjatkan doa yang panjang, untuk dirinya sendiri, untuk Mbah Uti, untuk Nicho juga meminta petunjuk tentang pernikahannya yang telah berjalan lewat empat bulan ini.Mutiara masih belum mendapatkan hikmah dari pernikahan itu. Masih tak tau tujuan apa yang ingin sama-sama dicapai bersama Motaz melalui pernikaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-01
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 27 Kasak-kusuk

    Ternyata prakiraan memang selalu hanya prakiraan, tidak selalunya benar. Karena setiap kejadian pasti sudah diaturkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan tidak berkehendak turun hujan, mustahil akan turun hujan meski prakiraan cuaca mengatakan demikian. Termasuk siang itu yang tidak jadi turun hujan. Panas malah. Sepanas hati Mutiara. Entahlah, perasaan apa yang sedang dirasakannya itu. Melihat Motaz bersama Rara membuatnya badmood seketika. Mendengar gosip tentang Rara dan Motaz membuat dirinya kesal seharian itu. "Nih.. Pasien kamu!" Sentak Mia begitu melihat Mutiara di stasiun perawat. "Makasih." Jawab Mutiara singkat. Malas sekali mencari ribut dengan si mak lampir-nya departemen bedah saraf itu. Mutiara baru saja selesai praktek hari itu. Mengecek beberapa rekam medis pasien yang tergolong darurat sebentar di stasiun perawat dan akan menunggu jam pulangnya di ruang residen. "Makaksih doang!" Dengus Mia. "Enak banget kamu ini, habis liburan seminggu langsung sakit sok-sokan sakit. Kala

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-01
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 28 Rara Bertingkah

    "Ayah tidak bisa kesana, bantu ayah mengawasi perkembangan pembangunan itu. Tidak perlu datang kesana langsung. Kamu hanya perlu monitoring melalui asisten ayah yang ada di sana. Pak Juna sedang giat-giatnya bekerja. Kamu tahu 'kan maksud ayah?" Kata Pak Anggara suatu hari. Mereka bertukar kata lewat telepon seperti biasanya. Karena Motaz memang jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. "Motaz ngerti. Ayah istirahat saja." Bagi Motaz melakukan suatu hal ataupun berkorban untuk orang yang disayanginya adalah hal biasa baginya dan memang selalu begitu. Bisa dibilang itu memang hidupnya. Dengan bahasa kasarnya, kehidupan pribadinya hilang meski belum sepenuhnya bersama orang masa lalunya. Separuh gairah hidupnya hilang, kesempatan yang selama ini dinanti dan harapan itu masih terajut walau semakin terasa hampa. Namun, Motaz merasakan suatu hal berbeda kini. Perasaan tidak rela karena orang yang disayangi disakiti bagi orang lain mungkin wajar. Tetapi Motaz merasakan itu pada

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-02

Bab terbaru

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 90 End

    Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 89 Perlindungan Diri

    Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 88 Masih Tentang Kebenaran

    "Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 87 Tentang Kebenaran

    "Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 86 Cinta Pertama

    Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 85 Tangisan Dua Wanita

    "Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 84 Menghilangnya Senja

    Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 83 Rujukan

    "Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 82 Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status