Semburat fajar mulai muncul memayungi seluruh ufuk timur. Mutiara menggeliat bangun dari tidur nyenyaknya, bersiap melaksanakan sembahyang dua rakaat.Rutinitas di kamar mandinya tidak terlalu lama, 10 tahun tinggal di Jerman mengubah kebiasaan mandi Mutiara. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya yang 'harus' mandi dua kali sehari. Mutiara telah terbiasa mandi hanya sekali dan itu saat menjelang waktu tidurnya.Mutiara bahkan sering melewatkan agenda mandinya saat di Jerman saat musim dingin tiba. Meski fasilitas air panas lancar, tetapi karena merasa badan tak mengeluarkan keringat maka kewajiban mandi itu lama kelamaan hilang.Dua rakaat telah ditunaikan. Tak lupa memanjatkan doa yang panjang, untuk dirinya sendiri, untuk Mbah Uti, untuk Nicho juga meminta petunjuk tentang pernikahannya yang telah berjalan lewat empat bulan ini.Mutiara masih belum mendapatkan hikmah dari pernikahan itu. Masih tak tau tujuan apa yang ingin sama-sama dicapai bersama Motaz melalui pernikaha
Ternyata prakiraan memang selalu hanya prakiraan, tidak selalunya benar. Karena setiap kejadian pasti sudah diaturkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan tidak berkehendak turun hujan, mustahil akan turun hujan meski prakiraan cuaca mengatakan demikian. Termasuk siang itu yang tidak jadi turun hujan. Panas malah. Sepanas hati Mutiara. Entahlah, perasaan apa yang sedang dirasakannya itu. Melihat Motaz bersama Rara membuatnya badmood seketika. Mendengar gosip tentang Rara dan Motaz membuat dirinya kesal seharian itu. "Nih.. Pasien kamu!" Sentak Mia begitu melihat Mutiara di stasiun perawat. "Makasih." Jawab Mutiara singkat. Malas sekali mencari ribut dengan si mak lampir-nya departemen bedah saraf itu. Mutiara baru saja selesai praktek hari itu. Mengecek beberapa rekam medis pasien yang tergolong darurat sebentar di stasiun perawat dan akan menunggu jam pulangnya di ruang residen. "Makaksih doang!" Dengus Mia. "Enak banget kamu ini, habis liburan seminggu langsung sakit sok-sokan sakit. Kala
"Ayah tidak bisa kesana, bantu ayah mengawasi perkembangan pembangunan itu. Tidak perlu datang kesana langsung. Kamu hanya perlu monitoring melalui asisten ayah yang ada di sana. Pak Juna sedang giat-giatnya bekerja. Kamu tahu 'kan maksud ayah?" Kata Pak Anggara suatu hari. Mereka bertukar kata lewat telepon seperti biasanya. Karena Motaz memang jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. "Motaz ngerti. Ayah istirahat saja." Bagi Motaz melakukan suatu hal ataupun berkorban untuk orang yang disayanginya adalah hal biasa baginya dan memang selalu begitu. Bisa dibilang itu memang hidupnya. Dengan bahasa kasarnya, kehidupan pribadinya hilang meski belum sepenuhnya bersama orang masa lalunya. Separuh gairah hidupnya hilang, kesempatan yang selama ini dinanti dan harapan itu masih terajut walau semakin terasa hampa. Namun, Motaz merasakan suatu hal berbeda kini. Perasaan tidak rela karena orang yang disayangi disakiti bagi orang lain mungkin wajar. Tetapi Motaz merasakan itu pada
Motaz memang sangat sibuk, tapi bukan karena bercengkerama dengan Rara seperti yang disangkakan Mutiara. Dirinya bahkan tidak tahu dan belum mendengar gosip yang akhir-akhir ini membicarakannya. Pembangunan rumah sakit di Bali sungguh menyita perhatian dan waktunya.Motaz bekerja lebih larut dari biasanya. Menindaklanjuti pengawasan kinerja pada Dokter Mia, Dokter Juna dan istrinya membuat Motaz sering menghabiskan waktu di kantornya bersama Pras.Dari review ke review, riwayat pekerjaan, sekolah dan masih banyak lagi, semua Pras cari."Dokter Mia memang selalu terlibat masalah, tapi kamu tau sendiri pengaruh orang tuanya yang kuat sekali. Makanya dia selalu bisa lolos.""Apa hubungan keluarga mereka baik?" Tanya Motaz memangku dagunya.Pras mengendikkan bahunya."Jika dilihat dari kasus-kasus ini sebelumnya, sepertinya Pak Juna dan istrinya hanya tidak ingin karirnya terganggu karena masalah-masalah yang Mia timbulkan. Makanya mereka selalu menggelontorkan banyak uang untuk menutupi
Malam itu meski ia tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan Mutiara, tetapi ia mengerti satu hal. Tatapan mata Mutiara malam ini sama dengan tatapan matanya beberapa hari lalu ketika mereka berpapasan. Motaz terpancing, tetapi ia tersadar bahwa Mutiara sedang akan mengeluarkan seluruh amarah yang terpendam. Tak apa. Wanita ini sudah banyak memendam perasaannya sejak Nicho meninggal. "Mutiara!!" Bentak Motaz karena Mutiara semakin asal."Kamu bebas melakukan apapun! Kamu laki-laki jadi lakukan semaumu, tapi jangan saat bersamaku. Lepaskan pernikahan ini dulu." Nada Mutiara tak kalah tinggi dan tegas. Lantas berdiri menyentak ingin meninggalkan meja itu.Motaz menghela napas kasar. Menarik tangan Mutiara dengan keras agar wanita itu berhenti melangkah dan menatapnya. "Ada apa denganmu? Apa maksudmu aku bebas melakukan apapun? Apa maksudnya melakukan 'itu' di atas pernikahan kita. Kamu membicarakan apa sebenarnya?" Motaz menurunkan nada bicara
Selama hidupnya, tak pernah ia merasakan hari sebaik hari ini dan sesemangat ini. Rara mengulas senyum ramah begitu keluar dari mobilnya. Menyapa riang setiap staff dan karyawan di rumah sakit itu dan mendapatkan balasan yang serupa. Mendengar bahwa hampir semua kolega di rumah sakit itu mendukungnya bersatu lagi dengan Motaz menjadi riak kesenangan di hati Rara. Bangga, tentu saja. Nasib baik akan berpihak padanya bahwa ia akan bersanding sebentar lagi dengan Motaz. Motas pasti tak akan menolaknya kalau ia gencar mendekati dan merengek. Motaz termasuk yang paling mudah karena sifatnya itu. Memasuki departemennya dan melewati front office, telepon ekstensi di tepmpat itu berdering nyaring. Staff yang bertugas segera mengangkat panggilan itu. Rara mengangguk menyapa, tetapi langkahnya justru dihentikan oleh staff itu. "Dokter Rara dicari Pak Motaz. Diminta segera ke ruangannya." "Ada apa?" Tanyanya tetapi wajahnya menampakkan senyum jumawa. Merasa berhasil menarik perhatian Motaz
"Terima kasih bubur ayamnya. Enak." Pesan singkat itu membuat hati Mutiara mengembang seketika. Walaupun terkesan datar dan tanpa embel-embel emoticon apapun, pesan itu mampu menelusup relung hati Mutiara yang selama ini gelap dan dingin rasanya. Mustahil kalau ia tidak terbawa perasaan, sekuat apapun, semandiri apapun selama ini ia bertahan ternyata perhatian dari Motaz serta pesa-pesan singkat itu menelusup memberi getaran berbeda pada dirinya. Menjaganya semalaman, membuatkannya sup iga sampai makan malam yang biasa tetapi membuatnya bersantai malam itu, semua mengayun di dada Mutiara dengan merdu dan alami. Membuatnya nyaman dan santai. Mutiara menarik tipis bibirnya ke samping kanan dan kiri. Ia bahkan belum keluar dari ruang operasi saat membaca pesan itu, masih di ambang pintu yang terbuka tertutup oleh staff lain yang lewat. "Ada masalah, Dok?" Mutiara terperanjat oleh Lisa di belakang punggungnya, senyumnya menghilang berganti keterkejutan. Refleknya yang langsung men
"Sudah berapa lama dokter Mia absen?" Mutiara memangkukan tangannya di meja menatap lurus pada Faiz yang sekarang sedang berdiri dengan tangan saling bertaut di depan dan menunduk. "Lima hari, Dok.." Jawabnya jujur. "Lima?!!" Mutiara memekik. Faiz tersentak karena pekikan itu, tetapi ia sadar bahwa ia tidak memiliki hak untuk terkejut karena sentakan Mutiara itu. Ia sadar bahwa ia salah. Faiz mengangguk takut dan menyesal. "Dia pergi lima hari dan kamu tidak melapor pada siapapun?" Mutiara sampai harus menelengkan kepalanya agar melihat raut Faiz. Faiz bergeming kaku. Mutiara memang terkenal dokter yang baik dan tegas. Tetapi Faiz sama sekali belum pernah melihat Mutiara marah. Ternyata, lebih mengerikan daripada mendengar omelan Mia. "Kamu tau apa kesalahan kamu?" Lagi-lagi Faiz mengangguk. "Kamu merasa bisa menangani pasien-pasien itu sendirian? Kamu tau justru kamu yang akan bertanggung jawab penuh kalau sampai pasien tadi tidak selamat?" Mutiara mengetatkan rahangnya. Ia
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan