"Terima kasih bubur ayamnya. Enak." Pesan singkat itu membuat hati Mutiara mengembang seketika. Walaupun terkesan datar dan tanpa embel-embel emoticon apapun, pesan itu mampu menelusup relung hati Mutiara yang selama ini gelap dan dingin rasanya. Mustahil kalau ia tidak terbawa perasaan, sekuat apapun, semandiri apapun selama ini ia bertahan ternyata perhatian dari Motaz serta pesa-pesan singkat itu menelusup memberi getaran berbeda pada dirinya. Menjaganya semalaman, membuatkannya sup iga sampai makan malam yang biasa tetapi membuatnya bersantai malam itu, semua mengayun di dada Mutiara dengan merdu dan alami. Membuatnya nyaman dan santai. Mutiara menarik tipis bibirnya ke samping kanan dan kiri. Ia bahkan belum keluar dari ruang operasi saat membaca pesan itu, masih di ambang pintu yang terbuka tertutup oleh staff lain yang lewat. "Ada masalah, Dok?" Mutiara terperanjat oleh Lisa di belakang punggungnya, senyumnya menghilang berganti keterkejutan. Refleknya yang langsung men
"Sudah berapa lama dokter Mia absen?" Mutiara memangkukan tangannya di meja menatap lurus pada Faiz yang sekarang sedang berdiri dengan tangan saling bertaut di depan dan menunduk. "Lima hari, Dok.." Jawabnya jujur. "Lima?!!" Mutiara memekik. Faiz tersentak karena pekikan itu, tetapi ia sadar bahwa ia tidak memiliki hak untuk terkejut karena sentakan Mutiara itu. Ia sadar bahwa ia salah. Faiz mengangguk takut dan menyesal. "Dia pergi lima hari dan kamu tidak melapor pada siapapun?" Mutiara sampai harus menelengkan kepalanya agar melihat raut Faiz. Faiz bergeming kaku. Mutiara memang terkenal dokter yang baik dan tegas. Tetapi Faiz sama sekali belum pernah melihat Mutiara marah. Ternyata, lebih mengerikan daripada mendengar omelan Mia. "Kamu tau apa kesalahan kamu?" Lagi-lagi Faiz mengangguk. "Kamu merasa bisa menangani pasien-pasien itu sendirian? Kamu tau justru kamu yang akan bertanggung jawab penuh kalau sampai pasien tadi tidak selamat?" Mutiara mengetatkan rahangnya. Ia
Sore itu Motaz pulang dengan membawa sebuah keputusan di tangannya. Setelah berbincang dengan Prof. Ardi, meminta saran dan lain sebagainya, juga berbincang dengan Pras soal orang tua Mia.Motaz memutuskan untuk mengeluarkan Mia sebagai pancingan untuk melihat respon kedua orang tua Mia. Motaz tak sabar memberitahukan itu pada Mutiara.Mobilnya tiba di garasi rumahnya saat langit sudah mulai menggelap. Lampu-lampu rumah tentu saja belum menyala. Kondisi rumah masih gelap. Mutiara pasti belum pulang.Motaz mengeluarkan ponselnya di depan pintu. Mengecek adakah balasan dari Mutiara, ternyata ia harus menelan kekosongan.Mutiara hanya membaca pesannya. Mungkinkah gara-gara Faiz tadi, pekerjaannya jadi berlipat ganda.'Kamu pulang terlambat malam ini?'Beberapa kata itu berhasil dikirimkan setelah Motaz melalui banyak kata yang akhirnya terhapus olehnya sendiri. Norak atau tidak, memalukan atau tidak, dan lain sebagainya.Dengan banyak pertimbangan dan waktu berlalu di depan pintu depan
Hujan turun mengguyur sekitar rumah Motaz dengan derasnya. Dentang hujan besar-besar yang menimpa kaca jendela menimbulkan bunyi berisik yang tidak hanya mengganggu pendengaran. Tetapi juga menambah kacau pikiran Mutiara sekarang. Ia masih tak paham kenapa Motaz menanyakan hal itu. Bukankah mereka sudah pasangan suami istri? Alasan lainnya, kata-kata itu persis seperti yang dipakai Nicho untuk melamarnya. Sebenarnya bukan hal yang spesial karena kata-kata itu umum dipakai, tetapi.. Tetapi.. Mutiara hanya benci karena apa yang ada di Nicho semuanya ada di Motaz. Ia benci karena kesamaan itu. Mutiara bergerak membersihkan sisa makan malam itu dalam diam. Meneruskan pekerjaan membuat 'food preparation'nya dengan hati dan pikiran kacau tanpa mau mendapatkan bantuan sedikit pun dari Motaz. Motaz mundur teratur karena pengusiran secara tak langsung itu. Memilih menunggu. Mutiara menyelesaikan 'pekerjaannya' itu lepas jam sembilan malam. Lalu beranjak naik ke kamarnya, menyelesaikan e
Apa yang membuat Mutiara berani mengutarakan bahwa ia berencana untuk jatuh cinta pada Motaz?Apa Mutiara diam-diam mulai menyimpan rasa pada Motaz?Apa karena kesamaan-kesamaan yang ia sebutkan tadi, makanya hatinya tertambat pada Motaz?Atau memang sudah waktunya dia move on dan fokus dengan apa yang ada di depan mata.Mutiara menyilangkan tangannya di depan dada menghadapi Motaz malam ini.Mutiara sudah berganti dengan hijab instan beberapa saat lalu. Mukenanya hampir seluruhnya basah terkena tumpahan kopi.Malam itu, malam panjang untuk mereka. Bukan untuk bermesra ria, bukan untuk apa-apa. Tetapi untuk bertukar kata menyibak ganjalan hati. Saling jujur atas keinginan masing-masing.Mutiara bahkan turun kembali untuk menemui Motaz yang sedang termenung di kamarnya. Mutiara memasuki kamar itu pertama kalinya. Kamar nuansa abu putih dengan lantai kayu vinyl, memberi nuansa maskulin tetapi hangat."Kamu benar. Kamu tidak berusaha sendiri, Motaz. Aku memang sedang mengupayakan untuk m
Malam itu cerita Motaz mengingatkannya pada masa lalunya. Masa lalu pahit yang selalu ingin dilupakannya. Masa lalu pahit yang menjadi alasan mengapa Mutiara selalu ingin melangkah lebih dari apa yang ia mampu. Masa lalu pahit yang membuat Mbah Uti begitu berusaha keras agar dirinya mendapat kehidupan yang lebih baik. Mbah Uti... Sudah berapa lama Muti tidak berkabar dengan perempuan tua yang menjadi satu-satunya yang menyayanginya itu? Mutiara bergegas cepat meninggalkan kamar Motaz, sepertinya ia melewatkan sesuatu kemarin. Sepertinya... Meski sekilas, Muti melihat pesan dengan nama Bulek kemarin, entah kemarin kapan itu. Pasti Bulek Nunik. Masalahnya dengan Motaz terlupa begitu saja. Masalahnya belum usai. Motaz belum mengatakan apapun dan belum memutuskan apapun. Apakah dia akan tetap dengan perasaannya, atau laki-laki itu akan memilih mempertahankan pernikahan itu. Tidak tau. Mutiara tidak tau, nalurinya mendorong bahwa ia harus menggeser itu sekarang dan memilih mengetahui
Mutiara merasakan Motaz beranjak dari sisinya, juga mendengar pintu kamarnya membuka lalu menutup. Ia menyangka bahwa Motaz sudah pergi dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.Tapi siapa sangka, ternyata laki-laki itu masih berdiri di depan kamarnya dengan senyum sempurna mengarah padanya.Mutiara terhenyak lantas memaku. Malunya bukan main.Dengan kembali menutupkan tangan di wajahnya, Mutiara menyentak bangun dan berlari ke kamarnya. Tetapi belum sampai ia melangkah di anak tangga pertama, langkahnya berhasil dihentikan Motaz."Minggir!!" Dengus Mutiara, kedengarannya malah seperti sebuah rengekan.Kedua bahunya dicekal oleh Motaz, ia memalingkan muka juga menutupi wajahnya dengan tangan. Malu. Mutiara benar-benar malu.Tangan Motaz bergerak menyentuh pergelangan tangan Mutiara. Perlahan-lahan menurunkan kedua tangan yang menutupi wajah itu. Lagi-lagi Mutiara masih memejam.Motaz tersenyum karena tingkah menggemaskan wanita di depannya itu. Wanita yang sudah menjadi istrinya secara t
Mutiara sama sekali tidak menyangka dengan pilihan film Motaz yang akan mereka tonton hari itu. Mutiara pikir mungkin Motaz menyukai semacam action atau thriller atau malah film-film documentary yang berbau sains.Siapa yang menyangka bahwa Motaz justru memilih film komedi lokal yang jarang diperhitungkan.Mutiara termasuk yang jarang sekali menonton film apalagi untuk pergi ke bioskop. Dia sama sekali tidak mengerti dengan dunia sinematografi, film apa yang sedang trending apalagi artisnya. Kecuali Nicho. Ya, satu-satunya aktor yang dikenal Mutiara adalah Nicho.Sepanjang film itu diputar, sejujurnya fokus Mutiara sudah tidak lagi ada di film itu.Lantas di tengah-tengah film, sedang adegan lucu-lucunya, tiba-tiba air matanya mendesak tak terbendung. Keluar dengan derasnya dan sulit sekali dihalau. Ini film komedi, mustahil orang bisa menangis dengan sebegitu tersedu padahal orang-orang di sekitar sedang tertawa terbahak.Motaz terkesiap. Terkejut dengan apa yang terjadi dengan Mutia
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara