Mutiara sama sekali tidak menyangka dengan pilihan film Motaz yang akan mereka tonton hari itu. Mutiara pikir mungkin Motaz menyukai semacam action atau thriller atau malah film-film documentary yang berbau sains.Siapa yang menyangka bahwa Motaz justru memilih film komedi lokal yang jarang diperhitungkan.Mutiara termasuk yang jarang sekali menonton film apalagi untuk pergi ke bioskop. Dia sama sekali tidak mengerti dengan dunia sinematografi, film apa yang sedang trending apalagi artisnya. Kecuali Nicho. Ya, satu-satunya aktor yang dikenal Mutiara adalah Nicho.Sepanjang film itu diputar, sejujurnya fokus Mutiara sudah tidak lagi ada di film itu.Lantas di tengah-tengah film, sedang adegan lucu-lucunya, tiba-tiba air matanya mendesak tak terbendung. Keluar dengan derasnya dan sulit sekali dihalau. Ini film komedi, mustahil orang bisa menangis dengan sebegitu tersedu padahal orang-orang di sekitar sedang tertawa terbahak.Motaz terkesiap. Terkejut dengan apa yang terjadi dengan Mutia
Beberapa jam yang lalu masih di ruang gelap bioskop pasca kepergian Motaz dan Mutiara.Kartika pun sudah tak lagi fokus pada layar besar di hadapannya itu. Sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya mengirim pesan pada Rara.Penasarannya pada Motaz yang membawa wanita berhijab membuatnya penasaran setengah mati. Baru beberapa hari kemarin Rara mengatakan bahwa mereka habis bercumbu bahkan di ruangan Motaz sendiri.Sekarang Motaz sudah berpaling?Mungkinkah laki-laki itu selingkuh?Apa Motaz tipe yang seperti itu?"Rara.. Bagaimana hubunganmu dengan Pak Motaz?" Tanya Kartika lewat telepon.Ia tidak puas hanya berbalas pesan dengan Rara, jawaban Rara pun terkesan mengambang tidak jelas, begitu film itu selesai Kartika tergesa keluar dari ruangan itu dan menghubungi Rara."Apa maksudmu?""Bagaimana hubunganmu dengannya? Apa kalian baik-baik saja?""Kenapa emang?"Rara di tempatnya entah sedang apa berusaha sebisa mungkin menyembunyikan fakta bahwa ia dicampakkan. Jangan sampai orang ta
Dada Mutiara rasanya seperti akan meledak ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Motaz. Jantungnya memacu bekerja terlalu cepat hingga mengalirkan darah membawa hawa panas ke seluruh tubuhnya. Hanya dalam waktu singkat, dahinya sudah dihiasi bulir-bulir keringat akibat aktifitas panas itu.Motaz piawai sekali dalam hal berciuman, batinnya. Caranya mengecup dan juga caranya memprovokasi pada akhirnya mengajarkan pada Mutiara bagaimana caranya menyambut.Tangan Motaz pun tak kalah profesional dalam hal membelai. Tangan yang tadinya berada di pipi Mutiara segera berpindah melingkar di sekitar bahu, lalu perlahan turun meremas lembut pinggang Mutiara.Tangan satunya tak ingin berdiam begitu saja. Setelah ibu jarinya mengusap lembut tepian bibir Mutiara, tangan itu segera berpindah ke tengkuk demi memperdalam ciuman mereka.Ciuman yang tidak terburu-buru. Sama sekali tidak. Hanya saja merepresentasikan bagaimana perasasan mereka masing-masing selama ini hingga terkesan demikian.Hati mer
Motaz tak benar-benar tidur sampai memastikan bahwa Mutiara sudah terlelap lebih dulu. Pria itu sedang berusaha keras menahan kantuk yang sebenarnya sedang mengeroyoki dirinya tanpa ampun. Malam itu adalah malam pertama mereka tidur di atas ranjang yang sama. Motaz ingin melihat dari dekat dan menikmati wajah yang baru saja mengungkapkan perasaannya dengan berani. Motaz merasa semakin ciut dan pengecut karena tak bisa dengan begitu gagahnya mengungkapkan cinta. Mmm, itu karena Motaz belum benar-benar yakin bahwa itu cinta. Suara napas Mutiara mulai teratur, wanita itu tidur miring menghadap Motaz masih lengkap dengan hijabnya. Setelan baju piyama panjang dengan hijabnya. Mungkin Mutiara pun merasa bahwa dirinya belum siap hingga perempuan itu masih enggan melepas hijabnya bahkan untuk suaminya sendiri. Motaz menekuni wajah ayu nan manis itu. Hidungnya tegak dengan proporsi yang pas, kalau kata orang jawa bilang, 'irunge mbangir'. Kulitnya sawo matang dengan sentuhan titik tahi la
Pagi itu Motaz menunjukkan sisi yang tak pernah dilihat sama sekali oleh Mutiara. Sisi lembut kekanakan yang hanya terlihat saat Motaz menghadapi anak kecil? Pantas pria itu mengambil studi kedokteran anak. Sayang sekali. Sayang sekali Mutiara tidak pernah memiliki kesempatan untuk melihatnya. Sayang sekali, Motaz tidak bisa merealisasikan mimpinya itu. Motaz bisa begitu menyatu dengan anak kecil, bahkan hanya lewat video call. Motaz tak kehabisan bahan membicarakan apa yang anak-anak sukai. Mutiara terkagum-kagum di tempatnya dan matanya yang tak ingin teralihkan oleh apapun karena pemandangan mengagumkan itu. Sosok yang lembut kepada perempuan ternyata memiliki sisi lainnya pada anak kecil. Mutiara benar-benar beruntung. Bolehkan? Bolehkah jika Mutiara akan bersama pria ini untuk selamanya. Bibirnya melengkungkan senyum sembari bersemoga di dalam hatinya, semoga ia mampu membawa hati ini condong kepada apa yang sudah ditetapkan untuknya. Yakni Motaz. Semoga Tuhan mengijinkan
Di dalam sebuah kamar bernuansa merah-merah, lenguhan bersahut-sahutan menjadi latar bunyi di ruangan itu. Aktivitas panas tengah berlangsung dengan gairah liar antara dua manusia berlainan jenis yang entah dalam hubungan apa.Cahaya kamar remang-remang serta aroma feminis bercampur feromon menguar menyengat yang indra penciuman. Perlahan-lahan, lenguhan berganti desahan lantas berganti erangan keras yang menjadi akhir dari aktifitas itu.Ponsel salah satu dari mereka berdenting tak henti-henti. Beberapa banyak pesan yang masuk segera membuat mood si perempuan terjun bebas tetapi tetap tak sabar ingin tahu apa isinya."Foto apaan ini? Burem semua! Dasar nggak becus kerja! Tapi.. pake krudung. Jadi bener yang diomongin Tika kemarin." Ucapnya dengan perubahan nada kesal menjadi sedikit memiliki petunjuk.Perempuan itu adalah Rara. Satu tangannya memegang ponsel sedang satu tangan lainnya menahan selimut yang saat ini menutupi uriannya. Tubuhnya polos sebab baru saja selesai aktifitas pa
Beberapa menit sebelumnya."Muti.." Panggilnya seraya mengetuk pintu kamar Mutiara. Mereka memang sudah seranjang, tetapi belum sempat memindahkan barang-barang milik Mutiara ke kamar Motaz. Itu hanya alasan lain, alasan utamanya karena keduanya masih sama-sama canggung jika harus saling lihat tubuh masing-masing. Seperti beberapa hari yang lalu yang membuat Mutiara masih belum siap sampai sekarang membuka hijabnya di hadapan sang suami."Ya?" Seru Mutiara dari dalam kemudian membuka pintu."Aku harus flight ke Bali. Ada yang harus aku selesaikan di sana dan harus ke sana. Siang ini. Kamu nggak apa-apa 'kan?""Ya.. Tentu saja, aku sudah terbiasa sendiri. Kamu hati-hati, aku nggak bisa antar karena.." Mutiara mengetuk jam tangannya. Jawaban Mutiara terlalu santai bagi Motaz untuk seorang istri yang akan ditinggal suaminya keluar kota.Motaz tercengang ditempatnya karena jawaban yang sama sekali tidak disangkakan olehnya itu. Ia pikir Mutiara akan sedikit bersedih, atau paling tidak m
Mungkin.. Mungkin kalau hanya sekedar huru-hara, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan bagi Mutiara. Jika hanya gunjingan tentang dirinya dan kehidupannya, Mutiara sudah kenyang. Seluruh kehidupannya sudah dipenuhi dengan 'kata orang' dan omongan orang atas dirinya dan keluarga. Mutiara sudah kenyang dan ia sudah terbiasa dengan itu. Dia sudah pernah melewati huru-hara yang terburuk dan yang paling buruk sekalipun. Dia sudah pernah mendapat fitnah bahkan yang paling keji sekalipun. Lalu apa? Fitnah dan gunjingan itu tidak mengurangi apapun dari hidupnya sedikitpun kecuali menambah pelajaran hidup dan hikmah dari sana. Sebab itulah, Mutiara merasa belum pernah merasakan kehidupannya tenang dan damai. Dan dia sedang dalam perjalanan mencari kehidupan 'damai dan tenang' itu. Entah bersama Motaz atau tidak. Tapi, ia berharap begitu. Mutiara baru saja menyelesaikan sesi praktek dan konsultasinya hari itu yang ditemani Sita juga Angga sebagai asisten. Berjalan santai seperti biasa menu
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara