Di dalam sebuah kamar bernuansa merah-merah, lenguhan bersahut-sahutan menjadi latar bunyi di ruangan itu. Aktivitas panas tengah berlangsung dengan gairah liar antara dua manusia berlainan jenis yang entah dalam hubungan apa.Cahaya kamar remang-remang serta aroma feminis bercampur feromon menguar menyengat yang indra penciuman. Perlahan-lahan, lenguhan berganti desahan lantas berganti erangan keras yang menjadi akhir dari aktifitas itu.Ponsel salah satu dari mereka berdenting tak henti-henti. Beberapa banyak pesan yang masuk segera membuat mood si perempuan terjun bebas tetapi tetap tak sabar ingin tahu apa isinya."Foto apaan ini? Burem semua! Dasar nggak becus kerja! Tapi.. pake krudung. Jadi bener yang diomongin Tika kemarin." Ucapnya dengan perubahan nada kesal menjadi sedikit memiliki petunjuk.Perempuan itu adalah Rara. Satu tangannya memegang ponsel sedang satu tangan lainnya menahan selimut yang saat ini menutupi uriannya. Tubuhnya polos sebab baru saja selesai aktifitas pa
Beberapa menit sebelumnya."Muti.." Panggilnya seraya mengetuk pintu kamar Mutiara. Mereka memang sudah seranjang, tetapi belum sempat memindahkan barang-barang milik Mutiara ke kamar Motaz. Itu hanya alasan lain, alasan utamanya karena keduanya masih sama-sama canggung jika harus saling lihat tubuh masing-masing. Seperti beberapa hari yang lalu yang membuat Mutiara masih belum siap sampai sekarang membuka hijabnya di hadapan sang suami."Ya?" Seru Mutiara dari dalam kemudian membuka pintu."Aku harus flight ke Bali. Ada yang harus aku selesaikan di sana dan harus ke sana. Siang ini. Kamu nggak apa-apa 'kan?""Ya.. Tentu saja, aku sudah terbiasa sendiri. Kamu hati-hati, aku nggak bisa antar karena.." Mutiara mengetuk jam tangannya. Jawaban Mutiara terlalu santai bagi Motaz untuk seorang istri yang akan ditinggal suaminya keluar kota.Motaz tercengang ditempatnya karena jawaban yang sama sekali tidak disangkakan olehnya itu. Ia pikir Mutiara akan sedikit bersedih, atau paling tidak m
Mungkin.. Mungkin kalau hanya sekedar huru-hara, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan bagi Mutiara. Jika hanya gunjingan tentang dirinya dan kehidupannya, Mutiara sudah kenyang. Seluruh kehidupannya sudah dipenuhi dengan 'kata orang' dan omongan orang atas dirinya dan keluarga. Mutiara sudah kenyang dan ia sudah terbiasa dengan itu. Dia sudah pernah melewati huru-hara yang terburuk dan yang paling buruk sekalipun. Dia sudah pernah mendapat fitnah bahkan yang paling keji sekalipun. Lalu apa? Fitnah dan gunjingan itu tidak mengurangi apapun dari hidupnya sedikitpun kecuali menambah pelajaran hidup dan hikmah dari sana. Sebab itulah, Mutiara merasa belum pernah merasakan kehidupannya tenang dan damai. Dan dia sedang dalam perjalanan mencari kehidupan 'damai dan tenang' itu. Entah bersama Motaz atau tidak. Tapi, ia berharap begitu. Mutiara baru saja menyelesaikan sesi praktek dan konsultasinya hari itu yang ditemani Sita juga Angga sebagai asisten. Berjalan santai seperti biasa menu
Mutiara menumpukan sikunya pada meja kerja dengan kedua telapak tangan menutup wajah. Semua berita sudah habis ia tonton. Dari berbagai diksi sang pembawa berita itu hampir semua isinya menyudutkan dirinya. Inilah kenyataan di negeri ini. Sedikitnya pelajaran soal tabayyun. Hanya sekedar pencari berita yang mengahrapkan sebuah rating tinggi diberi sedikit bumbu hiperbola yang menyuguhkan sesuatu yang mengenyangkan dan apa yang disukai penontonnya. Mutiara terisak. Ia sudah menahan diri, tapi tetap mengalir ternyata. Ponselnya sudah berdering sejak tadi, tetapi diabaikan olehnya. Dea terus-menerus menghubungi dan Mutiara bergeming. Hatinya sakit sekali. Dan yang paling membuatnya sakit kali ini, tidak ada Motaz yang menemani. Mungkin, Mutiara sudah merasa aman ketika bersama Motaz, mungkin karena kata-kata lelaki itu bahwa ia sudah tidak sendirian lagi sehingga itu yang membuat tanpa sadar Mutiara mengandalkan Motaz. --- Motaz baru saja tiba di bandara Ngurah Rai, Bali. Ponselnya
Mutiara termenung di ruangannya dengan ponsel masih menempel di telinga. Ia baru saja mendengar ucapan Motaz yang begitu menggetarkan hatinya dan membuat bulu kuduknya meremang saat itu juga.Dirinya kesulitan mencari kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang sekarang tengah dirasakannya. Kenapa ia begitu merasa berat dengan berita itu padahal harusnya ia sudah terbiasa?Mengapa ia merasa sesak seolah ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya?Mengapa ia merasa hampa dengan semuanya pagi ini?Namun, Motaz menjawab itu semua hanya dengan tiga kata. Dan sekarang Mutiara mengerti."I miss you too.." Lirihnya.Setelah itu, tangisnya kembali pecah sampai suara isak tangisnya memantul di seluruh ruangan itu.Benar sekali. Di antara tangisnya Mutiara mengangguk sepakat bahwa dirinya memang sedang merindukan laki-laki yang tanpa sadar telah memberinya kenyamanan dan rasa aman itu."Padahal baru beberapa jam tapi rasanya sudah sekangen ini..." Katanya sambil membasuh muka di toilet di ruan
Benar kata Motaz, kru media berbondong-bondong mendatangi kediaman mereka, duduk di sepanjang tepian pagar sambil berbincang dan sesekali melongok ke arah rumah mereka. Mutiara sengaja menuju ke rumah itu, ia penasaran dan tadinya ingin mencoba menghadapi. Ia berhenti cukup jauh dari rumahnya melihat pemandangan kerumunan orang dengan kamera itu. Ia pikir ia akan mampu. Nyatanya, melihat kerumunan orang dengan segala jenis kamera yang digenggaman itu seketika membuat mental Mutiara amblas.Anjlok ke titik paling rendah rasanya.Mutiara yang memakai mobil milik Prof. Ardi segera memutar arah menuju kediaman pribadi miliknya sendiri. Sebuah rumah di tengah-tengah komplek yang sederhana tetapi nyaman.Rumah yang dibeli dengan hasil keringat, perjuangan dan tabungan selama di Jerman.Mutiara menghela napas lega ketika ia telah sampai di rumah itu. Menghela lega tetapi dengan perasaan kalut. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang, Mutiara kepikiran neneknya.Jika berita itu sampai terd
Pak Anggara sengaja memakai sisi kiri lobi rumah sakit yang kosong untuk menggelar press conference tersebut.Selain memang tempat itu biasa digunakan oleh para artis untuk menggelar press conference saat kelahiran bayi mereka. Juga beliau akan mengambil kesempatan itu justru untuk mempromosikan rumah sakitnya.Terdengar jahat sebab memanfaatkan situasi? Tidak..Karena apa yang terjadi belakangan ini hanya fitnah receh yang mampir di keluarga beliau.Dalam press conference itu, ada beberapa hal yang harus beliau luruskan dan menurutnya Motaz dan Mutiara tidak perlu terlibat akan hal ini.Karena ini menyangkut Nicholas, anak bungsunya."Terima kasih teman-teman wartawan dan kru yang telah menyempatkan untuk datang ke sini.. Saya berterima kasih karena semangat kalian ingin mengetahui bagaimana cerita keluarga saya." Pak Anggara mengerling pada istrinya, Ibu Katherine mengangguk samar dengan wajah datar."Seperti yang kalian ketahui, anak bungsu saya, mendiang Nicholas Putra Anggara yan
Beberapa jam sebelumnya...Di rumah sederhana itu ternyata membuat Mutiara banyak berpikir. Tentang hubungannya dengan mertua. Tentang pekerjaannya di rumah sakit sang mertua. Tentang hubungannya dengan suaminya yang merupakan direktur rumah sakit tempat ia bekerja.Terdengar seperti balas budi memang. Sangat, lagi pula Mutiara tak menampik perasaan itu.Rasa sayang yang muncul pada Nicho sekarang malah dipertanyakannya lagi. Benarkah dulu ia begitu cinta pada lelaki itu?Atau hanya karena simpati dan keinginan kuat untuk balas budi?Lalu bagaimana dengan Motaz, suaminya?Motaz pernah mengatakan bahwa, kecuali padanya ia tak boleh merasa harus membalas budi. Jadi apa?Tidak mungkin cinta ini hadir begitu cepat. Dan terlalu cepat jika dikatakan cinta. Kemudian, layakkah Mutiara menerima dan memberikan cinta itu pada seorang dorektur rumah sakit besar di ibu kota.Ah.. sekarang tidak lagi disebut ibu kota. Hanya tersisa Daerah Khusus saja.Mari kembali ke topik, Mutiara merenung soalnya
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara