Mungkin.. Mungkin kalau hanya sekedar huru-hara, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan bagi Mutiara. Jika hanya gunjingan tentang dirinya dan kehidupannya, Mutiara sudah kenyang. Seluruh kehidupannya sudah dipenuhi dengan 'kata orang' dan omongan orang atas dirinya dan keluarga. Mutiara sudah kenyang dan ia sudah terbiasa dengan itu. Dia sudah pernah melewati huru-hara yang terburuk dan yang paling buruk sekalipun. Dia sudah pernah mendapat fitnah bahkan yang paling keji sekalipun. Lalu apa? Fitnah dan gunjingan itu tidak mengurangi apapun dari hidupnya sedikitpun kecuali menambah pelajaran hidup dan hikmah dari sana. Sebab itulah, Mutiara merasa belum pernah merasakan kehidupannya tenang dan damai. Dan dia sedang dalam perjalanan mencari kehidupan 'damai dan tenang' itu. Entah bersama Motaz atau tidak. Tapi, ia berharap begitu. Mutiara baru saja menyelesaikan sesi praktek dan konsultasinya hari itu yang ditemani Sita juga Angga sebagai asisten. Berjalan santai seperti biasa menu
Mutiara menumpukan sikunya pada meja kerja dengan kedua telapak tangan menutup wajah. Semua berita sudah habis ia tonton. Dari berbagai diksi sang pembawa berita itu hampir semua isinya menyudutkan dirinya. Inilah kenyataan di negeri ini. Sedikitnya pelajaran soal tabayyun. Hanya sekedar pencari berita yang mengahrapkan sebuah rating tinggi diberi sedikit bumbu hiperbola yang menyuguhkan sesuatu yang mengenyangkan dan apa yang disukai penontonnya. Mutiara terisak. Ia sudah menahan diri, tapi tetap mengalir ternyata. Ponselnya sudah berdering sejak tadi, tetapi diabaikan olehnya. Dea terus-menerus menghubungi dan Mutiara bergeming. Hatinya sakit sekali. Dan yang paling membuatnya sakit kali ini, tidak ada Motaz yang menemani. Mungkin, Mutiara sudah merasa aman ketika bersama Motaz, mungkin karena kata-kata lelaki itu bahwa ia sudah tidak sendirian lagi sehingga itu yang membuat tanpa sadar Mutiara mengandalkan Motaz. --- Motaz baru saja tiba di bandara Ngurah Rai, Bali. Ponselnya
Mutiara termenung di ruangannya dengan ponsel masih menempel di telinga. Ia baru saja mendengar ucapan Motaz yang begitu menggetarkan hatinya dan membuat bulu kuduknya meremang saat itu juga.Dirinya kesulitan mencari kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang sekarang tengah dirasakannya. Kenapa ia begitu merasa berat dengan berita itu padahal harusnya ia sudah terbiasa?Mengapa ia merasa sesak seolah ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya?Mengapa ia merasa hampa dengan semuanya pagi ini?Namun, Motaz menjawab itu semua hanya dengan tiga kata. Dan sekarang Mutiara mengerti."I miss you too.." Lirihnya.Setelah itu, tangisnya kembali pecah sampai suara isak tangisnya memantul di seluruh ruangan itu.Benar sekali. Di antara tangisnya Mutiara mengangguk sepakat bahwa dirinya memang sedang merindukan laki-laki yang tanpa sadar telah memberinya kenyamanan dan rasa aman itu."Padahal baru beberapa jam tapi rasanya sudah sekangen ini..." Katanya sambil membasuh muka di toilet di ruan
Benar kata Motaz, kru media berbondong-bondong mendatangi kediaman mereka, duduk di sepanjang tepian pagar sambil berbincang dan sesekali melongok ke arah rumah mereka. Mutiara sengaja menuju ke rumah itu, ia penasaran dan tadinya ingin mencoba menghadapi. Ia berhenti cukup jauh dari rumahnya melihat pemandangan kerumunan orang dengan kamera itu. Ia pikir ia akan mampu. Nyatanya, melihat kerumunan orang dengan segala jenis kamera yang digenggaman itu seketika membuat mental Mutiara amblas.Anjlok ke titik paling rendah rasanya.Mutiara yang memakai mobil milik Prof. Ardi segera memutar arah menuju kediaman pribadi miliknya sendiri. Sebuah rumah di tengah-tengah komplek yang sederhana tetapi nyaman.Rumah yang dibeli dengan hasil keringat, perjuangan dan tabungan selama di Jerman.Mutiara menghela napas lega ketika ia telah sampai di rumah itu. Menghela lega tetapi dengan perasaan kalut. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang, Mutiara kepikiran neneknya.Jika berita itu sampai terd
Pak Anggara sengaja memakai sisi kiri lobi rumah sakit yang kosong untuk menggelar press conference tersebut.Selain memang tempat itu biasa digunakan oleh para artis untuk menggelar press conference saat kelahiran bayi mereka. Juga beliau akan mengambil kesempatan itu justru untuk mempromosikan rumah sakitnya.Terdengar jahat sebab memanfaatkan situasi? Tidak..Karena apa yang terjadi belakangan ini hanya fitnah receh yang mampir di keluarga beliau.Dalam press conference itu, ada beberapa hal yang harus beliau luruskan dan menurutnya Motaz dan Mutiara tidak perlu terlibat akan hal ini.Karena ini menyangkut Nicholas, anak bungsunya."Terima kasih teman-teman wartawan dan kru yang telah menyempatkan untuk datang ke sini.. Saya berterima kasih karena semangat kalian ingin mengetahui bagaimana cerita keluarga saya." Pak Anggara mengerling pada istrinya, Ibu Katherine mengangguk samar dengan wajah datar."Seperti yang kalian ketahui, anak bungsu saya, mendiang Nicholas Putra Anggara yan
Beberapa jam sebelumnya...Di rumah sederhana itu ternyata membuat Mutiara banyak berpikir. Tentang hubungannya dengan mertua. Tentang pekerjaannya di rumah sakit sang mertua. Tentang hubungannya dengan suaminya yang merupakan direktur rumah sakit tempat ia bekerja.Terdengar seperti balas budi memang. Sangat, lagi pula Mutiara tak menampik perasaan itu.Rasa sayang yang muncul pada Nicho sekarang malah dipertanyakannya lagi. Benarkah dulu ia begitu cinta pada lelaki itu?Atau hanya karena simpati dan keinginan kuat untuk balas budi?Lalu bagaimana dengan Motaz, suaminya?Motaz pernah mengatakan bahwa, kecuali padanya ia tak boleh merasa harus membalas budi. Jadi apa?Tidak mungkin cinta ini hadir begitu cepat. Dan terlalu cepat jika dikatakan cinta. Kemudian, layakkah Mutiara menerima dan memberikan cinta itu pada seorang dorektur rumah sakit besar di ibu kota.Ah.. sekarang tidak lagi disebut ibu kota. Hanya tersisa Daerah Khusus saja.Mari kembali ke topik, Mutiara merenung soalnya
"Kamu nggak apa-apa dengan press conference yang dilakukan ayah?" Tanya Motaz begitu duduk di ranjang di samping Mutiara yang tengah bersandar di headboard sambil membaca buku. Ia memastikan lagi bahwa jawaban Mutiara siang tadi benar-benar jujur, bukan hanya untuk melegakan dirinya saja. Mutiara menegakkan tubuhnya. "Ibu sudah ngasih tau aku walaupun tidak secara langsung. Awalnya memang sedikit terganggu apalagi dengan semua cibiran orang, tetapi aku jadi tau siapa-siapa yang benar-benar tulus berteman denganku dan yang tidak." "Lalu?" "Lalu? Tidak ada lalu, yang tidak menyukaiku ya biarin aja, toh nggak akan mengurangi jatah oksigen yang kuhirup setiap hari 'kan. Aku sudah berlatih seperti itu sekian tahun, Bang. Aku tidak hidup untuk mereka, pun tidak butuh penilaian mereka atas diriku dan apa yang aku lakukan. Mereka tidak berkontribusi apapun atas hidupku. Jadi... jadi hanya perlu untuk tidak dihiraukan 'kan?" Ujar Mutiara tenang dengan gerakan menutup buku lalu meletakkan b
Mutiara tersentak karena mimpinya. Sepertinya pun, ia tersadar bahwa ia mengigau. Kalimatnya memanggil-manggil Nicho dan memohon ampun pada mendiang Nicho yang ia temui di mimpi sepertinya terucap lantang dari mulutnya langsung di dunia nyata, bukan hanya dalam mimpi. Mutiara mengerjap ketika tak mendapati suaminya di sampingnya. Matanya segera mencari lelaki yang tadi malam menidurinya dengan bergairah begitu tersadar dari mimpinya. "Abang..." Panggilnya kemudian beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda aktifitas di dalamnya. Sebenarnya Mutiara terbangun tak lama setelah pintu depan ditutup oleh Motaz yang memutuskan berangkat kerja di pagi buta. "Abang.." Panggilnya sekali lagi sembari membuka pintu kamar. Kaki Mutiara melangkah menuju dapur di mana biasanya Motaz berada saat pagi. Namun pagi itu dapur kosong. Bahkan tidak ada jejak kegiatan apapun meski sekedar memanggang roti. Mutiara mendesah kasar dan meraup wajahnya. "Gimana kalau ternyata Abang deng
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan