Beberapa jam sebelumnya...Di rumah sederhana itu ternyata membuat Mutiara banyak berpikir. Tentang hubungannya dengan mertua. Tentang pekerjaannya di rumah sakit sang mertua. Tentang hubungannya dengan suaminya yang merupakan direktur rumah sakit tempat ia bekerja.Terdengar seperti balas budi memang. Sangat, lagi pula Mutiara tak menampik perasaan itu.Rasa sayang yang muncul pada Nicho sekarang malah dipertanyakannya lagi. Benarkah dulu ia begitu cinta pada lelaki itu?Atau hanya karena simpati dan keinginan kuat untuk balas budi?Lalu bagaimana dengan Motaz, suaminya?Motaz pernah mengatakan bahwa, kecuali padanya ia tak boleh merasa harus membalas budi. Jadi apa?Tidak mungkin cinta ini hadir begitu cepat. Dan terlalu cepat jika dikatakan cinta. Kemudian, layakkah Mutiara menerima dan memberikan cinta itu pada seorang dorektur rumah sakit besar di ibu kota.Ah.. sekarang tidak lagi disebut ibu kota. Hanya tersisa Daerah Khusus saja.Mari kembali ke topik, Mutiara merenung soalnya
"Kamu nggak apa-apa dengan press conference yang dilakukan ayah?" Tanya Motaz begitu duduk di ranjang di samping Mutiara yang tengah bersandar di headboard sambil membaca buku. Ia memastikan lagi bahwa jawaban Mutiara siang tadi benar-benar jujur, bukan hanya untuk melegakan dirinya saja. Mutiara menegakkan tubuhnya. "Ibu sudah ngasih tau aku walaupun tidak secara langsung. Awalnya memang sedikit terganggu apalagi dengan semua cibiran orang, tetapi aku jadi tau siapa-siapa yang benar-benar tulus berteman denganku dan yang tidak." "Lalu?" "Lalu? Tidak ada lalu, yang tidak menyukaiku ya biarin aja, toh nggak akan mengurangi jatah oksigen yang kuhirup setiap hari 'kan. Aku sudah berlatih seperti itu sekian tahun, Bang. Aku tidak hidup untuk mereka, pun tidak butuh penilaian mereka atas diriku dan apa yang aku lakukan. Mereka tidak berkontribusi apapun atas hidupku. Jadi... jadi hanya perlu untuk tidak dihiraukan 'kan?" Ujar Mutiara tenang dengan gerakan menutup buku lalu meletakkan b
Mutiara tersentak karena mimpinya. Sepertinya pun, ia tersadar bahwa ia mengigau. Kalimatnya memanggil-manggil Nicho dan memohon ampun pada mendiang Nicho yang ia temui di mimpi sepertinya terucap lantang dari mulutnya langsung di dunia nyata, bukan hanya dalam mimpi. Mutiara mengerjap ketika tak mendapati suaminya di sampingnya. Matanya segera mencari lelaki yang tadi malam menidurinya dengan bergairah begitu tersadar dari mimpinya. "Abang..." Panggilnya kemudian beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda aktifitas di dalamnya. Sebenarnya Mutiara terbangun tak lama setelah pintu depan ditutup oleh Motaz yang memutuskan berangkat kerja di pagi buta. "Abang.." Panggilnya sekali lagi sembari membuka pintu kamar. Kaki Mutiara melangkah menuju dapur di mana biasanya Motaz berada saat pagi. Namun pagi itu dapur kosong. Bahkan tidak ada jejak kegiatan apapun meski sekedar memanggang roti. Mutiara mendesah kasar dan meraup wajahnya. "Gimana kalau ternyata Abang deng
Malam merayap dan lama-lama membingkai sebagian lapisan bumi. Membenamkan seluruh cahaya sang surya menuju kegelapan sempurna. Mutiara tak benar-benar mengikuti nasihat Dea yang mengakatakan agar membiarkan Motaz sendirian. Bagaimana bisa sementara dirinya didera rasa bersalah yang semakin membumbung tinggi menyesakkan dadanya? Ponselnya tak berhenti menghubungi Motaz sejak ia keluar dari rumah sakit sore tadi. Hasilnya, tidak ada satu panggilan pun yang tersambung kecuali hanya suara cantik operator yang menjengkelkan. "Please, Bang.. angkat!" Mutiara melirik jam dinding, sudah pukul 22.00 dan Motaz belum juga kembali. Sejak selesai menunaikan ibadah empat raka'atnya beberapa jam lalu, Mutiara tak berhenti mondar-mandir ruang tamu, teras, ruang keluarga dan kembali ke teras demi menanti kembalinya sang suami. Lalu Mutiara menatapi jam dinding lagi. Waktu berputar sangat lambat rasanya. Ia merasa sudah lama sekali berdiri dan mondar-mandir di rumah itu tetapi waktu hanya berlalu
"Aku bisa mandi lagi.."Mutiara tidak bisa menjawab kecuali membalas pagutan yang intens dari suaminya itu.Bersandar pada pintu kamar mandi dengan tangan Motaz yang meraba lembut pinggangnya. Remasan lembut itu kalau dirasa-rasa seirama dengan pagutan serta lumatan yang sedang dilancarkan oleh Motaz.Satu tangan Motaz melingkupi leher Mutiara dengan ibu jari mengusap bawah dagu istrinya.Kecupan, lumatan dan pagutan itu nyatanya tak berhenti begitu saja hanya pada bibir Mutiara yang sepertinya sekarang telah menjadi favorit lelaki itu.Bibir mungil Mutiara persis seperti ungkapan dalam lagu yang sedang hits saat itu, "My heaven is on your lips".Surganya Motaz saat ini adalah pada bibir Mutiara yang selalu bisa menghipnotisnya baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan.Saat ini, ia tengah menikmati itu.Balasan atas pagutan yang diberikan Mutiara membuatnya semakin tersulut dan ingin melancarkan serangan lainnya.Kecupan di leher Mutiara yang membuat wanita itu mendongak pasrah na
"Ayo, lagi.." Nada bicara Mutiara hanpir seperti rengekan.Mutiara nyaris bergidik setelah mengatakan hal itu. Bibirnya terkatup kemudian. Tersentak sejenak atas keberanian mentitah suaminya yang sedang menggagahinya.Mutiara memejam karena malu luar biasa. Motaz sedang melemparkan senyuman lebar yang membuat Mutiara semakin salah tingkah.Tangannya pun terangkat menutup muka. Tetapi tak lama bertengger di sana. Karena Motaz dengan terampil menyingkirkannya."Jangan ditutup, Abang mau lihat. Kamu cantik dari atas sini." Katanya sambil kembali mengayun perlahan."Udah, ah.. malu.."Mutiara memejam tetapi desahannya terdengar jelas mengudara di kamar yang luas itu. Ia terlalu malu untuk melihat permainan itu. Malu dengan apa yang beberapa saat tadi ia mintakan pada sang suami. Mutiara merasa harganya dirinya lenyap, meski itu adalah permintaan pada suaminya sendiri.Ayunan itu sekaligus menghunjam semakin dalam. Motaz hampir gila saat kejantanan miliknya diapit rapat oleh celah Mutiara.
Didik sudah berulang kali didatangi oleh kolega kantornya. Sudah dua hari ditambah setengah hari ini, terhitung tiga hari Didik tidak masuk kerja.Alasan sakit yang ia sampaikan pada sebuah chat grup kemarin nyatanya justru membuat semua orang menaruh curiga padanya.Dan siang itu, bukannya memikirkan nasibnya di rumah sakit, Didik justru terbuai oleh pesona imitasi yang dipancarkan oleh seorang Rara.Mereka sudah dekat sejak beberapa bulan belakangan. Tentu saja Rara yang mendekatinya. Berpura-pura keseleo karena heels tingginya patah ketika berpapasan dengan Didik.Apa mungkin ia sudah merencanakan lama untuk menjatuhkan Mutiara sampai ia harus membungkuk untuk mendekati Didik?Rara memang cerdas. Kecerdasannya sudah terkenal sejak SMA. Sayangnya cerdasnya itu selalu tertutup dengan sifat iri dengki sebab tak pernah puas dengan pencapaiannya sendiri.Licik dan picik sudah mendarah daging di dalam dirinya. Bahkan Rara terkenal dengan sebutan 'Serigala Betina' sejak memasuki bangku uni
Akhir-akhir ini Rara sepertinya memiliki banyak sekali waktu luang. Pekerjaannya yang seorang dokter harusnya membuatnya sibuk melebihi toddler sekalipun. Tetapi, ia masih bisa kelayapan kesana kemari karena ia memang hanya melakukan pekerjaannya sebatas itu. Sebatas mengobati pasien. Sekedar memberi konsultasi meski dengan dibumbui wajah masam dan jawaban ketus. Alhasih, pasiennya semua kabur. Pasiennya saat ini mungkin tersisa hitungan jari satu telapak tangan, mungkin sisa. Ia juga hanya bekerja di satu rumah sakit itu tanpa membuka praktek pribadi. Rara sebenarnya cerdas, tapi ia malas. Tak banyak. Jam prakteknya di rumah sakit Royal Jakarta itu terkadang hanya sebagai formalitas sebab tak ada lagi yang datang. Daripada pusing memikirkan pasien-pasiennya, ia juga sedang kalut sebab rencananya untuk menghancurkan Mutiara tak berjalan lancar. Untuk itu, setidaknya saat ini ia harus melancarkan aliran darah ke otaknya. Menjegal Mutiara dengan berita miring itupun hanya beberap
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara