Mutiara tersentak karena mimpinya. Sepertinya pun, ia tersadar bahwa ia mengigau. Kalimatnya memanggil-manggil Nicho dan memohon ampun pada mendiang Nicho yang ia temui di mimpi sepertinya terucap lantang dari mulutnya langsung di dunia nyata, bukan hanya dalam mimpi. Mutiara mengerjap ketika tak mendapati suaminya di sampingnya. Matanya segera mencari lelaki yang tadi malam menidurinya dengan bergairah begitu tersadar dari mimpinya. "Abang..." Panggilnya kemudian beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda aktifitas di dalamnya. Sebenarnya Mutiara terbangun tak lama setelah pintu depan ditutup oleh Motaz yang memutuskan berangkat kerja di pagi buta. "Abang.." Panggilnya sekali lagi sembari membuka pintu kamar. Kaki Mutiara melangkah menuju dapur di mana biasanya Motaz berada saat pagi. Namun pagi itu dapur kosong. Bahkan tidak ada jejak kegiatan apapun meski sekedar memanggang roti. Mutiara mendesah kasar dan meraup wajahnya. "Gimana kalau ternyata Abang deng
Malam merayap dan lama-lama membingkai sebagian lapisan bumi. Membenamkan seluruh cahaya sang surya menuju kegelapan sempurna. Mutiara tak benar-benar mengikuti nasihat Dea yang mengakatakan agar membiarkan Motaz sendirian. Bagaimana bisa sementara dirinya didera rasa bersalah yang semakin membumbung tinggi menyesakkan dadanya? Ponselnya tak berhenti menghubungi Motaz sejak ia keluar dari rumah sakit sore tadi. Hasilnya, tidak ada satu panggilan pun yang tersambung kecuali hanya suara cantik operator yang menjengkelkan. "Please, Bang.. angkat!" Mutiara melirik jam dinding, sudah pukul 22.00 dan Motaz belum juga kembali. Sejak selesai menunaikan ibadah empat raka'atnya beberapa jam lalu, Mutiara tak berhenti mondar-mandir ruang tamu, teras, ruang keluarga dan kembali ke teras demi menanti kembalinya sang suami. Lalu Mutiara menatapi jam dinding lagi. Waktu berputar sangat lambat rasanya. Ia merasa sudah lama sekali berdiri dan mondar-mandir di rumah itu tetapi waktu hanya berlalu
"Aku bisa mandi lagi.."Mutiara tidak bisa menjawab kecuali membalas pagutan yang intens dari suaminya itu.Bersandar pada pintu kamar mandi dengan tangan Motaz yang meraba lembut pinggangnya. Remasan lembut itu kalau dirasa-rasa seirama dengan pagutan serta lumatan yang sedang dilancarkan oleh Motaz.Satu tangan Motaz melingkupi leher Mutiara dengan ibu jari mengusap bawah dagu istrinya.Kecupan, lumatan dan pagutan itu nyatanya tak berhenti begitu saja hanya pada bibir Mutiara yang sepertinya sekarang telah menjadi favorit lelaki itu.Bibir mungil Mutiara persis seperti ungkapan dalam lagu yang sedang hits saat itu, "My heaven is on your lips".Surganya Motaz saat ini adalah pada bibir Mutiara yang selalu bisa menghipnotisnya baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan.Saat ini, ia tengah menikmati itu.Balasan atas pagutan yang diberikan Mutiara membuatnya semakin tersulut dan ingin melancarkan serangan lainnya.Kecupan di leher Mutiara yang membuat wanita itu mendongak pasrah na
"Ayo, lagi.." Nada bicara Mutiara hanpir seperti rengekan.Mutiara nyaris bergidik setelah mengatakan hal itu. Bibirnya terkatup kemudian. Tersentak sejenak atas keberanian mentitah suaminya yang sedang menggagahinya.Mutiara memejam karena malu luar biasa. Motaz sedang melemparkan senyuman lebar yang membuat Mutiara semakin salah tingkah.Tangannya pun terangkat menutup muka. Tetapi tak lama bertengger di sana. Karena Motaz dengan terampil menyingkirkannya."Jangan ditutup, Abang mau lihat. Kamu cantik dari atas sini." Katanya sambil kembali mengayun perlahan."Udah, ah.. malu.."Mutiara memejam tetapi desahannya terdengar jelas mengudara di kamar yang luas itu. Ia terlalu malu untuk melihat permainan itu. Malu dengan apa yang beberapa saat tadi ia mintakan pada sang suami. Mutiara merasa harganya dirinya lenyap, meski itu adalah permintaan pada suaminya sendiri.Ayunan itu sekaligus menghunjam semakin dalam. Motaz hampir gila saat kejantanan miliknya diapit rapat oleh celah Mutiara.
Didik sudah berulang kali didatangi oleh kolega kantornya. Sudah dua hari ditambah setengah hari ini, terhitung tiga hari Didik tidak masuk kerja.Alasan sakit yang ia sampaikan pada sebuah chat grup kemarin nyatanya justru membuat semua orang menaruh curiga padanya.Dan siang itu, bukannya memikirkan nasibnya di rumah sakit, Didik justru terbuai oleh pesona imitasi yang dipancarkan oleh seorang Rara.Mereka sudah dekat sejak beberapa bulan belakangan. Tentu saja Rara yang mendekatinya. Berpura-pura keseleo karena heels tingginya patah ketika berpapasan dengan Didik.Apa mungkin ia sudah merencanakan lama untuk menjatuhkan Mutiara sampai ia harus membungkuk untuk mendekati Didik?Rara memang cerdas. Kecerdasannya sudah terkenal sejak SMA. Sayangnya cerdasnya itu selalu tertutup dengan sifat iri dengki sebab tak pernah puas dengan pencapaiannya sendiri.Licik dan picik sudah mendarah daging di dalam dirinya. Bahkan Rara terkenal dengan sebutan 'Serigala Betina' sejak memasuki bangku uni
Akhir-akhir ini Rara sepertinya memiliki banyak sekali waktu luang. Pekerjaannya yang seorang dokter harusnya membuatnya sibuk melebihi toddler sekalipun. Tetapi, ia masih bisa kelayapan kesana kemari karena ia memang hanya melakukan pekerjaannya sebatas itu. Sebatas mengobati pasien. Sekedar memberi konsultasi meski dengan dibumbui wajah masam dan jawaban ketus. Alhasih, pasiennya semua kabur. Pasiennya saat ini mungkin tersisa hitungan jari satu telapak tangan, mungkin sisa. Ia juga hanya bekerja di satu rumah sakit itu tanpa membuka praktek pribadi. Rara sebenarnya cerdas, tapi ia malas. Tak banyak. Jam prakteknya di rumah sakit Royal Jakarta itu terkadang hanya sebagai formalitas sebab tak ada lagi yang datang. Daripada pusing memikirkan pasien-pasiennya, ia juga sedang kalut sebab rencananya untuk menghancurkan Mutiara tak berjalan lancar. Untuk itu, setidaknya saat ini ia harus melancarkan aliran darah ke otaknya. Menjegal Mutiara dengan berita miring itupun hanya beberap
Dengan adanya masalah yang menyeret nama Rara itu, atau lebih tepatnya Rara-lah dalangnya, Motaz mendapatkan satu hal lagi kesadaran baru, bahwa ia masih tak mengenal siapa istrinya dan apa hubungannya dengan Rara.Mutiara selalu berhati-hati setiap kali bercerita soal pribadi, apalagi soal keluarga, soal masalah hidupnya, soal hubungan-hubungannya dengan masa lalunya. Padahal ia adalah suaminya. Apa yang disembunyikan Muti darinya?Motaz adalah suaminya. Meski tak mengenal siapa Mutiara, tetapi melihat hubungannya dengan Nicho yang begitu kuat, juga si ibu yang begitu menyayangi Mutiara melebihi anaknya sendiri, Motaz percaya Mutiara adalah perempuan baik. Tapi...Lalu kenapa Rara sebenci itu dengan Mutiara?Motaz sampai harus membaca lagi artikel yang sebenarnya sudah dihapus di laman rumah sakit. Ia memiliki salinannya. Motaz membacanya lagi dan mencerna setiap kata dalam kalimat-kalimat itu.Ujaran kebencian yang ditulis Rara benar-benar nyata. Lalu apa yang Mutiara lakukan sampai
Satu hari sebelumnya.Kartika bergelung di atas ranjang seharian itu. Periode bulanannya datang dan seperti biasa, ia selalu bedrest paling tidak tiga hari lamanya. Disaat-saat seperti ini ia sangat membutuhkan perhatian suaminya.Tetapi, pagi-pagi sekali Kevin harus berangkat ke kantornya."Nggak bisa cuti dulu? Aku lemes banget. Dari kemarin aku pengen diusap-usap perutnya, tapi kamu pulang malem terus.." Rengek Kartika.Kevin hampir jengah di pagi hari itu juga, karena kerewelan Kartika. Padahal biasanya ia tak masalah menghadapi wanitanya itu. Rewelnya Kartika justru membuatnya gemas dan tambah cinta, tapi itu dulu sebelum bertemu Rara.Sekarang, semua yang dilakukan Kartika rasanya salah di matanya."Nggak bisa. Ada rapat pagi ini. Aku juga harus presentasi proposal kegiatan yang udah bela-belain lembur sejak beberapa minggu yang lalu. Kamu tau sendiri, aku sering bilang hangout sama temen 'kan. Asal kamu tau, aku sebenernya lembur kerjaan. Buat kamu juga." Omel Kevin pada istrin
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan