Rara tersentak membelalak saat keluar ruangan. Rupanya semua orang yang tadi berada di satu ruangan dengannya masih berdiri menunggu pintu lift terbuka, sedang kompak memandangnya yang baru saja di teriaki.Mata Rara bergetar. Kartika sekarang berada tepat di depannya tak lebih dari setengah meter. Memandangnya dengan mata nyalang dan tajam. Instingnya berjalan ketika melihat reaksi Kartika itu. Bisa jadi perbuatannya telah diketahui. Artinya, permainannya dengan suami temannya sendiri sudah harus berakhir.Rara terkejut hanya beberapa detik, kemudian ia kembali melakukan penguasaan diri seperti biasanya. Bersikap bodoh tentang apa yang terjadi.Tak mempedulikan siapa-siapa yang sedang menyaksikan amarahnya di belakangnya. Kartika juga tak peduli saat sosok Motaz menyembul dari ruangan itu. Mungkin malah tak sadar."Ada apa kamu teriak-teriak?" Tanya Rara lembut.Kartika tidak perlu menjawab. Tangannya terulur cepat menarik rambut Rara sampai wanita itu terjerembab."Harusnya yang aku
"Apa yang dilakukan Dokter Rara sudah sangat merugikan rumah sakit, Dok. Saya harap anda bisa memberikan hukuman yang setimpal untuknya. Dia juga bukan Dokter yang bisa diandalkan untuk Departemen Bedah. Itu dari saya. Tolong sampaikan ini padanya agar secepatnya keluar dari rumah sakit saya. Sekaligus saya akan memberikan catatan khusus untuknya.""Apa tidak terlalu berlebihan, Pak Motaz? Saya harap ini bukan karena masalah pribadi yang dibawa-bawa kesini. Maafkan saya kalau saya lancang." Dokter Fendi selaku orang yang mengepalai Departemen Penyakit Dalam sebisa mungkin berusaha mempertahankan bawahannya itu. Meski ia tahu betul Rara tidak bertanggung jawab dalam pekerjaannya."Kenyataannya memang begitu. Saya tidak akan menafikkan itu. Dokter Rara sendiri yang memulainya karena masalah pribadinya dengan saya dan istri kemudian ia menyebarkan fitnah melalui website rumah sakit. Saya rasa siapapun akan menilai hal itu tidak pantas dan tidak profesional. Apa cuma saya yang berpendapat
Lalu lalang orang-orang yang mendekati rumah Mbah Sugi seperti sebuah bayangan yang berlarian di mata Mutiara. Suara-suara yang keluar dari mulut orang yang berlalu lalang itu bagai dengungan lebah di telinga Mutiara. Mutiara seperti tak menjejak bumi malam itu. Hujan yang sesaat lalu sudah reda kini kembali menitikkan rintiknya lagi. Sedikit demi sedikit. Lalu menderas seriring derasnya air mata Mutiara yang mengalir dari pelupuk matanya. Kesedihan kehilangan seseorang yang sangat disayang itu masih terasa jelas dikepala dan di jiwa Mutiara. Bagaimana ia kehilangan ibunya, bagaimana cara Nicho meninggalkannya, dan kini... Kini simbah juga meninggalkannya. Mirisnya, cara mereka meninggalkan Mutiara hampir sama. Mutiara duduk di bangku SD saat itu, kelas lima? Ingatan itu tak terlalu jelas sebenarnya. Yang selalu dia ingat adalah hari itu ia sedang menghadapi ujian sekolah untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Jawa. Mutiara tak pernah tau kalau itu akan menjadi aw
Beberapa jam sebelum Mutiara tiba di kampung halamannya."Mbah.. ten griya gerah ya Mbah? Mbah kedah dipun obati." Bujuk Bulek Nunik pada Mbah Sugi. (Mbah.. Ke rumah sakit ya, Mbah? Mbah harus diobati.)Beberapa terakhir Bulek Nunik mondar-mandir dari rumahnya ke rumah Mbah Sugi karena kesehatan beliau semakin menurun. Bujukan demi bujukan ia lontarkan dengan halus agar simbah Sugi mau dibawa ke rumah sakit. Setidaknya untuk sedikit memberi harapan sembuh.Meski pertanda demi pertanda sudah lama ditunjukkan oleh Mbah Sugi, bahwasannya beliau memang sudah ingin berpulang pada Sang Pencipta.Bulek Nunik bukan hanya mengurusi rumah dan merawat Mbah Sugi, ia bahkan terlibat adu mulut beberapa kali dengan anak dan cucu Mbah Sugi yang tak tahu diri itu. Anak dan cucu Mbah Sugi yang artinya adalah bapak dan kakak laki-laki Mutiara.Dalam keadaan ibunya yang sekarat pun, laki-laki bernama Bagus itu masih sempat merampas harta terakhir ibunya. Sepasang suweng yang disimpan Mbah Sugi di dalam s
Bulik Nunik sampai harus menampar pipinya sendiri ketika melihat Mutiara duduk di sampingnya. Beliau mengingat-ingat lagi, sudah berapa lama? Gadis kecil remaja yang dulu sangat kurus dan begit menyedihkan dilihat sekarang sudah tumbuh tinggi dan ayu.Mutiara sekarang benar-benar berada di kampung ini lagi. Hadir di sini di depan jenazah sang nenek yang sesungguhnya begitu merinduinya. Begitu menyayanginya sampai rela menahan sakitnya rindu karena tak ingin Mutiara semakin banyak tertoreh luka.Bulek Nunik lupa memperhatikan tampilan Mutiara yang berantakan. Apa karena dulu Mutiara memang seperti itu kesehariannya?Tentu saja tidak. Tidak. Bulik Nunik hanya terpaku seolah berada di alam mimpi. Duka, lara dan rasa terkejut berkumpul menjadi satu malam itu.Rinai hujan di laur sudah tak begitu deras. Semua orang juga dengan cepat berkumpul karena begitulah kehidupan desa."Bu.. Aku ambilin baju buat Mbak Muti dulu, ya.. Aku lupa tadi." Bisik Ayu di belakang ibunya."Hmm? Iya..iya, Nduk.
Sejak awal semuanya memang terasa begitu janggal di kepala Motaz. Rumah sakit yang sekarang dalam tahap pembangunan itu berada di tangan seorang ahli bisnis yang seharusnya mengerti benar apa itu managemen resiko.Beliau sejak awal memaksa ingin bergabung karena menyodorkan keahliannya itu. Pun Pak Ali -orang tua Motaz- nyatanya menerima dalam diam meski Motaz curiga ayahnya memiliki rencana lain.Orang itu adalah orang tua Mia. Dokter Mia yang pernah ia pecat karena ketidak kompetenannya menjalankan amanah sebaga dokter."Aku punya dugaan, tapi semoga dugaanku ini benar. Aku sudah lama menyelidikinya tapi bukti yang kutemukan belum cukup untuk mengadili beliau." Ucap Motaz membolak-balik laporan keuangan yang kacau sekali di matanya.Tatapannya memang berada di atas kertas yang sedang dibolak-balikkannya. Tapi pikiran dan hatinya seolah ditarik menjauh dari sana.Motaz merasa dadanya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas."Boleh minta isiin cangkir ini lagi?""Kamu udah dua ge
"Mobilnya sudah siap, Pak Lan?" Tanya Pak Ali pada supirnya sebegitu memutus panggilannya dengan Motaz. "Sudah siap, Pak." "Apa tidak sebaiknya pakai pesawat saja?" Tanya Ibu Katherine pada suaminya. Ia setengah khawtair dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh. Mereka sudah lama sekali tidak melakukan perjalanan darat untuk durasi waktu lebih dari lima jam. "Pesawat menuju Solo biasanya terlalu banyak delay dan berputar-putar. Semakin lama. Dari bandara Solo ke kampung Mutiara masih sekitar dua sampai tiga jam lagi. Lebih cepat efisien pakai mobil, kalau waktunya pas, bisa sekalian jemput Motaz di Bandara Solo." Terang Pak Ali memegang bahu kanan istrinya. Nampak sekali gurat kesedihan dan penyesalan pada laki-laki sepuh itu. Pak Ali menyesali situasi ini karena Motaz sedang tidak bisa diandalkan. Urusan rumah sakit dan kepemimpinannya terkadang bahkan seringkali membuat Motaz terhanyut hingga mengabaikan urusan lainnya yang mungkin lebih darurat. Karena penyesalannya
Puluhan tahun bergabung dan menjadi sekretaris pribadi keluarga Pak Ali juga sekaligus sebagai teman bermain kedua anaknya, Aini tak pernah sekalipun melihat Motaz selinglung, sekosong dan sehampa itu.Aini tak tahu benar apa yang dirasakan Motaz, bisa jadi karena rasa bersalah pada Mutiara karena tidak ada disana ketika istrinya sangat membutuhkannya. Bisa jadi karena dirinya merasa menjadi tak berguna disaat seseorang yang sangatd dekat dengannya disaat-saat genting.Keduanya terdengar memang sama saja. Tapi yang kedua, mungkin perasaan itu yang lebih besar dirasakan Motaz sekarang. Ia yang tak pernah setengah-setengah membantu orang dan selalu memberikan yang terbaik bagi orang terdekatnya, berusaha keras membuat orang terdekatnya bahagia namun di situasi seperti ini ia sama sekali tidak bisa diandalkan. "Nenek dari istri Pak Motaz meninggal dunia semalam, Bapak-bapak. Saya mohon keleluasaan hati Bapak-bapak sekalian untuk ikut mendoakan. Namanya Nek Sugi." Ucap Aini di depan par
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan