Home / Pernikahan / Mutiara Untuk Abang / Bab 61 Disipliner

Share

Bab 61 Disipliner

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2024-05-14 10:25:17

Rara tersentak membelalak saat keluar ruangan. Rupanya semua orang yang tadi berada di satu ruangan dengannya masih berdiri menunggu pintu lift terbuka, sedang kompak memandangnya yang baru saja di teriaki.

Mata Rara bergetar. Kartika sekarang berada tepat di depannya tak lebih dari setengah meter. Memandangnya dengan mata nyalang dan tajam. Instingnya berjalan ketika melihat reaksi Kartika itu. Bisa jadi perbuatannya telah diketahui. Artinya, permainannya dengan suami temannya sendiri sudah harus berakhir.

Rara terkejut hanya beberapa detik, kemudian ia kembali melakukan penguasaan diri seperti biasanya. Bersikap bodoh tentang apa yang terjadi.

Tak mempedulikan siapa-siapa yang sedang menyaksikan amarahnya di belakangnya. Kartika juga tak peduli saat sosok Motaz menyembul dari ruangan itu. Mungkin malah tak sadar.

"Ada apa kamu teriak-teriak?" Tanya Rara lembut.

Kartika tidak perlu menjawab. Tangannya terulur cepat menarik rambut Rara sampai wanita itu terjerembab.

"Harusnya yang aku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 62 Duka

    "Apa yang dilakukan Dokter Rara sudah sangat merugikan rumah sakit, Dok. Saya harap anda bisa memberikan hukuman yang setimpal untuknya. Dia juga bukan Dokter yang bisa diandalkan untuk Departemen Bedah. Itu dari saya. Tolong sampaikan ini padanya agar secepatnya keluar dari rumah sakit saya. Sekaligus saya akan memberikan catatan khusus untuknya.""Apa tidak terlalu berlebihan, Pak Motaz? Saya harap ini bukan karena masalah pribadi yang dibawa-bawa kesini. Maafkan saya kalau saya lancang." Dokter Fendi selaku orang yang mengepalai Departemen Penyakit Dalam sebisa mungkin berusaha mempertahankan bawahannya itu. Meski ia tahu betul Rara tidak bertanggung jawab dalam pekerjaannya."Kenyataannya memang begitu. Saya tidak akan menafikkan itu. Dokter Rara sendiri yang memulainya karena masalah pribadinya dengan saya dan istri kemudian ia menyebarkan fitnah melalui website rumah sakit. Saya rasa siapapun akan menilai hal itu tidak pantas dan tidak profesional. Apa cuma saya yang berpendapat

    Last Updated : 2024-05-14
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 63 Kampung Halaman

    Lalu lalang orang-orang yang mendekati rumah Mbah Sugi seperti sebuah bayangan yang berlarian di mata Mutiara. Suara-suara yang keluar dari mulut orang yang berlalu lalang itu bagai dengungan lebah di telinga Mutiara. Mutiara seperti tak menjejak bumi malam itu. Hujan yang sesaat lalu sudah reda kini kembali menitikkan rintiknya lagi. Sedikit demi sedikit. Lalu menderas seriring derasnya air mata Mutiara yang mengalir dari pelupuk matanya. Kesedihan kehilangan seseorang yang sangat disayang itu masih terasa jelas dikepala dan di jiwa Mutiara. Bagaimana ia kehilangan ibunya, bagaimana cara Nicho meninggalkannya, dan kini... Kini simbah juga meninggalkannya. Mirisnya, cara mereka meninggalkan Mutiara hampir sama. Mutiara duduk di bangku SD saat itu, kelas lima? Ingatan itu tak terlalu jelas sebenarnya. Yang selalu dia ingat adalah hari itu ia sedang menghadapi ujian sekolah untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Jawa. Mutiara tak pernah tau kalau itu akan menjadi aw

    Last Updated : 2024-05-15
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 64 Pesan Terakhir

    Beberapa jam sebelum Mutiara tiba di kampung halamannya."Mbah.. ten griya gerah ya Mbah? Mbah kedah dipun obati." Bujuk Bulek Nunik pada Mbah Sugi. (Mbah.. Ke rumah sakit ya, Mbah? Mbah harus diobati.)Beberapa terakhir Bulek Nunik mondar-mandir dari rumahnya ke rumah Mbah Sugi karena kesehatan beliau semakin menurun. Bujukan demi bujukan ia lontarkan dengan halus agar simbah Sugi mau dibawa ke rumah sakit. Setidaknya untuk sedikit memberi harapan sembuh.Meski pertanda demi pertanda sudah lama ditunjukkan oleh Mbah Sugi, bahwasannya beliau memang sudah ingin berpulang pada Sang Pencipta.Bulek Nunik bukan hanya mengurusi rumah dan merawat Mbah Sugi, ia bahkan terlibat adu mulut beberapa kali dengan anak dan cucu Mbah Sugi yang tak tahu diri itu. Anak dan cucu Mbah Sugi yang artinya adalah bapak dan kakak laki-laki Mutiara.Dalam keadaan ibunya yang sekarat pun, laki-laki bernama Bagus itu masih sempat merampas harta terakhir ibunya. Sepasang suweng yang disimpan Mbah Sugi di dalam s

    Last Updated : 2024-05-18
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 65 Rindu

    Bulik Nunik sampai harus menampar pipinya sendiri ketika melihat Mutiara duduk di sampingnya. Beliau mengingat-ingat lagi, sudah berapa lama? Gadis kecil remaja yang dulu sangat kurus dan begit menyedihkan dilihat sekarang sudah tumbuh tinggi dan ayu.Mutiara sekarang benar-benar berada di kampung ini lagi. Hadir di sini di depan jenazah sang nenek yang sesungguhnya begitu merinduinya. Begitu menyayanginya sampai rela menahan sakitnya rindu karena tak ingin Mutiara semakin banyak tertoreh luka.Bulek Nunik lupa memperhatikan tampilan Mutiara yang berantakan. Apa karena dulu Mutiara memang seperti itu kesehariannya?Tentu saja tidak. Tidak. Bulik Nunik hanya terpaku seolah berada di alam mimpi. Duka, lara dan rasa terkejut berkumpul menjadi satu malam itu.Rinai hujan di laur sudah tak begitu deras. Semua orang juga dengan cepat berkumpul karena begitulah kehidupan desa."Bu.. Aku ambilin baju buat Mbak Muti dulu, ya.. Aku lupa tadi." Bisik Ayu di belakang ibunya."Hmm? Iya..iya, Nduk.

    Last Updated : 2024-05-22
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 66 Kemarahan Pak Ali

    Sejak awal semuanya memang terasa begitu janggal di kepala Motaz. Rumah sakit yang sekarang dalam tahap pembangunan itu berada di tangan seorang ahli bisnis yang seharusnya mengerti benar apa itu managemen resiko.Beliau sejak awal memaksa ingin bergabung karena menyodorkan keahliannya itu. Pun Pak Ali -orang tua Motaz- nyatanya menerima dalam diam meski Motaz curiga ayahnya memiliki rencana lain.Orang itu adalah orang tua Mia. Dokter Mia yang pernah ia pecat karena ketidak kompetenannya menjalankan amanah sebaga dokter."Aku punya dugaan, tapi semoga dugaanku ini benar. Aku sudah lama menyelidikinya tapi bukti yang kutemukan belum cukup untuk mengadili beliau." Ucap Motaz membolak-balik laporan keuangan yang kacau sekali di matanya.Tatapannya memang berada di atas kertas yang sedang dibolak-balikkannya. Tapi pikiran dan hatinya seolah ditarik menjauh dari sana.Motaz merasa dadanya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas."Boleh minta isiin cangkir ini lagi?""Kamu udah dua ge

    Last Updated : 2024-05-23
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 67 Menuju Tempat Duka

    "Mobilnya sudah siap, Pak Lan?" Tanya Pak Ali pada supirnya sebegitu memutus panggilannya dengan Motaz. "Sudah siap, Pak." "Apa tidak sebaiknya pakai pesawat saja?" Tanya Ibu Katherine pada suaminya. Ia setengah khawtair dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh. Mereka sudah lama sekali tidak melakukan perjalanan darat untuk durasi waktu lebih dari lima jam. "Pesawat menuju Solo biasanya terlalu banyak delay dan berputar-putar. Semakin lama. Dari bandara Solo ke kampung Mutiara masih sekitar dua sampai tiga jam lagi. Lebih cepat efisien pakai mobil, kalau waktunya pas, bisa sekalian jemput Motaz di Bandara Solo." Terang Pak Ali memegang bahu kanan istrinya. Nampak sekali gurat kesedihan dan penyesalan pada laki-laki sepuh itu. Pak Ali menyesali situasi ini karena Motaz sedang tidak bisa diandalkan. Urusan rumah sakit dan kepemimpinannya terkadang bahkan seringkali membuat Motaz terhanyut hingga mengabaikan urusan lainnya yang mungkin lebih darurat. Karena penyesalannya

    Last Updated : 2024-05-25
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 68 Kejadian Nahas

    Puluhan tahun bergabung dan menjadi sekretaris pribadi keluarga Pak Ali juga sekaligus sebagai teman bermain kedua anaknya, Aini tak pernah sekalipun melihat Motaz selinglung, sekosong dan sehampa itu.Aini tak tahu benar apa yang dirasakan Motaz, bisa jadi karena rasa bersalah pada Mutiara karena tidak ada disana ketika istrinya sangat membutuhkannya. Bisa jadi karena dirinya merasa menjadi tak berguna disaat seseorang yang sangatd dekat dengannya disaat-saat genting.Keduanya terdengar memang sama saja. Tapi yang kedua, mungkin perasaan itu yang lebih besar dirasakan Motaz sekarang. Ia yang tak pernah setengah-setengah membantu orang dan selalu memberikan yang terbaik bagi orang terdekatnya, berusaha keras membuat orang terdekatnya bahagia namun di situasi seperti ini ia sama sekali tidak bisa diandalkan. "Nenek dari istri Pak Motaz meninggal dunia semalam, Bapak-bapak. Saya mohon keleluasaan hati Bapak-bapak sekalian untuk ikut mendoakan. Namanya Nek Sugi." Ucap Aini di depan par

    Last Updated : 2024-05-28
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 69 Kabar Untuk Pak Ali

    Motaz menatap sebuah rumah reot yang terbuat dari anyaman bambu. Ia pun tak tahu mengapa tiba-tiba ia berada di sana. Seingatnya, terakhir kali ia berada di dalam sebuah pesawat dan pesawat itu...Pesawat itu mengalami kecelakaan. Motaz mengerjap, memegang kepalanya lalu menoleh kanan dan kiri.Menatap sekeliling yang kabur. Semuanya kabur, ada beberapa rumah tetapi tak jelas. Mata Motaz masih sehat, kalaupun ia mengalami miopi rasanya tidak sampai seburuk itu.Lagi pula, kenapa rumah lain buram sementara rumah bambu itu sangat amat jelas di matanya?Apa yang terjadi sampai ia berada di sana?Rumah itu tidak asing, dan suara teriakan di dalam sana pun Motaz benar-benar mengenalnya. Tetapi mengapa ia di sana?Sesaat kemudian ia tersentak saat seseorang keluar dari rumah itu. Motaz mundur selangkah lalu mengernyit. "Itu Muti..""Kenapa Muti keluar dari rumah itu? Kenapa Muti berteriak? Kenapa Muti bisa ada di sana juga?"Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada di dalam kepala Motaz, mulutnya

    Last Updated : 2024-06-03

Latest chapter

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 85 Tangisan Dua Wanita

    "Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 84 Menghilangnya Senja

    Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 83 Rujukan

    "Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 82 Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 81 Dimana dia?

    "Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 80 Pindah Ke Jerman?

    "Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 79 Kondisi Mutiara

    Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 78 Aini dan Ayu

    Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 77 Utusan

    Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara

DMCA.com Protection Status