Malam itu cerita Motaz mengingatkannya pada masa lalunya. Masa lalu pahit yang selalu ingin dilupakannya. Masa lalu pahit yang menjadi alasan mengapa Mutiara selalu ingin melangkah lebih dari apa yang ia mampu. Masa lalu pahit yang membuat Mbah Uti begitu berusaha keras agar dirinya mendapat kehidupan yang lebih baik. Mbah Uti... Sudah berapa lama Muti tidak berkabar dengan perempuan tua yang menjadi satu-satunya yang menyayanginya itu? Mutiara bergegas cepat meninggalkan kamar Motaz, sepertinya ia melewatkan sesuatu kemarin. Sepertinya... Meski sekilas, Muti melihat pesan dengan nama Bulek kemarin, entah kemarin kapan itu. Pasti Bulek Nunik. Masalahnya dengan Motaz terlupa begitu saja. Masalahnya belum usai. Motaz belum mengatakan apapun dan belum memutuskan apapun. Apakah dia akan tetap dengan perasaannya, atau laki-laki itu akan memilih mempertahankan pernikahan itu. Tidak tau. Mutiara tidak tau, nalurinya mendorong bahwa ia harus menggeser itu sekarang dan memilih mengetahui
Mutiara merasakan Motaz beranjak dari sisinya, juga mendengar pintu kamarnya membuka lalu menutup. Ia menyangka bahwa Motaz sudah pergi dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.Tapi siapa sangka, ternyata laki-laki itu masih berdiri di depan kamarnya dengan senyum sempurna mengarah padanya.Mutiara terhenyak lantas memaku. Malunya bukan main.Dengan kembali menutupkan tangan di wajahnya, Mutiara menyentak bangun dan berlari ke kamarnya. Tetapi belum sampai ia melangkah di anak tangga pertama, langkahnya berhasil dihentikan Motaz."Minggir!!" Dengus Mutiara, kedengarannya malah seperti sebuah rengekan.Kedua bahunya dicekal oleh Motaz, ia memalingkan muka juga menutupi wajahnya dengan tangan. Malu. Mutiara benar-benar malu.Tangan Motaz bergerak menyentuh pergelangan tangan Mutiara. Perlahan-lahan menurunkan kedua tangan yang menutupi wajah itu. Lagi-lagi Mutiara masih memejam.Motaz tersenyum karena tingkah menggemaskan wanita di depannya itu. Wanita yang sudah menjadi istrinya secara t
Mutiara sama sekali tidak menyangka dengan pilihan film Motaz yang akan mereka tonton hari itu. Mutiara pikir mungkin Motaz menyukai semacam action atau thriller atau malah film-film documentary yang berbau sains.Siapa yang menyangka bahwa Motaz justru memilih film komedi lokal yang jarang diperhitungkan.Mutiara termasuk yang jarang sekali menonton film apalagi untuk pergi ke bioskop. Dia sama sekali tidak mengerti dengan dunia sinematografi, film apa yang sedang trending apalagi artisnya. Kecuali Nicho. Ya, satu-satunya aktor yang dikenal Mutiara adalah Nicho.Sepanjang film itu diputar, sejujurnya fokus Mutiara sudah tidak lagi ada di film itu.Lantas di tengah-tengah film, sedang adegan lucu-lucunya, tiba-tiba air matanya mendesak tak terbendung. Keluar dengan derasnya dan sulit sekali dihalau. Ini film komedi, mustahil orang bisa menangis dengan sebegitu tersedu padahal orang-orang di sekitar sedang tertawa terbahak.Motaz terkesiap. Terkejut dengan apa yang terjadi dengan Mutia
Beberapa jam yang lalu masih di ruang gelap bioskop pasca kepergian Motaz dan Mutiara.Kartika pun sudah tak lagi fokus pada layar besar di hadapannya itu. Sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya mengirim pesan pada Rara.Penasarannya pada Motaz yang membawa wanita berhijab membuatnya penasaran setengah mati. Baru beberapa hari kemarin Rara mengatakan bahwa mereka habis bercumbu bahkan di ruangan Motaz sendiri.Sekarang Motaz sudah berpaling?Mungkinkah laki-laki itu selingkuh?Apa Motaz tipe yang seperti itu?"Rara.. Bagaimana hubunganmu dengan Pak Motaz?" Tanya Kartika lewat telepon.Ia tidak puas hanya berbalas pesan dengan Rara, jawaban Rara pun terkesan mengambang tidak jelas, begitu film itu selesai Kartika tergesa keluar dari ruangan itu dan menghubungi Rara."Apa maksudmu?""Bagaimana hubunganmu dengannya? Apa kalian baik-baik saja?""Kenapa emang?"Rara di tempatnya entah sedang apa berusaha sebisa mungkin menyembunyikan fakta bahwa ia dicampakkan. Jangan sampai orang ta
Dada Mutiara rasanya seperti akan meledak ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Motaz. Jantungnya memacu bekerja terlalu cepat hingga mengalirkan darah membawa hawa panas ke seluruh tubuhnya. Hanya dalam waktu singkat, dahinya sudah dihiasi bulir-bulir keringat akibat aktifitas panas itu.Motaz piawai sekali dalam hal berciuman, batinnya. Caranya mengecup dan juga caranya memprovokasi pada akhirnya mengajarkan pada Mutiara bagaimana caranya menyambut.Tangan Motaz pun tak kalah profesional dalam hal membelai. Tangan yang tadinya berada di pipi Mutiara segera berpindah melingkar di sekitar bahu, lalu perlahan turun meremas lembut pinggang Mutiara.Tangan satunya tak ingin berdiam begitu saja. Setelah ibu jarinya mengusap lembut tepian bibir Mutiara, tangan itu segera berpindah ke tengkuk demi memperdalam ciuman mereka.Ciuman yang tidak terburu-buru. Sama sekali tidak. Hanya saja merepresentasikan bagaimana perasasan mereka masing-masing selama ini hingga terkesan demikian.Hati mer
Motaz tak benar-benar tidur sampai memastikan bahwa Mutiara sudah terlelap lebih dulu. Pria itu sedang berusaha keras menahan kantuk yang sebenarnya sedang mengeroyoki dirinya tanpa ampun. Malam itu adalah malam pertama mereka tidur di atas ranjang yang sama. Motaz ingin melihat dari dekat dan menikmati wajah yang baru saja mengungkapkan perasaannya dengan berani. Motaz merasa semakin ciut dan pengecut karena tak bisa dengan begitu gagahnya mengungkapkan cinta. Mmm, itu karena Motaz belum benar-benar yakin bahwa itu cinta. Suara napas Mutiara mulai teratur, wanita itu tidur miring menghadap Motaz masih lengkap dengan hijabnya. Setelan baju piyama panjang dengan hijabnya. Mungkin Mutiara pun merasa bahwa dirinya belum siap hingga perempuan itu masih enggan melepas hijabnya bahkan untuk suaminya sendiri. Motaz menekuni wajah ayu nan manis itu. Hidungnya tegak dengan proporsi yang pas, kalau kata orang jawa bilang, 'irunge mbangir'. Kulitnya sawo matang dengan sentuhan titik tahi la
Pagi itu Motaz menunjukkan sisi yang tak pernah dilihat sama sekali oleh Mutiara. Sisi lembut kekanakan yang hanya terlihat saat Motaz menghadapi anak kecil? Pantas pria itu mengambil studi kedokteran anak. Sayang sekali. Sayang sekali Mutiara tidak pernah memiliki kesempatan untuk melihatnya. Sayang sekali, Motaz tidak bisa merealisasikan mimpinya itu. Motaz bisa begitu menyatu dengan anak kecil, bahkan hanya lewat video call. Motaz tak kehabisan bahan membicarakan apa yang anak-anak sukai. Mutiara terkagum-kagum di tempatnya dan matanya yang tak ingin teralihkan oleh apapun karena pemandangan mengagumkan itu. Sosok yang lembut kepada perempuan ternyata memiliki sisi lainnya pada anak kecil. Mutiara benar-benar beruntung. Bolehkan? Bolehkah jika Mutiara akan bersama pria ini untuk selamanya. Bibirnya melengkungkan senyum sembari bersemoga di dalam hatinya, semoga ia mampu membawa hati ini condong kepada apa yang sudah ditetapkan untuknya. Yakni Motaz. Semoga Tuhan mengijinkan
Di dalam sebuah kamar bernuansa merah-merah, lenguhan bersahut-sahutan menjadi latar bunyi di ruangan itu. Aktivitas panas tengah berlangsung dengan gairah liar antara dua manusia berlainan jenis yang entah dalam hubungan apa.Cahaya kamar remang-remang serta aroma feminis bercampur feromon menguar menyengat yang indra penciuman. Perlahan-lahan, lenguhan berganti desahan lantas berganti erangan keras yang menjadi akhir dari aktifitas itu.Ponsel salah satu dari mereka berdenting tak henti-henti. Beberapa banyak pesan yang masuk segera membuat mood si perempuan terjun bebas tetapi tetap tak sabar ingin tahu apa isinya."Foto apaan ini? Burem semua! Dasar nggak becus kerja! Tapi.. pake krudung. Jadi bener yang diomongin Tika kemarin." Ucapnya dengan perubahan nada kesal menjadi sedikit memiliki petunjuk.Perempuan itu adalah Rara. Satu tangannya memegang ponsel sedang satu tangan lainnya menahan selimut yang saat ini menutupi uriannya. Tubuhnya polos sebab baru saja selesai aktifitas pa
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan