'Rasanya sama. Perasaan sakit saat melihat ia terbaring seperti ini sama dengan saat melihat Muti terbaring di rumah sakit karena kelakuan bedebah itu. Melihatmu selalu mengingatkanku pada Muti. Melihatnya terbaring seperti ini seperti diriku yang dulu saat melihat Muti terluka.'Motaz menatap lama tangan Mutiara yang ditusuk jarum infus. Menjaga orang yang sedang sakit seharusnya bukan sesuatu yang sulit. Motaz sudah lebih dari berpengalaman bertahun-tahun mendampingi adiknya.Namun, pengalaman ternyata bisa lenyap begitu saja saat ia menghadapi Mutiara. Kepalanya terasa kosong tiba-tiba dan ia tak bisa memikirkan apapun. Kepanikan dan kekhawatiran sibuk meliputi sampai ia tak bisa berpikir jernih."Sudah hampir pagi," Motaz melirik jam tangannya, sudah hampir jam lima.Matanya tak mampu terpejam meski tubuhnya menggerutu meminta hak istirahat sejak semalam."Aku pergi ke mushola sebentar.." Pamitnya pada Mutiara yang masih terpejam.Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, Motaz kemba
Tubuh Mutiara terasa ringan setelah tidur beberapa jam. Pagi itu setelah membersihkan diri dan membuka semua tirai dan jendela, Mutiara merebehkan badannya di atas ranjang. Mengisi daya ponselnya dan menunggu lalu tak terasa matanya memejam dengan sendirinya. Selama ini, tidurnya hampir tak pernah nyenyak karena selalu dibayang-bayangi wajah mendiang Nicho. Pun saat mampu terlelap, Nicho selalu datang di dalam mimpinya. Rindu yang mendalam itu nyatanya justru membuatnya tak nyaman. Mutiara berusaha terus menegakkan kepala di depan semua orang, tapi selalu tak mudah baginya ketika sendirian. Dan tidur pagi itu, ia seolah membayar semua lelah, letih dan mengurai semua sesak di dada. "Jam 10.." Gumam Mutiara. Ketika ia teringat ia berada di mana dan mengingat Motaz yang telah menjaganya semalaman, Mutiara tersentak bangun. Tiba-tiba ingin tahu apa kegiatan laki-laki itu.Walaupun sebenarnya ia tahu mustahil bisa bertemu Motaz. Laki-laki itu pasti sudah berangkat kerja sejak ta
Motaz memasuki garasi rumahnya saat jam di tangannya menunjukkan pukul 18.30. Sedangkan reservasi yang ia buat hanya sisa setengah jam lagi. Salahnya memang, pulang terlalu mepet waktu disaat jalanan sedang parah-parahnya kemacetan. Membuka dan menutup pintu mobil dengan kilat dan melangkah lebar-lebar masuk ke dalam rumah. "Mutiara.." Serunya tanpa canggung. Terdengar seperti hubungan mereka sudah sangat akrab. Motaz melirik jam tangannya sembari menunggu di ujung tangga. Mutiara muncul di ujung tangga lainnya dengan pakaian yang lain dari biasanya. Selalunya Mutiara menggunakan celana panjang bahan dipadu padankan dengan blouse atau tunik dan hijab warna senada. Namun kali ini, meski tetap kasual Mutiara mengenakan outer tunik panjang bermotif serta rok plisket panjang warna cokelat muda dengan dalaman kaos polos berwarna putih. Hijab pashmina warna senada menambah aura kecerdasan dan keanggunan Mutiara menguar kemana-mana. Motaz hampir saja menganga membuka mulutnya seandainy
Semburat fajar mulai muncul memayungi seluruh ufuk timur. Mutiara menggeliat bangun dari tidur nyenyaknya, bersiap melaksanakan sembahyang dua rakaat.Rutinitas di kamar mandinya tidak terlalu lama, 10 tahun tinggal di Jerman mengubah kebiasaan mandi Mutiara. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya yang 'harus' mandi dua kali sehari. Mutiara telah terbiasa mandi hanya sekali dan itu saat menjelang waktu tidurnya.Mutiara bahkan sering melewatkan agenda mandinya saat di Jerman saat musim dingin tiba. Meski fasilitas air panas lancar, tetapi karena merasa badan tak mengeluarkan keringat maka kewajiban mandi itu lama kelamaan hilang.Dua rakaat telah ditunaikan. Tak lupa memanjatkan doa yang panjang, untuk dirinya sendiri, untuk Mbah Uti, untuk Nicho juga meminta petunjuk tentang pernikahannya yang telah berjalan lewat empat bulan ini.Mutiara masih belum mendapatkan hikmah dari pernikahan itu. Masih tak tau tujuan apa yang ingin sama-sama dicapai bersama Motaz melalui pernikaha
Ternyata prakiraan memang selalu hanya prakiraan, tidak selalunya benar. Karena setiap kejadian pasti sudah diaturkan oleh Tuhan. Kalau Tuhan tidak berkehendak turun hujan, mustahil akan turun hujan meski prakiraan cuaca mengatakan demikian. Termasuk siang itu yang tidak jadi turun hujan. Panas malah. Sepanas hati Mutiara. Entahlah, perasaan apa yang sedang dirasakannya itu. Melihat Motaz bersama Rara membuatnya badmood seketika. Mendengar gosip tentang Rara dan Motaz membuat dirinya kesal seharian itu. "Nih.. Pasien kamu!" Sentak Mia begitu melihat Mutiara di stasiun perawat. "Makasih." Jawab Mutiara singkat. Malas sekali mencari ribut dengan si mak lampir-nya departemen bedah saraf itu. Mutiara baru saja selesai praktek hari itu. Mengecek beberapa rekam medis pasien yang tergolong darurat sebentar di stasiun perawat dan akan menunggu jam pulangnya di ruang residen. "Makaksih doang!" Dengus Mia. "Enak banget kamu ini, habis liburan seminggu langsung sakit sok-sokan sakit. Kala
"Ayah tidak bisa kesana, bantu ayah mengawasi perkembangan pembangunan itu. Tidak perlu datang kesana langsung. Kamu hanya perlu monitoring melalui asisten ayah yang ada di sana. Pak Juna sedang giat-giatnya bekerja. Kamu tahu 'kan maksud ayah?" Kata Pak Anggara suatu hari. Mereka bertukar kata lewat telepon seperti biasanya. Karena Motaz memang jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. "Motaz ngerti. Ayah istirahat saja." Bagi Motaz melakukan suatu hal ataupun berkorban untuk orang yang disayanginya adalah hal biasa baginya dan memang selalu begitu. Bisa dibilang itu memang hidupnya. Dengan bahasa kasarnya, kehidupan pribadinya hilang meski belum sepenuhnya bersama orang masa lalunya. Separuh gairah hidupnya hilang, kesempatan yang selama ini dinanti dan harapan itu masih terajut walau semakin terasa hampa. Namun, Motaz merasakan suatu hal berbeda kini. Perasaan tidak rela karena orang yang disayangi disakiti bagi orang lain mungkin wajar. Tetapi Motaz merasakan itu pada
Motaz memang sangat sibuk, tapi bukan karena bercengkerama dengan Rara seperti yang disangkakan Mutiara. Dirinya bahkan tidak tahu dan belum mendengar gosip yang akhir-akhir ini membicarakannya. Pembangunan rumah sakit di Bali sungguh menyita perhatian dan waktunya.Motaz bekerja lebih larut dari biasanya. Menindaklanjuti pengawasan kinerja pada Dokter Mia, Dokter Juna dan istrinya membuat Motaz sering menghabiskan waktu di kantornya bersama Pras.Dari review ke review, riwayat pekerjaan, sekolah dan masih banyak lagi, semua Pras cari."Dokter Mia memang selalu terlibat masalah, tapi kamu tau sendiri pengaruh orang tuanya yang kuat sekali. Makanya dia selalu bisa lolos.""Apa hubungan keluarga mereka baik?" Tanya Motaz memangku dagunya.Pras mengendikkan bahunya."Jika dilihat dari kasus-kasus ini sebelumnya, sepertinya Pak Juna dan istrinya hanya tidak ingin karirnya terganggu karena masalah-masalah yang Mia timbulkan. Makanya mereka selalu menggelontorkan banyak uang untuk menutupi
Malam itu meski ia tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan Mutiara, tetapi ia mengerti satu hal. Tatapan mata Mutiara malam ini sama dengan tatapan matanya beberapa hari lalu ketika mereka berpapasan. Motaz terpancing, tetapi ia tersadar bahwa Mutiara sedang akan mengeluarkan seluruh amarah yang terpendam. Tak apa. Wanita ini sudah banyak memendam perasaannya sejak Nicho meninggal. "Mutiara!!" Bentak Motaz karena Mutiara semakin asal."Kamu bebas melakukan apapun! Kamu laki-laki jadi lakukan semaumu, tapi jangan saat bersamaku. Lepaskan pernikahan ini dulu." Nada Mutiara tak kalah tinggi dan tegas. Lantas berdiri menyentak ingin meninggalkan meja itu.Motaz menghela napas kasar. Menarik tangan Mutiara dengan keras agar wanita itu berhenti melangkah dan menatapnya. "Ada apa denganmu? Apa maksudmu aku bebas melakukan apapun? Apa maksudnya melakukan 'itu' di atas pernikahan kita. Kamu membicarakan apa sebenarnya?" Motaz menurunkan nada bicara
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan
"Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang
"Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat
Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi
Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.
Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara