Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.
Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.
Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman.
"Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.
Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup.
"Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.
Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.
Lantai lima.
Lift berdenting kembali dan pintu terbuka. Mutiara berlari sekencang-kencangnya mencari nomor kamar tempat Nicho dirawat. Ia peduli siapapun menyapanya.
Ia juga lupa tak mengetuk pintu kamar Nicho, dan masuk begitu saja. Merangsek ke sisi kiri Nicho dan menggenggam tangan calon suaminya sangat erat. Mutiara tak menangis. Sebab ia masih dilanda kebingungan dengan apa yang terjadi.
Isi pesan calon mertuanya hanya mengatakan kalau Nicho kritis, tanpa menjelaskan penyakit apa yang diderita calon suaminya itu. Mutiara merasa gagal untuk pertama kalinya sebagai dokter.
"Nicho kenapa, Bu? Kenapa dia pakai semua ini? Nich.. Yang.. Bangun.." Suara Mutiara bergetar. Air matanya luruh tak menunggu lama.
Motaz yang saat itu berdiri tepat di sisi itu melangkah mundur. Kepalanya sedikit meneleng untuk melihat wajah Ara yang sepertinya tidak asing baginya.
Masih memakai baju operasi, itu artinya Ara adalah dokter di rumah sakit ini. Satu tangannya bersandar pada besi papan nama brankar serta kepalanya semakin meneleng demi melihat dengan jelas siapa Ara ini.
Kemudian saat menyadari bahwa adalah salah satu dokter bawahannya ia menegakkan tubuhnya. Mundur dan duduk kembali di sofa yang jauh dari brankar membawa ibunya duduk di sana. Nicho dan kekasihnya pasti butuh waktu berdua.
'Dokter Mutiara, spesialis bedah saraf di departemen bedah saraf.' Ungkapnya dalam hati. Lalu menelan ludah.
Meski tak pernah berkomunikasi, ia sering mendengar nama Mutiara disebut-sebut dalam setiap rapat departemen karena kemampuannya dan dedikasinya.
Tangis Mutiara menjadi sesenggukan. Semua ucapannya tidak ada yang terdengar jelas. Kakinya hampir lemas karena menunggu dan berharap mata Nicho masih sempat terbuka.
Pernikahannya sebentar lagi, ia bahkan belum sempat mencari souvenir. Tapi, kenapa Nicho malah terbaring seperti ini?
Mata Nicho perlahan mengerjap.
"Ini suara Ara.." Ucapnya tanpa suara. Lalu ia memaksa matanya membuka. Ia ingin sekali berbicara dengan kekasihnya itu. Ia harus menyampaikan perasaannya dan juga pesan untuk Mutiara. Harus.
"Ra.."
"Nich.. Aku di sini. Kamu kenapa, Yang?"
"Maa-fin a-ku, Yang." Ucap Nicho lirih.
Mutiara mendekatkan telinga agar bisa mendengar Nicho berbicara.
"Ma-af. Ak-u nggak m-mau kam-u sedih. A-ku nggak k-kuat lagi." Nicho menghirup udara sebanyak-banyaknya agar bisa berbicara lebih banyak.
Ia juga berusaha menggenggam tangan Mutiara erat tapi sayang tenaganya tak cukup.
"Aku nggak bisa melindungi kamu. Maafin aku nggak bisa menikahimu. Maaf aku nggak bisa nepatin janjiku." Nicho terbata-bata dan tersengal.
"Berhenti minta maaf.. Sudah, kamu istirahat, jangan ngomong. Kamu pasti sembuh!" Sebenarnya kata-kata itu hanya untuk menguatkan dirinya sendiri.
Kanker otak stadium empat yang diderita Nicho sudah menyebar. Tatapan mata Nicho tak lagi fokus dan ia seringkali kehilangan konsentrasinya.
Mutiara baru menyadarinya. Gejala itu sudah lama ada tapi dia yang tidak peka. Padahal dia dokter.
"Tapi, kamu akan tetap menikah. Dengan abangku. Dia baik. Dan aku akan tenang kalau kamu bersamanya, Ra. Dia pasti akan menjadi laki-laki yang selalu melindungimu. Tolong, Ra. Menikah dengannya."
Kata-kata terakhir Nicho bak cambuk bagi Mutiara.
Mulut Mutiara kelu. Matanya mendelik tak percaya.
"Kamu nggak akan kemana-mana. Berhenti mengoceh yang tidak-tidak. Kamu harus menikahiku!" Sergah Mutiara dengan perasaan campur aduk.
"Abang.." Panggil Nicho lirih.
Mutiara mendelik. Ia sampai tak menyadari orang lain ada di sana. Ia tak pernah melihat siapa abang Nicho.
Mutiara menjauhi brankar Nicho dan mencari siapa yang dipanggil Abang oleh Nicho. Mutiara berdiri kaku saat berhadapan dengan direktur rumah sakitnya.
Kenapa direktur rumah sakit ada di sini?
Ah.. Tentu saja menjenguk. Ayah Nicho adalah pemilik rumah sakit ini. Sopan santun, kata orang.
"Abang.." Panggil Nicho lagi. Suaranya sangat lemah.
Mutiara mendelik ketika direkturnya mendekati brankar Nicho.
"Bapak.. Abangnya Nicho?"
Motaz hanya diam dan mendekati Nicho. Lalu Ibu Katherine menyela. "Ara.. Motaz kakak Nicho."
Mutiara sempat lupa menarik napas dan membuat ia terbatuk kemudian.
Abang yang selalu disebut-sebut Nicho adalah direktur rumah sakitnya? Direktur rumah sakitnya yang selalu membuat seuruh staff heboh setiap kali Motaz lewat.
Kabar kedekatan Motaz dengan salah satu dokter di rumah sakit itu pun santer terdengar.
"Abang.. kau harus tepati janjimu. Aku titip Mutiara, Bang." Ujar Nicho, lalu berusaha menoleh ke arah Mutiara.
"Ara.."
"Menikahlah dengan abangku. Namanya Motaz. Berjanjilah kalian akan bahagia.." Napas Nicho semakin tersengal. Mutiara melihat oximeter di sisi kiri, saturasi oksigen Nicho semakin lama semakin rendah. Tekanan darahnya pun demikian.
"Selamat tinggal, Sayang.."
Lalu bunyi elektrokardiograf yang mendenging nyaring menyentak Mutiara dan semua orang disana. Ibu Katherine mendekati anak bungsunya. Isak tangisnya memilukan siapapun yang mendengar.
"Nicho...." Teriak Bu Khaterine.
Air mata Mutiara luruh sekalli lagi tapi ia bergeming, menarik napas dalam lalu menahannya. Kemudian melepas ventilator yang terpasang di hidung Nicho.
"Tanggal 23 Desember 2023, pukul 20.02 Nicholas Wicaksono meninggal dunia." Air matanya mengalir tak tertahankan.
Sebagai dokter, ia berkewajiban mengumumkan waktu kematia setiap kali ada pasien meninggal dunia di rumah sakit. Tapi, ia tak pernah bisa sanggup untuk hal itu sebenarnya.
Ia hanya harus menunaikan kewajibannya.
Mutiara menangis tersedu berjongkok di tepian brankar sambil menggenggam tangan calon suaminya itu.
---
Dunia entertainment segera dihebohkan dengan kabar kematian Nicho malam itu juga. Baru tadi pagi dia membawa calon istrinya melakukan press conference dan menyebarkan kabar rencana pernikahannya, tapi malam harinya sudah ada kabar berita kematiannya.
Berita lainnya kembali menayangkan press conference tadi pagi dan meneliti wajah Nicho yang memang terlihat sangat pucat.
Berita lainnya membahas peran-peran Nicho saat menjalani syuting film maupun project sinema lainnya. Tak sedikit juga yang menyinggung soal Mutiara yang malang.
Bukan hanya di dunia maya, di rumah sakit itu juga gosip demi gosip bertebaran tanpa mampu dicegah. Beberapa mengasihani Mutiara, beberapa juga justru mengutuknya karena dianggap tak layak bersanding dengan Nicho.
---
"Maafkan Ibu, Ara."
"Sejak kapan, Bu? Sejak kapan Nicho sakit?" Desak Mutiara. Ia ingin tahu sejak kapan Nicho menyembunyikan penyakitnya itu.
Proses pemakaman telah selesai. Ibu Katherine dan Mutiara dipapah Motaz dan sahabat Mutiara, Dea, pulang.
Mutiara diajak ke kediaman keluarga Nicho karena masih harus ada sesuatu yang harus segera dibahas.
Sesuatu yang harus dibahas? Sekarang? Saat Nicho baru saja dikebumikan? Setega itu?
Air mata mutiara tak henti-hentinya mengalir.
"Kanker itu sudah ada sejak lama. Lima tahun yang lalu, Nicho sudah pernah di operasi dan dinyatakan sembuh. Dan tiga tahun yang lalu, saat pertama kali kalian bertemu di Jerman, kami melakukan pemeriksaan di sana dan ternyata tumor ganas itu muncul kembali. Nicho menolak melakukan operasi, jadi kami hanya mampu membujuknya aga tetap melalui kemoterapi."
"Tiga tahun yang lalu.." Gumam Mutiara. Matanya mengawang tak fokus. "Padahal aku dokter.." Mutiara semakin menunduk dan air matanya kembali membanjir.
"Maafkan Ibu, Ara.." Ibu Katherine memajukan tubuhnya memeluk Mutiara. Mereka menangis bersama-sama dalam pelukan itu. Berduka.
Dea yang berada di samping Mutiara menitikkan air matanya. Betapa hancurnya perasaan sahabatnya itu sekarang.
***
"Mbah.. Mbah.."
"Mbok ojo bengok-bengok to, Nik.. Ra patut!" (Jangan teriak-teriak to, Nik. Nggak pantes!) Sergah Mbah Wongso dengan gurat kesal. Beliau sedang duduk di halaman belakang membawa parang kecil untuk memotng ranting-ranting pohon.
"Muti nggak jadi nikah. Kasian, Mbah. Calon suaminya meninggal kemarin. Padahal pagi baru ngumumin mau nikah. Kasian sekali Muti."
Tangan Mbah Wongso terlihat lemas, lalu dengan tenang meletakkan parangnya di dekat kaki dan berkata,
"Mati kuwi yo jodo, Nik. Nek durung sido ketemu neng dunyo, mesti ketemune neng suwargo. Berarti wong lanang kui dudu jodone Muti." (Mati itu juga jodoh, Nik. Kalau belum bisa ketemu di dunia pasti ketemu di Surga. Berarti laki-laki itu bukan jodoh Muti.)
Kata-kata Mbah Wongso meski tegas tapi tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia turut berduka pada cucunya.
~~~~
Jodoh itu ternyata terbagi menjadi dua. Menikah atau Kematian yang datang.
Menikah dengan orang yang dicintai adalah impian setiap orang. Tetapi banyak orang yang tak sadar bahwa ada satu lagi jodoh yang bisa menghampiri kapan saja yaitu kematian.
Kita tidak bisa memilih jodoh mana yang menghampiri kita terlebih dulu. Apakah menikah atau mati dan menunggu bidadari-bidadari Surga mendatangi.
Semuanya pasti baik. Pasti baik bagi yang bisa dengan cermat mengambil hikmah. Tuhan tidak pernah salah dengan rencananya. Tuhan tidak pernah mengecewakan manusia, kecuali manusia itu sendiri yang menutup diri dengan selalu berprasangka pada Tuhannya.
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka
Motaz memperlambat gerakannya tanpa sadar. Mematut diri di cermin berlama-lama di sana. Menyimpulkan dasi yang senada dengan warna jasnya. Kali itu ia mengenakan jas berwarna cokelat tua. Kakinya melangkah sedikit canggung keluar dari kamarnya. Melirik tangga yang nampak sepi. Memangnya sejak kapan tangga itu mampu mengeluarkan suara-suara sendiri dan ramai? Motaz meletakkan clutch-nya di atas meja makan, kemudian menyiapkan sarapan. Hanya dua helai roti dimasukkan dalam toaster, 30 detik kemudian toaster berdenting lalu rotinya menyembul keluar. Motaz meletakkan masing-masing di piring kecil. Satu untuknya dan satu lagi untuk Mutiara. Lantas menuangkan susu hangat ke dalam gelas. Satu gelas lagi juga untuk Mutiara. Sejujurnya, ia sempat berhenti sejenak termenung dengan apa yang ia lakukan. Kenapa dia menyiapkan sarapan untuk Mutiara? Lalu otaknya berputar cepat mencari alasan, dia harus menjaga Mutiara 'kan? Dia hanya melakukan kebaikan dari seorang manusia ke manusia lain. Ti
Beberapa jam yang lalu. Pukul 3 dini hari, rasanya mata itu baru saja terpejam saat dering ponsel menyentak memaksa Mutiara bangun. Suara Angga yang melengking langsung menyambut gendang telinganya ketika telepon itu telah tersambung. "Dok.. Pasien Nyonya Rahma terjatuh dari brankar, pendaharan di bekas operasinya kemarin. Cepat kemari, Dok." "Hubungi dokter anestesi dan siapkan ruang operasi. Aku sampai di rumah sakit lima belas... Enggak, sepuluh menit lagi." Pasien Mutiara yang di operasinya dua minggu yang lalu karena pendarahan otak akibat kecelakaan ala itu mengalami pendarahan otak kembali setelah terjatuh dari ranjangnya, bekas operasi yang belum sembuh sempurna itu robek dan terbuka lagi. Mutiara harus bergegas saat itu juga, memakai baju yang paling cepat dan hijab instan, tak lupa menyambar ponsel, kunci mobil dan tasnya. Jam 3 lebih sedikit itu deru mobilnya meninggalkan rumah Motaz. Terbiasa dengan ritme kehidupan tanpa siapapun membuat Mutiara lupa bahwa ia telah
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan