Home / Pernikahan / Mutiara Untuk Abang / Bab 2 Press Conference

Share

Bab 2 Press Conference

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2023-12-31 11:11:56

Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.

Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.

Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.

Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.

Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.

Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.

---

Wajah Nicho masih sedikit pucat. Tubuhnya pun tak begitu fit sebenarnya. Tapi hari pernikahannya tinggal sepuluh hari lagi. Ia harus segera mengajak Mutiara untuk melakukan press conference untuk mengumumkan pernikahan mereka.

Juga, untuk meredam gosip yang selama ini bergulir liar memojokkannya sebagai perebut pacar rekan kerjanya.

Nicho adalah seorang artis baru yang sedang naik daun. Akhir-akhir ini wajahnya banyak terpampang di film-film nusantara. Wajahnya sangat menjual, tapi lebih dari itu, kemampuannya pun cukup mumpuni dan bisa disandingkan dengan artis-artis senior.

Nicho memang mengambil jurusan seni peran saat ia berkuliah di Korea. Sehingga kemampuan actingnya tidak bisa disepelekan.

Nicho menggandeng tangan Mutiara memasuki sebuah restoran yang sudah ia booking untuk melakukan press conference itu.

"Wajahmu pucet banget, Yang.. Kamu sakit? Kamu juga kurusan." Tanya Mutiara khawatir dengan calon suaminya itu.

Nicho menyentuh pipinya. "Aku hanya sedikit nggak enak badan, Yang. Satu minggu syuting di puncak kemarin cukup menguras tenaga karena hampir nggak tidur. Waktunya mepet, jadi memaksimalkan waktu di sana." Jawab Nicho bohong.

Puncak apanya yang ada ia justru terbaring lemah di rumah sakit. Ia memang membohongi Mutiara mengatakan sedang ada project syuting video klip di Puncak selama satu minggu, selama ia berada di rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Mutiara mengangguk-angguk mengerti meskipun ia sedikit tak percaya. Ia juga sudah mulai curiga karena kian hari, tubuh calon suaminya itu semakin kurus. Juga, syuting film ataupun video klip yang disebut-sebut Nicho tak pernah muncul.

Meski Mutiara sama sibuknya dengan Nicho, ia tak pernah absen kalau soal dunia perfilman. Ia selalu memantau film baru yang muncul karena ia ingin melihat kemampuan acting Nicho di sana.

Tapi setahun terakhir, Mutiara tak pernah melihat wajah Nicho muncul di film maupun video klip manapun.

Banyak awak media yang telah bersiap di restoran tersebut. Para kameramen sedang sibuk dengan kamera mereka, dan wartawan lainnya sedang sibuk dengan laptop dan notebooknya masing-masing.

Lalu ketika melihat Nicho tiba menggandeng wanita cantik, para wartawan dan kameramen itu segera menyerbu keduanya.

Mengambil foto sebanyak-banyaknya.

"Mas Nicho.. yang disamping Mas Nicho siapa, Mas?"

"Mas Nicho sudah putus sama Claudia, Mas. Ini siapa, Mas?"

"Mas Nicho, siapa nama tunangannya, Mas?"

Dan masih banyak sebuan pertanyaan lainnya yang membuat Mutiara merapatkan matanya.

Ia baru sekali di ajak Nicho berada di depan kamera. Mutiara memang tak ingin hubungannya dengan Nicho menjadi konsumsi publik.

Karena ia juga tak suka kehidupannya menjadi bahan pembicaraan orang, meski ia sadar betul itu adalah konsekuensi yang ia terima karena ia memiliki hubungan dengan seorang selebritas.

Mutiara merasakan tangannya digenggam erat oleh Nicho yang sedikit terhuyung. Mutiara dengan sigap menangkap tubuh pacarnya itu. Satu tangan Nicho yang terbebas memegang kepalanya dan memalingkannya kemudian meringis.

Sebisa mungkin Nicho menghindari wajahnya tersorot kamera saat ia sedang meringis kesakitan.

"Ada apa?" Bisik Mutiara ketika mereka sudah duduk di deretan meja panjang yang di depannya dipenuhi microfon dan kamera.

"Nggak apa-apa, Yang. Cuma pusing." Balas Nicho tak kalah rendah. Suaranya berpadu antara memang tubuhnya sedang lemah dengan suara yang direndah-rendahkan.

"Apa dibatalin aja? Aku nggak apa-apa, nggak perlu press conference kaya gini." Kata Mutiara lagi. Kecurigaannya dengan kondisi fisik Nicho semakin bertambah.

"Kamu pasti nggak nyaman dengan pemberitaan akhir-akhir ini. Aku juga, Yang.. Jadi aku juga butuh klarifikasi ini."

Mutiara tak lagi menanggapinya. Nicho pasti sudah memikirkan hal ini matang-matang, ia juga hanya memiliki waktu luang hari itu saja. Jadi, mari melakukannya dengan baik.

Mutiara menarik bibirnya ke samping kanan kiri sedikit lebar. Menatap para pemburu berita itu dengan sedikit berdebar.

'Apa dandanannya hari ini terlalu mencolok?'

'Apa bajunya pantas?'

Mutiara mengenakan setelan blazer berwarna peach dengan kaos hitam di dalamnya dan hijab lilit berwarna senada blazernya.

Mutiara merapikan sedikit penampilannya sebelum Nicho bertanya, "Sudah siap?"

Mutiara mengangguk dan tersenyum.

"Kamu udah cantik.." Bisik Nicho di dekat telinga Mutiara.

Sambil memegang tangan Mutiara, Nicho memperkenalkan Mutiara sebagai calon istrinya.

"Terima kasih teman-teman sabar menunggu saya. Saya ingin memperkenalkan seorang wanita di samping saya ini. Namanya Mutiara. Dia seorang dokter bedah saraf yang sangat kompeten di bidangnya. Dan yang lebih penting dari itu saya sangat mencintainya dan kami akan menikah sepuluh hari lagi. Mohon do'anya teman-teman semua." Nicho mengucapkannya sangat lancar dan tegas. Matanya fokus menatap ke depan sambil sesekali meremas tangan Mutiara.

Setelahnya, Nicho mempersilakan para wartawan itu untuk menanyakan apa yang ingin mereka ketahui satu per satu setelah membuat klarifikasi juga setelah membuat pernyataan bahwa dirinya dan wanita di sampingnya itu akan menikah dalam sepuluh hari lagi.

"Mas Nicho, bisa ceritakan gimana pertemuan Mas Nicho dengan Mbak Mutiara ini? Oh, sebelumnya, selamat atas pernikahannya." Tanya salah satu wartawan dari acara gosip lambe murah.

Nicho terkekeh. "Belum. Kami belum menikah. Tapi terima kasih doanya. Saya merasa menjadi yang paling bahagia di dunia hari ini. Bagaimana saya bertemu dengannya? Wah.. ceritanya ini panjang sekali. Saya rasa saya harus membuat acara sendiri untuk bererita soal kami." Canda Nicho dan disambut riuh oleh wartawan itu.

"Sepertinya Mas Nicho sangat mencintai Mbak Mutiara, bagaimana Mbak Mutiara?" Sahut satu wartawan lainnya.

"Tentu saja. Perjuangan saya mendapatkannya tidak mudah, jadi saya harus menjaganya dengan baik agar tak kabur bersama yang lain." Sahut Nicho sambil menatap intens pada Mutiara.

"Saya juga sangat mencintainya..." Ucap Mutiara. Sorot matanya bercampur-campur. Bahagia juga bercampur sedih dan curiga karena wajah Nicho yang semakin pucat.

Press conference itu disiarkan langsung di beberapa channel televisi dan acara gosip tentunya. Kabar berita rencana pernikahan Nicho dengan cepat menyebar dan membuat para penggemarnya yang mayoritas gadis-gadis itu patah hati masal.

Tapi banyak juga dari mereka yang dibuat baper oleh sikap Nicho kepada Mutiara. Tatapannya membuat banyak emak-emak yang menyaksikan berita itu meleleh.

---

Berita itu juga sampai di sebuah desa kecil yang membuat penontonnya langsung berlari berteriak ke rumah tetangganya.

"Pak.. Pak Bagus, Muti masuk tipi, Pak.." Teriaknya sambil berlari. Saat sampai di depan pintu rumah yang dituju dan melihat nenek-nenek duduk ia kembali berseru. "Mbah.. Mbah Wongso, cucumu Mbah."

"Apa to, Nik kok teriak-teriak?"

"Cucumu.. Muti mau nikah sama artis. Muti cantik sekali, Mbah."

"Apa iya? Jangan bercanda kamu. Mosok cucuku nikah sama artis. Ada-ada aja."

"Bener, Mbah. Aku lihat tadi di tipi. Nggak mungkin salah. Katanya Muti udah jadi dokter, ya, Mbah.. Wah. Pak Bagus beruntung punya mantu artis. Jadi orang kaya sekarang, Muti juga dokter. Pak Bagus bisa berobat gratis sekarang, Mbah."

Tetangga yang bernama Nunik itu tak berhenti mengoceh.

"Makasih beritanya, Nik. Nanti aku coba telpon Muti dulu."

***

Related chapters

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 3 Dia Tidak Baik-Baik Saja

    "Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena

    Last Updated : 2024-01-05
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 4 Kritis

    Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di

    Last Updated : 2024-01-05
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 5 Selamat Tinggal

    Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara

    Last Updated : 2024-01-06
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 6 Duka

    Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te

    Last Updated : 2024-01-07
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 7 Surat Wasiat

    Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be

    Last Updated : 2024-01-08
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 8 Tumpah Ruah

    Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang

    Last Updated : 2024-02-15
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 9 Mutiara dan Motaz

    Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y

    Last Updated : 2024-02-15
  • Mutiara Untuk Abang   Bab 10 Mutiara dan Motaz (2)

    Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "

    Last Updated : 2024-02-15

Latest chapter

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 85 Tangisan Dua Wanita

    "Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 84 Menghilangnya Senja

    Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 83 Rujukan

    "Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 82 Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 81 Dimana dia?

    "Bisa jadi Motaz akan dipindah ke Jerman." Aini mengatakan itu dengan hati teranat berat dan rasa bersalah.Seperti tak sempat ada waktu untuk berduka sedikitpun bagi Muti. Batinnya.Berbagai ujian datang menerpa Mutiara sekaligus. Seolah belum cukup bagi Muti mendapatkan tempaan hidup yang berat sejak ia masih belia.Nunik kembali lemas. Menghenpaskan kembali tubuhnya pada sandaran kursi. Menghembuskan napas kasar putus asa."Kapan akan dipindahkan?" Tanya Nunik dengan wajah datar."Secepatnya, Bu. Sebab itulah, tujuan awal saya kesini untuk menjemput Muti demi mendapatkan persetujuannya memindahkan sang suami. Mereka juga harus bertemu. Saya... Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya katakan pada majikan saya soal menantunya." Aini menunduk meremas tepisan meja."Saya cuma tetangga Muti. Tapi saya tau perjalanan hidupnya sejak kecil. Saya juga sudah menganggap Muti seperti anak saya sendiri. Saya tidak tahan melihat dirinya terus nenderita seperti ini. Muti terlihat sangat menyayang

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 80 Pindah Ke Jerman?

    "Mbak turut berduka cita, Muti.." Ucap Aini setelah keduanya sudah tenang.Aini, Budhe Wijayanti dan juga Bulek Nunik sempat panik karena Mutiara kesulitan bernapas. Menangis menangis membuatnya semakin sulit mengatur napasnya sendiri meski sudah memakai bantuan ventilator.Mutiara mengangguk. Air matanya kembali menetes. Ia ingin sekali bertanya banyak pada Aini, bukan hanya ingin tapi ia harus bertanya tentang suaminya.Mutiara merasakan sesuatu yang aneh karena Aini datang sendirian. Perasaannya semakin tak karuan menduga-duga apa yang sesang terjadi. Pun Aini tak membahas sedikitpun tentang Motaz maupun keluarganya sejak tadi. Hal itu menambah kecurigaan Mutiara, dan sulit sekali diungkapkan. "Ibu Aini, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Bulek Nunik. Aini bukan tak sadar dengan tatapan Mutiara sejak tadi. Hanya saja ia berusaha sengaja menghindari pembahasan soal Motaz. Menyampaikan keadaan Motaz kepada istrinya yang sedang kacau pun rasanya kurang pantas dan kurang bersimpat

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 79 Kondisi Mutiara

    Ayu meninggalkan Aini sendirian duduk di terasnya cukup lama.Aini yang merasa kebingungan dan canggung, hanya bisa celingukan ke samping kanan dan kirinya. Beberapa orang yang lewat menatap asing ke arahnya mencoba menyapa.Mereka mungkin tahu dari plat mobil yang terparkir di dekat gapura, bahwa wanita itu mungkin adalah kolega Mutiara.Mereka menyapa. Mengangguk pada Aini dan Aini membalas dengan anggukan canggung.Orang di desa memang ramah-ramah, pikirnya.Setelah menjawab sapaan dengan anggukan, Aini kembali melongok ke dalam mencari Ayu.Begitu seterusnya sampai beberapa saat lamanya.Sudah hampir setengah jam Ayu di dalam, Aini mulai resah. Takut sengaja dikerjai atau malah ditipu si gadis muda itu.Aini berdiri dari duduknya. Ragu tetapi melangkah mendekati pintu masuk. "Permisiiii.." Seru Aini di depan pintu.Tidak ada jawaban."Permisiii.." Ulangnya lagi. Detik itu juga Ayu menyibak tirai ruang tengah, keluar membawa nampan berisi segelas air sirup dingin dan setoples cemi

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 78 Aini dan Ayu

    Semalam tadi, Mutiara sadar setelah pingsan hampir 7 jam lamanya.Melenguh lantas tersengal merasakan perutnya seperti ditindih batu besar.Saat matanya terbuka, Mutiara mendapati Bulek Nunik tertidur di samping kirinya, sementara Ayu masih memainkan ponselnya duduk di kursi di sudut ruangan dekat jendela.Mutiara sudah dipindahkan ke ruang rawat kelas satu yang mana kelas satu di rumah sakit itu tidak seperti kelas satu di rumah sakit besar lainnya yang memiliki ruangan sendiri serta bed tunggal untuk satu pasien.Kelas satu itu masih diisi dua brankar untuk dua pasien. Dengan gorden tipis sebagai sekat pemisah brankar. Satu kipas angin yang telah berdebu, juga satu kursi tunggu di masing-masing pasien.Beruntungnya, malam itu hanya Mutiara pasien satu-satunya yang mengisi ruangan itu. Hingga Ayu masih bisa menggunakan bed satunya untuk beristirahat. Tetapi, ketika Mutiara membuka mata, Ayu masih sibuk dengan ponselnya."Mbak.. Mbak udah sadar." Ayu segera beranjak mendekati brankar.

  • Mutiara Untuk Abang   Bab 77 Utusan

    Ibu Catherine berdiri dari duduknya lantas menyambut Aini dan merangkul wanita itu. Menangis tersedu menumpahkan segala cemas dan rasa sakitnya sebagai ibu kepada sesama wanita lainnya yang dianggapnya mengerti akan perasaan itu. Beberapa menit berlalu bersama isak tangis Bu Catherine dan Aini. Sementara Pak Ali kembali mondar-mandir di depan operasi. Meski direktur rumah sakit itu sudah turun langsung dan memantau operasi yang berjalan pada Motaz, tetapi hati setiap orang tua pasti tetap resah. Apalagi riwayat kehilangan seorang anak masih menghantui Pak Ali dan istrinya. "Bagaimana dengan Motaz, Bu?" Tanya Aini kembali sebab pertanyaannya sebelumnya belum terjawab. "Hematoma. Kamu tau hematoma?" Aini menggeleng. Ibu Chaterine mengerjap memandang lorong kosong di sebelah kirinya. Lorong itu mengingatkannya saat beliau menemani mendiang Nicho berjuang melawan cancer-nya. "Aku nggak mau kehilangan anakku lagi, Aini." Lirihnya. Suaranya amat lirih tapi di tempat sesepi itu, suara

DMCA.com Protection Status