Perasaan Ratih dibuat bahagia dengan sikap Aji yang selalu membuatnya melayang-layang dengan berbagai pujian yang dilontarkannya. Selain begitu perhatian, Ratih juga menilai jika suaminya tersebut memiliki misi romantis yang kerap ditunjukkannya.
"Bagaimana Aji, apakah masih ada korban lainnya di dalam?" tanya Jaya, setelah Aji dan Ratih sudah berada di dekatnya.
Aji menggeleng pelan. "Semua sudah keluar, termasuk istriku ini," jawabnya.
"Ternyata kalian benar-benar serasi. Semoga jodoh kalian bisa langgeng hingga maut memisahkan," balas Jaya dengan senyum yang mengembang lebar.
Akhirnya Jaya bisa tersenyum dan bahkan tertawa lantang di malam itu. Dia yang selama puluhan tahun bermeditasi di puncak gunung Kahuripan, tentunya sudah bosan dengan rasa kesepian seorang diri. Dengan hadirnya Aji dan Ratih sebagai temannya, dia bisa merasakan kebahagiaan tersendiri.
Sesampainya di luar pintu gerbang, Aji berhenti dan membalikkan bDalam perjalanan panjang menuju Kerajaan Kalingga yang membutuhkan waktu sekitar 14 hari, beberapa kali mereka membantu para pedagang ataupun penduduk yang sedang dirampok ataupun mendapat masalah lain. Sejauh ini mereka tidak halangan yang bisa membuat perjalanan menjadi lebih lama. Selain itu mereka juga harus melewati Kotaraja Suryanegara terlebih dahulu.Di hari ke 8, saat mereka hampir tiba di kotaraja kerajaan Suryanegara, perjalanan mereka terhenti setelah terjadi perang besar cukup jauh di depan mereka.Mereka hanya melihat dari jauh tanpa berpikir untuk ikut terlibat, karena mereka memang tidak ada kaitannya dengan perang yang sedang terjadi, dan juga tidak ingin terlibat di dalamnyaJaya tampak tertegun dengan perang besar yang terjadi di depan matanya itu, seolah dia sedang berpikir tentang sesuatu. Kenyitan tebal di dahinya menandakan itu."Ayo kita kembali ke desa tadi, sekalian untuk mencari informasi tentang perang i
"Dan lebih parahnya lagi, rakyat ini seperti tidak ada harganya di mata paduka raja. Beliau memasang mata-mata di setiap tempat untuk mengawasi rakyatnya. Jika ada rakyat yang mengkritisi atau berbicara tidak baik tentang beliau, tidak lama pasti akan ditangkap dan dihukum penjara.""Lalu kenapa Paman berani berbicara buruk tentang paduka raja? Apa Paman tidak takut hukuman penjara?""Berani karena benar, takut karena salah. Itu prinsip yang aku pegang, Kisanak. Mati sekarang atau mati nanti, itu sama saja buat paman. Toh semua manusia pasti mati juga akhirnya."Aji termenung mendengar ucapan lelaki itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, sebegitu parahkah pemerintahan di kerajaan Suryanegara, sehingga rakyatnya begitu antipati terhadap rajanya.Lima orang lelaki bertubuh tegap dengan pedang tergantung di pinggang tiba-tiba berdiri setelah lelaki itu selesai berucap. Mereka mendekati lelaki yang berbicara dengan Aji."Kau sudah berani berbicara b
Jaya menoleh kepada Aji yang langsung disambut anggukan lelaki tampan tersebut.Lelaki tersebut kemudian mengajak ketiganya ke rumahnya yang terletak di ujung desa.Setelah sampai di rumah lelaki itu, Aji dibuat heran dengan rumah yang besar dan bisa dibilang mewah."Selamat datang di gubukku yang kecil ini. Mari, silahkan masuk!"Suasana yang sejuk dirasakan mereka bertiga di dalam rumah besar tersebut. Atap yang tinggi ditambah dengan beberapa jendela yang besar memungkinkan panas matahari tidak sampai ke bawah. Hembusan angin yang masuk melewati jendela membuat mereka bertiga merasa nyaman di dalam rumah itu.Sesaat kemudian seorang wanita setengah baya datang membawa cemilan dan minuman untuk mereka bertiga."Silahkan dinikmati camilan alakadarnya ini, Kisanak. Mohon maaf jika aku tidak bisa menjamu kalian dengan baik," kata lelaki itu ramah."Wah, Ini lebih dari cukup, Kisanak," balas Aji sambil tersenyum, "Ruma
"Terima kasih. Aku memang berharap bantuan darimu, Aji. Aku sendirian tidak akan bisa melakukannya," balas Jaya. Dia kemudian terdiam untuk beberapa saat."Sebenarnya ayahku yang diberi tugas untuk menjaga pedang pusaka itu. Tapi beliau merasa sudah terlalu lama hidup dan menyerahkan amanah itu kepadaku. Namun sayang aku melalaikan amanah itu." tambahnya.Aji tersenyum lebar, "Semua orang pasti punya kesalahan, dan aku tidak menyalahkanmu. Setidaknya sekarang ada aku yang akan membantumu. Tinggal bagaimana caranya kita mengambil Pedang serat alam dari tangan raja bengis itu.""Ada lagi yang belum aku beritahukan kepadamu. Untungnya saat itu aku hanya memberikan separuh dari kitab Serat Alam kepada paduka raja. Sehingga dia tidak bisa memaksimalkan kemampuan pedang pusaka itu," kata Jaya seraya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan memberikannya kepada Aji"Bawalah ini, kita rebut kembali pedang Serat Alam dan separuh bagian dari kitab ini."Aji
Aji melirik ke arah Jaya dan memberi isyarat agar jangan menyerang terlebih dahulu. Dia tahu jika teman barunya itu sudah terbakar emosi."Sabar kita habisi mereka setelah keluar dari desa ini," kata Aji pelan.Jaya mengangguk sambil menahan amarahnya. Dia bisa membaca rencana Aji yang tidak ingin jatuh korban dari pihak penduduk."Hahaha ...! Kau cantik sekali dan memiliki kecantikan berbeda dengan yang lainnya. Paduka raja pasti akan memberiku hadiah besar jika bisa membawamu ke istana," ucap pemimpin prajurit tersebut kepada Ratih.Putri Kiki Mangkubumi itu melengos wajah dan tidak menyahuti ucapan lelaki tersebut. Apa yang dilakukan Ratih tentunya membuat pemimpin prajurit itu murka, "Kau berani mengacuhkanku! Seharusnya kau bangga dan senang bisa tinggal di istana. Dan aku yakin, kau akan menjadi wanita yang istimewa di mata paduka!"Ratih tetap diam dan tidak sedikitpun memandang lelaki yang berada di sampingnya itu."Bawa para g
Lelaki yang merupakan pemimpin prajurit itu berteriak kesakitan setelah tiba-tiba saja lengan kanannya buntung dan terjatuh di tanah. Dia tidak tahu kapan pemuda itu menyerang dan memutuskan lengan kanannya.Belum juga pemimpin prajurit itu sedikit menahan rasa sakit yang dialaminya, setelah itu ganti lengan kirinya yang juga lepas dari tubuhnya dan terjatuh ke tanah. Teriakan kesakitan meluncur berulang dari bibir lelaki itu. Air matanya mengalir sederas air terjun di musim hujan.Ucapan mengiba memohon ampun dari lelaki itu tidak membuat Aji menghentikan aksinya. Tampaknya emosi lelaki tampan itu sudah tidak terbendung lagi. Baginya, melihat pendekar terbantai adalah hal biasa dan tidak terlalu memukul perasaannya. Tapi jika penduduk yang tidak bersalah dan tidak bisa melakukan perlawanan yang terbantai, maka dia tidak bisa untuk diam.Meskipun lelaki itu sudah jatuh berlutut, Aji mengangkatnya berdiri dan menebas kedua kakinya sebatas
Aji yang sudah bersikap waspada jika para prajurit itu hendak menyerang mereka terkait pembantaian yang mereka lakukan tadi pagi di luar desa, akhirnya menurunkan tensi kewaspadaannya.Setelah memastikan jika Jaya dan Aji serta Ratih bukan bagian dari kerajaan Suryanegara, prajurit tersebut menyarankan untuk kembali sampai kotaraja Suryanegara dibuka kembali."Tampaknya kita harus melewati jalur lain, Aji," kata Jaya."Apa ada jalur lain?""Ada, tapi sedikit memutar. Mungkin saat ini jalur tersebut ramai karena jalur kotaraja ditutup," jawab Jaya."Baiklah, lebih baik memutar dari pada menunggu jalur ini dibuka," balas Aji.Jaya memutar arah kudanya menuju jalur lain yang harus melewati pegunungan, jika ingin menuju kotaraja kerajaan Kalingga.Mereka pun memacu kudanya dengan cepat melewati jalur yang berbeda dari biasanya. Pada umumnya, para pedagang enggan melewati jalur memutar tersebut. Selain lebih jauh, kondisi
Setelah cukup lama berpikir, lelaki itupun akhirnya menyerah, "Tuan siapa? Benar aku Setiaji, Tuan."Jaya tersenyum kecil sebelum membalas ucapan Setiaji, "Apa kau masih ingat di mana kau ditempatkan ketika pertama kali menjadi prajurit kerajaan Kalingga?"Setiaji mengangguk."Kau ditempatkan di kediaman penasihat Jayanata, bukan?""Benar, Tuan. Bagaimana Tuan bisa tahu?" tanya Setiaji penasaran. Jelas saja dia bingung karena yang bertanya kepadanya masih terlihat muda.Jaya sadar kalau Setiaji tidak mungkin mengenalinya, karena fisik dan mukanya terlihat lebih muda dari pada ketika Setiaji ditempatkan untuk menjaga kediamannya."Amati wajahku dengan baik!" kata Jaya.Setiaji memandang wajah Jaya dengan seksama dan cukup lama. Perlahan dia mulai mengingat siapa lelaki yang berdiri di depannya itu."Tuan Jaya?" Setiaji mengernyitkan dahinya tak percaya, "Tapi kenapa wajah Tuan jauh lebih muda?"Jaya tersenyum hangat