Sherly keluar dari mobilnya dengan lunglai. Kali ini ia memilih memarkir mobilnya di basement. Ia menekan kunci otomatis dengan satu tangan, sedang tangan lainnya menenteng tas dan berkas kantor yang perlu diperiksanya malam ini.
Ia memutuskan untuk meneruskan pekerjaannya di apartemennya sendiri daripada harus bermalam lagi di kantor.
"Ah... lama-lama aku bisa cepat keriput jika harus begadang terus," gumamnya.
Ya, salah satu kebiasaan Sherly adalah kadang ia akan berbicara dengan dirinya sendiri jika ia merasa sedang kesal.
Sherly berdiri tepat di depan lift, menekan tombol naik untuk menuju ke lantai tiga dimana tempat tinggalnya berada. Saat lift tak kunjung terbuka atau menunjukkan pergerakan, Sherly mencoba menekan tombol naik berkali-kali, tapi tetap tak membuahkan hasil.
"Aah ... baguslah! Macet lagi liftnya," keluhnya.
"Oh, tahu akan begini harusnya aku parkir di halaman depan saja," gumamnya lagi.
Sherly menghembuskan napasnya perlahan dan menatap tangga darurat dengan perasaan berat. Mau tidak mau ia harus naik lewat tangga darurat, daripada harus memutar keluar basement lagi.
Sherly menghela napasnya sejenak, melepas kedua high heels-nya untuk memulai pertempurannya dengan anak-anak tangga yang seolah melambai-lambai meledeknya.
Lantai satu telah ia lewati dengan mulus. Selanjutnya, saat menuju ke lantai dua, ia mulai kehabisan napas.
Sherly menyeka keringat di dahinya yang keluar begitu banyak. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak dan mengatur napasnya yang sudah terengah-engah.
Saat napasnya mulai mereda, Sherly melanjutkan lagi untuk naik ke anak tangga berikutnya. Di belokan terakhir, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok pria yang meringkuk dan merintih perlahan seperti menahan sakit.
Sherly membelalakkan matanya. Seolah tak yakin dengan yang dilihatnya, ia kembali mengerjapkan matanya. Benar! itu adalah sesosok orang yang sedang meringkuk.
"Ya Tuhan... kau tak apa-apa?!" teriak Sherly panik. Ia bergegas menaiki anak tangga tempat dimana orang itu duduk.
"Apa kau kesakitan? Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?!" tanya Sherly panik. Ia spontan mendekati pria yang sedang duduk itu.
"Ru ... rumah sakit ..." rintihnya "To ....long antarkan aku ... ke rumah sakit."
Sherly mengamati pria itu sejenak, dan ia tak tampak asing. Benar! Pria itu adalah pria yang dilihatnya tadi pagi di tempat pembuangan sampah. Ia adalah pria pemulung yang mengais-ngais sampah itu!
"O ... oke ... oke! Bertahanlah!" Sherly dengan cekatan membantu pria itu untuk berdiri dan memapahnya menuruni tangga.
"Lift sedang rusak lagi, kau tak keberatan kita melewati tangga? Apa kau kuat? Aku akan membantumu, oke?!"
Pria bertubuh besar itu tak menjawab pertanyaan Sherly. Ia tampak sedang menahan sakit. Sherly dapat melihat butiran-butiran peluh membanjiri seluruh wajahnya. Rambutnya yang berantakan tampak saling lengket dan menempel di dahi dan pelipisnya akibat basahnya keringat.
Penuh perjuangan bagi Sherly untuk membawa pria itu ke mobilnya. Ia harus mengapit tas dan berkas kantor di satu sisi tangannya. Sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk memapah pria besar itu. Ditambah, ia harus menuruni tangga dengan memakai kembali high heels-nya!
"Brak!! ... " Sherly menutup pintu penumpang dengan tenaga terakhirnya.
"Aku harap berat badanku turun lima kilogram besok," gumamnya kewalahan. Sama seperti pria yang ditolongnya, Sherly pun banjir keringat.
Sherly masuk ke dalam mobilnya, menghempaskan berkas dan tas kantornya ke kursi penumpang di belakangnya. Napasnya memburu tak beraturan.
"Bagaimana keadaanmu? Tahan sebentar lagi oke, aku akan mengebut!"
Sherly menancap gas, membanting setirnya dengan lihai dan dengan kecepatan yang semakin tinggi ia keluar dari basement. Melaju dengan kencang untuk segera menuju ke rumah sakit terdekat.
Tak perlu waktu lama, mereka akhirnya sampai di rumah sakit terdekat yang dituju. Sherly keluar dari mobilnya, berlari ke pos penjagaan pintu masuk.
Dengan cekatan para petugas rumah sakit membawa dan memindahkan pria yang tampaknya sudah tak sadarkan diri itu ke atas ranjang beroda. Segera mereka membawanya ke Unit Gawat Darurat.
Sherly duduk dengan cemas di depan ruang gawat darurat, saat seorang perawat menghampirinya beberapa saat setelah pria yang kesakitan itu dibawa masuk ke dalam ruangan.
"Permisi Nona, selamat malam. Apakah anda wali dari pasien yang baru saja masuk?" tanyanya.
"Ya? ... Tidak! Oh! Ma ... maksudku aku memang membawanya, tapi aku tak mengenal dia," jelas Sherly.
"Dia sakit apa? Apa yang harus aku lakukan? Berapa pun biayanya aku yang akan bertanggung jawab." jelas Sherly
"Kami akan segera melakukan tindakan operasi, karena tampaknya ia menderita usus buntu akut. Kami perlu persetujuan walinya."
"Baiklah, lakukan apa pun yang terbaik."
"Baiklah, bisa tanda tangan di sini? Siapa nama pasien yang Anda bawa tadi?"
Sherly tergagap, ia tak tahu harus menjawab apa. Saat itu seorang dokter berlari kecil mendekati mereka.
"Aku yang akan mengambil tindakan operasi," ujarnya.
"Anda yang membawa pasien tadi, Nona? tanyanya.
"Iya ... hanya saja ..."
"Jangan khawatir, kami akan menanganinya sebaik mungkin. Untuk prosedur lainnya bisa kita urus terakhir."
Sherly mengangguk gugup. Dokter memberi aba-aba ke perawat tadi untuk mengikutinya. Tampaknya memang keadaan pria tadi cukup serius untuk segera ditangani.
Sherly menunggu di kursi tunggu depan ruang operasi dengan sabar. Sudah sekitar satu jam ia menunggu jalannya operasi. Hingga akhirnya dokter yang menangani operasi pria itu keluar diikuti oleh beberapa perawat di belakangnya.
Sherly refleks berdiri. "Bagaimana dokter?" tanyanya cemas.
Dokter tampan itu tersenyum menenangkan, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Anda membawanya tepat waktu, Nona. Jika terlambat sedikit saja, itu akan membahayakan nyawanya."
Sherly menghembuskan napasnya tanda lega. "Syukurlah ... terima kasih," balasnya.
"Apa hubungan Anda dengan pasien? Apa Anda walinya?" tanya dokter tersebut.
"Mm ... sebenarnya saya tidak mengenalnya, tapi ... saya akan bertanggung jawab sepenuhnya," jawab Sherly gugup
"Sekarang pasien masih tidak sadarkan diri, jika ada perkembangan lain kemana kami akan menghubungi?" tanya dokter itu.
Sherly dengan cepat mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. Dokter tersebut menerimanya sambil tersenyum, membacanya sebentar. "Baiklah Nona Sherly ... kami akan menghubungi Anda untuk perkembangan selanjutnya."
"Baik, terima kasih dokter."
"Chris ..." balasnya. "Panggil saja Chris."
"Ya ... terima kasih Dokter Chris."
"Saat ini, Anda bisa kembali pulang ke rumah. Besok pagi kami akan menghubungi Anda untuk pemberitahuan kondisi pasien"
Sherly mengangguk. Ia segers memutuskan untuk pulang ke apartemennya dan akan kembali lagi keesokan harinya .
******
Esoknya ...
Sherly terperanjat mendengar suara alarm dari ponselnya. Semalam ia tidur di depan ruang TV nya sambil beralaskan karpet bulu di bawah sofanya. Ia menggapai-gapai mencari letak ponselnya yang menimbulkan suara mengganggu itu.
Semalam Sherly melanjutkan lagi pekerjaannya sepulangnya ia dari rumah sakit. Ia terlalu lelah untuk pindah ke tempat tidurnya begitu pekerjaannya selesai.
Sherly berjalan gontai menuju ke kamar mandinya. Badannya masih terasa letih karena aktivitasnya semalam. Menopang tubuh pria besar bukanlah hal mudah bagi gadis seperti dirinya dengan badan yang jauh lebih mungil dari pria itu.
Ia tiba-tiba teringat lagi pria yang ditolongnya semalam. Sherly bergegas untuk mandi dan mempersiapkan diri. Ia berencana akan mampir ke rumah sakit dalam perjalanannya ke kantor.
**Sesampainya di rumah sakit ...
Sherly berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit, berusaha untuk mulai mencari kamar yang dimaksud setelah dirinya bertanya pada petugas resepsionis tentang keberadaan pasien Dokter Chris yang dibawa semalam.
Sementara di dalam ruangan ...
"Usus buntu? Seorang Dean tumbang karena usus buntu?" Chris menggeleng mencemooh.
"Jangan berlaku tidak sopan kepada pasienmu!" protes Dean
"Ingat ya ... kau nanti harus berterima kasih pada gadis cantik yang sudah membawamu ke sini semalam. Jika bukan karena dirinya, mungkin nyawamu tidak akan tertolong. Jika sedetik saja ia terlambat membawamu kemari, you're finished dude ..."
"Aku tahu," jawab Dean singkat.
"Aku bisa membayangkan bagaimana kewalahannya gadis berbadan mungil itu membawa tubuh gorilamu," gumam Chris.
Dean memberengut, menatap sahabatnya yang terkekeh mengejeknya. Chris adalah sahabatnya sejak mereka bertemu di bangku sekolah menengah atas. Ia begitu dekat dengan Chris hingga sekarang. Chris adalah salah satu sahabat yang mengetahui semua kisahnya. Termasuk rahasianya.
"Tok ... tok ... tok ..." ketukan halus terdengar di pintu masuk kamar Dean.
Refleks Dean langsung memejamkan matanya begitu melihat sesosok gadis memasuki kamarnya.
"Permisi ... selamat pagi," sapa Sherly begitu memasuki ruangan.
"Oh, selamat pagi Nona Sherly!" Chris menyambut kedatangan Sherly.
"Maaf, apa saya mengganggu?" tanyanya ragu-ragu.
"Oh tidak ... kita hanya sedang berbincang dan ..." Chris menoleh ke arah Dean yang ternyata sudah memejamkan matanya, berpura-pura tidur.
"Ah ... maksud Saya, Saya sedang memeriksa kondisi pasien, dan sekarang sudah selesai." jawab Chris cepat, seolah mengerti mengapa Dean melakukan itu.
Ia beranggapan Dean pasti sedang menghindari Sherly dengan berpura-pura tidur.
"Bagaimana keadaannya?"
"Cukup baik. Hanya dalam beberapa hari lagi ia bisa kembali ke rumah saat kondisinya sudah memungkinkan."
"Syukurlah. Mm ... dokter, apa Anda sudah mengetahui namanya?" tanya Sherly hati-hati.
"Well ... itu, sayangnya belum." Chris berkata demikian karena tidak yakin nama yang mana yang akan Dean pakai untuk memperkenalkan dirinya pada gadis itu. Ia tidak ingin membuat kesalahan.
"Oh, begitukah? Apa ia belum sadarkan diri dari semalam?"
"Sudah ... hanya saja, bisa dibilang keadaannya saat itu belum begitu stabil untuk bisa ditanyai"
"Oh sungguh malang." Sherly merasa kasihan pada pasien itu.
"Bagaimana anda mengenalnya, Nona?" Chris mulai penasaran.
"Yah, sebenarnya saya tidak mengenalnya. Saya hanya pernah bertemu dengannya kemarin pagi, saya kira dia pemu ... Ah! Maksud saya, saya hanya bertemu dengannya di area apartemen tempat tinggal saya." Hampir saja Sherly keceplosan menyebutnya pemulung.
"Dan malamnya saat saya kembali dari kantor, saya menemukannya sedang kesakitan di area tangga darurat apartemen. Jadi saya memutuskan membawanya kemari setelah ia meminta tolong," lanjut Sherly.
"Ia sungguh berhutang nyawa pada Anda. Sepertinya setelah ia kembali sadar nanti, mungkin saya akan memberikan nomor Anda agar ia bisa berterima kasih pada Anda?" ucap Chris dengan intonasi penuh penekanan yang sebenarnya ditujukan untuk sahabatnya itu.
"Oh ... tidak perlu. Saya hanya kebetulan menolongnya saja."
"Anda sungguh baik." balas Chris.
"Tidak ... itu bukan apa-apa. Saya sudah menyelesaikan administrasi pembayaran untuk pasien sampai hari ini. Jika ada kekurangan, tolong hubungi saya lagi, Dokter"
Chris tampak sedikit terkejut. Begitu juga Dean, dia sedikit mengernyit.
"Wah, Anda baik sekali, mengapa sampai melakukan sejauh itu? Apa Anda tidak ingin menunggunya siuman, agar dapat berdiskusi dengannya?" tanya Chris.
"Oh tidak perlu dokter. Saya rasa pria itu sedang sedikit mengalami, mm .... mu ... mungkin kesulitan finansial," kata Sherly ragu-ragu.
"Mengapa begitu?" tanya Chris ingin tahu.
"Yah ... hanya saja saat saya bertemu dengannya, ia sedang ... mmm ... bagaimana mengatakannya ya? Ia sedang mengais-ngais sampah ... ja ... jadi saya mungkin sempat mengira ia adalah seorang, maaf ... pemulung," bisik Sherly.
Whaaaattt...?!! Pemulung?!! Batin Dean. Diam-diam Dean mengatupkan rahangnya kecang-kencang, menahan kesal.
Chris mengerjapkan matanya, terkejut sekali dengan apa yang gadis itu katakan. Bagaimana bisa ia menyebut Dean seorang pemulung?! Chris mengatupkan mulutnya, mencoba untuk tidak tertawa, dan bersikap normal.
"Well ... itu ... sangat mengejutkan." ucapnya kemudian. Sherly hanya mengangguk penuh simpati.
"Baiklah, jika kondisinya sudah membaik kami akan menghubungi Anda segera dan ..."
"Tiuuutt...."
Tiba-tiba suara gas seperti terjepit terdengar lirih tetapi jelas di dalam ruangan, memotong pembicaraan Chris yang belum selesai.
Seketika suasana hening. Baik Chris dan Sherly saling terkejut mendengar suara kentut dari Dean yang tiba-tiba saja keluar. Mereka sama-sama melemparkan pandang ke arah Dean yang pura-pura sedang tertidur.
Tak dipungkiri wajah Dean seketika berubah menjadi merah, karena menahan malu yang teramat sangat!
Chris menarik napasnya dengan panjang. Menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sebisa mungkin agar tidak terbahak.
"Well ... hmm ... tampaknya kondisi pasien kita sudah membaik. Itu hal yang bagus saat pasien pasca operasi membuang gas. Tanda yang bagus, artinya kondisinya mulai membaik. Tinggal menjalani masa pemulihan sekitar 4 sampai 6 minggu, dan harus dijaga agar luka bekas operasinya tetap kering. Sebisa mungkin tidak melakukan aktivitas berat atau berlebihan. Olah raga pun tidak boleh dilakukan sementara ini dulu ..." tanpa sadar Chris banyak mengoceh untuk menutupi kecanggungannya.
"Oh! Y...ya ... oke! Hmm ... oke, baiklah akan saya ingat itu. Baguslah, terima kasih atas penjelasannya dokter." jawab Sherly canggung. "Ka ... kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya kemudian.
"Silakan," jawab Chris tenang.
Beberapa saat setelah Sherly keluar dan menutup pintu, Chris seperti meledak! Ia tertawa terbahak-bahak! Melepaskan semua yang ditahannya, hingga meneteskan air mata saking gelinya.
"Dam**...!! Chriiis Shut Up !!!!!"
Dean refleks melempar Chris dengan bantal karena ia masih terpingkal-pingkal dan belum bisa menghentikan tawanya. Dean kembali mengutuki dirinya dalam hati dengan perasaan malunya.
******
Sherly menghembuskan napasnya begitu masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit menahan tawanya setiap teringat kejadian yang dialaminya tadi. Entah mengapa pasien yang ditolongnya itu menurutnya tampak begitu menggemaskan di matanya, karena tak bisa menahan buang anginnya. Memang Sherly tidak dapat melihat jelas wajahnya. Tapi poni yang biasa menutupi matanya tadi sedikit tersibak sehingga Sherly dapat mencuri-curi mengamati wajahnya saat berbincang dengan Dokter Chris tadi. Wajah pria itu menurut Sherly cukup menarik. Walau semalam ia sangat kesakitan, tetapi jelas terdengar bahwa ia memiliki suara yang cukup dalam dan berat. Sherly masih dapat mengingat suara rintihan dan minta tolongnya saat Sherly menemukan pria itu di atas tangga. Suara serak maskulin yang seksi. Seksi?! ... Oh My God Sherly! Bisa-bisanya dirinya berkhayal tentang pria yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Kendalikanlah dirimu! Kau seharusnya bersimpati pa
"Silakan masuk ..." Sherly membukakan pintu apartemennya dengan sedikit canggung. "Di mana apartemenmu?" tanya Sherly. Dean menunjuk pintu paling pojok yang jaraknya hanya dua unit dari kamar Sherly. Sherly menganga, lebih karena merasa takjub. "Kau serius? Kita satu lantai? Dan bahkan aku tidak pernah bertemu denganmu atau mengenalmu sebelumnya!?" Sherly tertegun. Sherly berjalan menuju unit itu, tampak di depannya tergeletak dua koper besar yang bersandar pada dindingnya. Sherly menyeret keduanya bersamaan. Walau tampak sedikit bersusah payah, ia akhirnya berhasil juga membawanya ke depan tempatnya. "Keterlaluan sekali, apa begini caranya memperlakukan penyewa? Walau kau tidak mampu lagi membayarnya, bukan berarti barang-barangmu bisa dilempar begitu saja di depan pintu." Sherly bersungut-sungut. "Biar aku bantu ..." "No ... jangan coba-coba. Masuklah saja, kau belum boleh banyak bergerak." Sherly sedikit mendoron
Sherly mengikat rambutnya dengan kuncir ekor kuda. Hari ini tampilannya sangat kasual. Jeans biru terang dan kemeja katun putih menjadi baju pilihannya untuk pergi ke kantor hari ini. Sherly segera menyambar tas kerjanya sebelum keluar dari kamar. Sherly melihat Dean sedang berdiri di dapurnya saat ia keluar dari kamarnya. Ia kemudian menghampirinya, mengambil sebuah cangkir hendak membuat kopi. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya "Membuat sarapan. Hai, selamat pagi." ucapnya sambil memperlihatkan sepiring pancake yang sudah tertata rapi. "Wow ... kau bisa membuat sarapan rupanya," gumam Sherly takjub "Duduklah ... mari kita makan bersama. Dan jangan minum kopi karena aku sudah menyiapkan jus jeruk segar" Sherly lagi-lagi tampak takjub dengan pekerjaan yang Dean lakukan. Ia segera mengambil tempat untuk duduk, dan siap di depan meja makan diikuti oleh Dean. "Ini enak ..." Sherly tersenyum senang setelah mencicipi makanan bu
Suasana aneh dan canggung terlihat sangat kentara saat Sherly, Nick, dan Dean duduk berhadapan dalam satu meja. Tatapan waspada, dingin dan penuh dengan selidik saling mereka lemparkan satu sama lain. Malam ini mereka duduk di satu meja untuk makan malam bersama di apartemen Sherly. Entah mengapa, Nick sangat bersikeras untuk ikut makan bersama sepulang kerja tadi. "Mari kita mulai makan," Sherly membuka percakapan agar suasana tegang yang tercipta di atas meja makannya sedikit mencair. Sepulang dari kantor tadi Nick bersikeras mengantarkan Sherly pulang ke apartemennya. Mau tidak mau mobil Sherly harus ia tinggalkan menginap di kantor. "Silakan ..." Dean bersikap sopan dengan mempersilakan Nick menyantap hidangan makan malam yang telah disiapkannya. "Semoga cocok dengan seleramu," ucapnya lagi dengan wajah datar. Mereka mulai menyantap hidangan yang Dean siapkan. Dari raut wajahnya, terlihat jelas Dean merasa sedikit kesal, pasalnya s
Sherly mengerjap, tidak menyangka Dean akan mengajukan pertanyaan seperti itu yang begitu tiba-tiba. "Kau ingin tahu hubungan antara aku dan Nick?" ulang Sherly. Dean mengangguk. "Well ... aku dan Nick memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kami lumayan dekat. Dan jika tentang pekerjaan, kebetulan aku adalah asisten sekaligus sekretaris yang bekerja pada perusahaannya dan dia bosnya" "Itu saja?" tanya Dean lagi. Sherly mengangguk mengiyakan. "Apa masih ada yang ingin kau ketahui lagi?" "Apa Nick sudah memiliki kekasih?" "Setahuku belum. Kenapa?" "Yah ... hanya saja tampaknya dirinya cukup mapan. Mengapa ia belum memiliki kekasih? Apa tabiatnya buruk? Apa ia tidak dekat dengan seorang wanita? Atau apa ia memiliki orang yang disukainya mungkin?" Sherly sedikit mengerutkan alisnya, tampak heran dengan sikap Dean. "Entahlah ..." ucapnya lambat-lambat, "Aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam urusan pri
"Now what?! Lagi-lagi kalian begini. Apa kalian sedang saling berduel atau semacamnya?" Sherly memecah keheningan yang tercipta diantara Dean dan Nick. Sebelumnya, tak ada yang menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh dari mereka sampai Sherly buka suara. "Kau sudah selesai?" tanya Dean yang langsung menghampirinya. Dean segera meraih plester dan obat untuk luka Sherly. "Duduklah," Dean membimbing Sherly ke kursi terdekat. "Aku tak apa-apa Dean." "Sudah kukatakan untuk memanggilku saat kau selesai mandi. Apa kau menginjak pecahan kaca lagi? Di sana masih banyak kaca yang berserakan." Dean berlutut dan memeriksa telapak kaki Sherly secara otomatis. Wajah Sherly tiba-tiba memerah dengan perlakuan Dean. Tanpa sadar Sherly mencengkeram kencang jubah handuk mandinya saat Dean mengoles obat untuk lukanya. Sentuhan Dean pada kakinya sangat menggelitik, sekaligus membuatnya tersipu. Sherly berusaha menahan debaran jantungnya saat Dean memeriksa kakinya dan beralih ke kaki satunya
Sherly bergegas menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar Dean dirawat. Sore tadi Sherly mendapat kabar dari Chris bahwa Dean berada di rumah sakitnya lagi. Sherly menelepon Dean untuk memastikan sendiri berita itu. Sherly baru dapat bergegas menuju rumah sakit setelah meninggalkan kantor pukul tujuh malam tadi. "Kau tak apa-apa?" serbu Sherly begitu memasuki kamar Dean. "Dia tak apa-apa, mungkin karena beberapa aktivitasnya yang berlebihan saja jadi bekas operasinya terasa nyeri," Chris yang berdiri di samping Dean menjelaskan padanya. "Memang apa yang kau lakukan?" tanya Sherly heran. "Apa gara-gara membersihkan pecahan kaca di kamar mandi?" tanya Sherly lagi. Chris sedikit menahan senyumnya karena geli. Betapa polos pemikirannya. Andai gadis itu tahu apa pekerjaan yang Dean lakukan selama ini, ia pasti akan terkena serangan jantung. Dean sedikit mengerutkan alisnya, bingung akan menjawab apa. "Bukan? A .. atau ... karena kau sempat membopongku? Mungkin karena aku berat, jadi
"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika. "Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?" Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati! Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya. Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati. "Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban. Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya. Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman. Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters