Sherly mengerjap, tidak menyangka Dean akan mengajukan pertanyaan seperti itu yang begitu tiba-tiba.
"Kau ingin tahu hubungan antara aku dan Nick?" ulang Sherly. Dean mengangguk.
"Well ... aku dan Nick memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kami lumayan dekat. Dan jika tentang pekerjaan, kebetulan aku adalah asisten sekaligus sekretaris yang bekerja pada perusahaannya dan dia bosnya"
"Itu saja?" tanya Dean lagi.
Sherly mengangguk mengiyakan. "Apa masih ada yang ingin kau ketahui lagi?"
"Apa Nick sudah memiliki kekasih?"
"Setahuku belum. Kenapa?"
"Yah ... hanya saja tampaknya dirinya cukup mapan. Mengapa ia belum memiliki kekasih? Apa tabiatnya buruk? Apa ia tidak dekat dengan seorang wanita? Atau apa ia memiliki orang yang disukainya mungkin?"
Sherly sedikit mengerutkan alisnya, tampak heran dengan sikap Dean.
"Entahlah ..." ucapnya lambat-lambat, "Aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam urusan pribadinya. Setahuku selama 7 tahun aku mengenalnya, ia tidak pernah membicarakan tentang seseorang yang disukai atau hal semacam itu."
"7 tahun?! Kalian sudah saling kenal selama 7 tahun?" Dean tampak sedikit terkejut.
"Iya ... benar." Sherly mengangguk. "Nick baru mendirikan perusahaannya saat awal aku mengenalnya. Dan saat itu walau aku belum lulus kuliah, ia dengan senang hati memberiku posisi pekerjaan di sana untuk membantunya. Apa ada yang salah? Kau tampak seperti sedikit terkejut"
"Baiklah... hh, tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak menyangka saja ternyata kau sudah lama mengenalnya. Hmm... yah, oke." Dean mengangguk-angguk dengan canggung.
"Yah, memang seperti itu. Well, oke kalau begitu ... mm ... jika kau mungkin membutuhkan sesuatu, aku ada di ruang TV. Panggil aku saja jangan sungkan."
"Kau tidak istirahat?" tanya Dean.
"Ah ... aku masih harus mengerjakan sedikit lagi sisa pekerjaanku."
"Baiklah ... istirahatlah Dean." Sherly keluar dengan canggung dari kamar Dean.
Dean menatap langit-langit kamar, menghembuskan napasnya perlahan. Dirinya tak menyangka ternyata Sherly dan Nick sudah lama saling kenal dan dekat. Ia mengingat lagi sikapnya saat menghadapi Nick tadi. Dengan memikirkannya saja sudah membuatnya tak berhenti mengutuki dirinya sendiri.
Jelas Nick terlihat jauh lebih muda darinya, seharusnya dirinya tidak mudah terpancing provokasinya begitu saja. Dean sadar dirinya tadi sudah terlalu sombong dan juga terlalu terbawa emosi. Hanya saja sikap menyebalkan Nick tadi membuatnya sangat kesal. Lain kali ia akan mengendalikan dirinya lebih baik lagi jika berhadapan dengan Nick lagi.
Dean menghembuskan napasnya. Sejak dirinya keluar dari rumah sakit, terhitung sudah dua malam dirinya berada di apartemen gadis ini, tetapi Dean belum juga bisa mendapatkan yang diinginkannya. Dean sebenarnya memiliki misi untuk dekat dengan Sherly dan memperoleh informasi yang dibutuhkan darinya.
Tapi Sherly terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga Dean tidak dapat mendekati gadis itu dengan mudah. Hanya di sela-sela waktu saat mereka bisa bersama saja, dirinya dapat mulai mendekatinya perlahan.
Dean tak ingin terlalu terang-terangan mendekati Sherly. Walau sepertinya gadis itu gadis yang polos, tetapi ia juga peka dan sensitif. Yah, kecuali dalam satu hal, gadis itu terlalu bodoh untuk membaca perasaan orang lain kepadanya. Bahkan Nick orang terdekatnya yang memendam perasaan bertahun-tahun padanya saja ia tidak tahu. Dan Dean memutuskan untuk tidak menakutinya dengan mendekatinya terang-terangan.
Baiklah, jika memang kesempatan yang ia miliki untuk mendekatinya hanyalah saat gadis itu berada di apartemen, maka sekarang adalah waktu yang tepat.
Dean turun dari ranjangnya, perlahan keluar dari kamar. Saat itu, ia melihat Sherly sedang meringkuk menyandarkan kepalanya di atas meja dengan laptopnya yang masih menyala. Tampaknya ia ketiduran saat tengah menyelesaikan pekerjaannya.
Dean mendekati Sherly perlahan-lahan. Gadis itu duduk di bawah karpet dengan badan sedikit meringkuk. Entah mengapa gadis itu terlihat sangat menyedihkan di mata Dean. Ia merasakan perasaan bersalah, haru dan juga penyesalan saat melihat wajah pulas gadis itu. Dean jadi sedikit ragu dengan misinya.
Dean mendekatinya perlahan, berjongkok di sampingnya. Mendesah kecil sambil mengamati gadis itu.
Bagus, bisa-bisanya dirinya tidur begitu nyenyak saat ada pria asing mendekatinya. Apa yang akan terjadi jika ia diserang?! Mungkin tak akan ada kesempatan bagimu untuk selamat jika itu terjadi, Sherly!
Dasar! Memang benar kamu sungguh ceroboh! Pantas saja bocah berisik itu begitu marah saat mengetahui ada pria lain tinggal bersamamu ...
Dean sejenak tertegun. Mengapa ia tiba-tiba saja tak dapat menyembunyikan perasaannya? Ia menjadi terlalu banyak berpikir saat melihat Sherly.
Dean meraih rambut Sherly yang menjuntai lembut. Mendesah lagi. Menurutnya Sherly memang gadis yang begitu ceroboh, salah satunya ini, karena tidak mengeringkan rambutnya setelah mandi tadi.
Bagaimana jika dirinya terkena flu? Seharusnya ia tahu kan jika tidur baiknya dengan rambut yang kering. Akan sia-sia semua bukan pekerjaan lembur yang ia lakukan saat ini, jika ia nanti jatuh sakit?.
Dean memutuskan untuk masuk ke kamar Sherly sejenak. Tidak perlu waktu lama untuknya menemukan pengering rambut milik Sherly yang tergeletak di atas meja riasnya.
Sejenak Dean terdiam, mengamati sebuah bingkai foto kecil di atas meja rias Sherly. Foto Sherly yang berjajar dengan seorang pria paruh baya.
Dean sedikit memicingkan matanya menatap sejenak foto tersebut. Ekspresinya kembali penuh tekad setelah melihat foto itu lagi. Memang pertemuannya dengan Sherly bukanlah murni karena kebetulan semata. Dean kembali mengingat awal mula dirinya membuntuti gadis itu, hingga akhirnya bisa menjadi tetangga apartemennya.
Selama ini Dean selalu berusaha diam-diam mengamati Sherly dari kejauhan. Dirinya awalnya bukanlah target Dean. Tetapi ... karena keterikatannya dengan pria yang ada di foto itu, mau tidak mau Dean beralih mengawasi gadis itu. Sudah sejak 3 bulan yang lalu Dean membaur diantara Sherly, disamping pekerjaannya yang lain.
Dean sebenarnya tidak ingin muncul dan menampakkan diri di hadapan gadis itu, hingga suatu hari karena kelalaiannya, gadis itu yang muncul di hadapannya dan berada di dekatnya. Melihatnya.
Dengan kebetulan juga, ia yang menolong dirinya saat nyawanya hampir di ujung tanduk karena usus buntu yang hampir pecah itu. Lagi dan lagi gadis itu setelahnya bersikap baik padanya. Karena keberuntungan itulah yang pada akhirnya bisa mempermudahnya untuk mendekatinya dan mencari semua yang ia butuhkan dari Sherly.
Dean kembali mendekati Sherly dengan pengering rambut di tangannya. Ia kemudian duduk membelakangi Sherly, mulai menyalakan pengering rambut dan mengarahkan ke rambut basah milik Sherly.
Bagi Dean, normalnya orang akan terbangun saat disentuh sedikit saja. Tapi tidak bagi gadis ini. Ia bahkan tidak terganggu sama sekali dengan suara deru angin hangat yang keluar dari pengering rambutnya. Ditambah sentuhan-sentuhan jemari Dean yang menyisir rambutnya, harusnya itu sudah cukup untuk membangunkan gadis itu.
Dean menggeleng-gelengkan kepalanya, menatapnya dengan heran. Sherly tidur seperti orang yang pingsan. Bagaimana gadis ini bisa tinggal dengan tenang di sini dengan semua kecerobohannya itu? Sungguh orang yang tidak memiliki kewaspadaan sama sekali.
Sherly sesekali hanya menggeliat dan bergeser sedikit. Tetapi tetap tidak terbangun sama sekali. Hingga Dean selesai mengeringkan rambutnya, Sherly masih tertidur nyenyak.
Dean merapikan kembali pengering rambut ke dalam kamar Sherly. Kembali lagi dengan membawa bantal dan selimut besar milik gadis itu. Ia memposisikan kepala Sherly agar nyaman dengan posisi tidurnya di atas karpet. Tak lupa sedikit menggeser meja di depan Sherly, agar gadis itu memiliki ruang gerak yang cukup leluasa.
Dean sengaja tidak memindahkan Sherly ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin membangunkan dan mengusik tidur nyenyaknya. Walau Dean ragu Sherly akan terbangun saat dirinya benar-benar melakukan hal itu.
Sebelum kembali ke kamar, Dean memandangi sejenak wajah Sherly. Mulutnya yang sedikit terbuka membuat Dean tersenyum.
___Esoknya___
Sherly menggeliat saat mencium aroma yang menggugah seleranya. Wangi roti panggang dan kopi yang harum memenuhi indra penciumannya.
"Selamat pagi ..." ucap Dean sambil berlutut di samping Sherly.
Sherly menggeliat dan mengerjap beberapa kali hingga akhirnya ia mulai tersadar. Begitu tersadar, Sherly bangun dengan tiba-tiba begitu saja. Tepat saat ia terbangun, Dean dengan sigap menghalangi pinggiran meja dengan tangannya. Kepala Sherly nyaris saja terbentur jika Dean tak ada di sana.
"Berhati-hatilah!" Dean begitu terkejut melihat Sherly hampir celaka.
"Jam berapa ini?" tanyanya panik
"Masih pukul 7, tak perlu khawatir kau akan terlambat bekerja."
Sherly menghembuskan napasnya lega. Baru sedetik ia tersadar, kepanikan sudah melandanya lagi saat dilihatnya laptop di atas mejanya yang masih terbuka dengan pekerjaannya yang belum selesai.
"Oh ya Tuhan ... pekerjaanku belum selesai!" teriaknya panik. Buru-buru Sherly melanjutkan pekerjaannya saat itu juga.
"Masih banyak? Bukankah kau harus sarapan dulu?" tanya Dean.
"Tidak sempat! Aku harus menyelesaikan ini. Ini bahan untuk meeting penting dengan klien kami hari ini" tangannya sibuk di atas keyboard laptopnya.
Bertepatan dengan kepanikannya, bel pintu apartemen Sherly berbunyi. Dean bergegas membuka pintu untuk mencari tahu siapa tamu mereka sepagi ini.
Well....well....si bocah berisik ini lagi. Batinnya geram.
Mau tak mau Dean membuka pintu dan melihat Nick berdiri di sana. Dean hanya memandang Nick datar tanpa mempersilakannya masuk setelah ia membukakan pintu.
"Siapa, Dean?" tanya Sherly dari kejauhan.
"Aku!" Nick segera menyahut dari luar. Dean memicingkan kedua matanya dan menatapnya dengan sebal.
Sherly menganga mendengar suara Nick. Kepanikannya kian melanda karena ia belum menyelesaikan pekerjaannya.
Dean masih menahan pintu, menoleh sebentar ke arah Sherly, "Sayang ... pergilah ke kamar mandi, kau tak ingin menerima tamu dengan penampilan seperti itu bukan? Bersiaplah ... berpakaianlah!" serunya.
Giliran Nick mengatupkan rahangnya mendengar ucapan Dean. Saat Nick hendak melangkah masuk, Dean kembali menghalanginya.
Walau sedikit bingung, karena kepanikannya Sherly segera bergegas ke kamar mandi. Terburu-buru menutup pintu kamar mandi, hingga menabrak rak kecil yang ada di dalamnya.
"Prangg!!"
Sherly terpekik karena menjatuhkan salah satu botol kosmetiknya. Suara pecahan kaca dari botol yang terdengar sampai luar, sontak membuat kedua pria itu terkejut dan panik.
Dean dan Nick bergegas, berlomba-lomba untuk segera sampai di depan kamar mandi.
"Stop!" Dean menghentikan langkah Nick. Menahan lengannya agar tidak melangkah lagi.
"Kau tak apa-apa ... Sher ... Sayang?" Dean langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya.
Sherly yang masih sedikit shock hanya berdiri mematung.
"Kau tak apa-apa?" tanya Dean mengagetkannya.
"Kenapa kau berteriak padaku untuk segera ke kamar mandi? Aku panik dan tak sengaja menjatuhkan botolku." Sherly berbisik sedikit protes.
"Maafkan aku ... hanya saja ... tunggu! jangan bergerak!" Dean menahan lengan Sherly. Dengan sigap mengangkat Sherly ke dalam bathtub. Sherly terpekik kecil karena terkejut.
"Apa yang kau lakukan?" protesnya
"Kakimu berdarah, apa kau tak lihat? Tetaplah di sana sementara aku membersihkan pecahan kacanya."
"Sudahlah, biar aku saja ..." ucap Sherly gugup.
"No!" balas Dean.
"Ta... tapi kau sendiri akan terkena pecahan kaca. Kau juga jangan bergerak sembarangan. Kau bahkan mengangkatku."
"Bisakah kalian berdebatnya nanti saja? Halo!? Kalian sedang ada tamu yang menunggu by the way!! Sherly apa kau baik-baik saja?" Nick dari luar kamar mandi berteriak, memotong perdebatan mereka.
Dean memutar kedua bola matanya. "Bocah berisik ..." gumamnya.
"Mandilah di dalam bathtub. Jika selesai panggil aku."
Dean menyerahkan handuk mandi dan sebotol sabun kepada Sherly. Setelah itu, ia segera keluar.
"Apa ia baik-baik saja?" tanya Nick ketika Dean keluar.
"She's fine." jawab Dean singkat. "Ia hanya sedikit tergores."
"Wajah? Lengan? Atau kakinya? Parahkah?" tanya Nick lagi.
Dean menghembuskan napasnya, sedikit kesal. "Apa sekarang kau terang-terangan mengkhawatirkan kekasih orang lain?" Dean mengerutkan keningnya.
"Fine ..." Nick membalikkan badannya, menuju ruang TV. Ia sedikit mengerutkan alisnya saat melihat ruang yang berantakan itu.
"Apa Sherly tidur di sini semalaman?" tanya Nick, menebak dari bantal dan selimut yang masih tergeletak di bawah karpetnya.
"Menurutmu?" Dean bergegas mencari plester dan obat di dalam kotak obat.
Nick melihat laptop Sherly yang masih terbuka dengan pekerjaannya yang belum selesai. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah dapat menduga jika pekerjaan Sherly belum selesai hanya dengan melihatnya saja.
"Pantas pekerjaannya belum selesai. Sebagai kekasih yang baik seharusnya kau tidak mengganggunya saat ia sedang bekerja." gerutu Nick dengan asal menuduh Dean.
Dean lagi-lagi memutar kedua bola matanya. Baginya bocah berisik yang bernama Nick itu sungguh sangat mengganggunya.
"Sebagai bos yang baik sudah seharusnya kau tak menimpakan banyak pekerjaan pada karyawanmu hingga ia terpaksa membawa pekerjaannya pulang dan lembur di rumah. Kau tak tahu betapa kelelahannya karyawanmu itu, bukan?"
Dean acuh tak acuh membalas perkataan Nick. Ia kembali ke pekerjaannya yang belum selesai. Menyiapkan sarapan.
Nick melirik tajam Dean. Walau begitu, dalam hati ia membenarkan perkataan Dean. Ia lalu memutuskan untuk duduk dan melanjutkan pekerjaan Sherly yang masih belum selesai.
Kedua pria yang sedang bersitegang tersebut saling diam dengan pekerjaan masing-masing. Dean memasak, sedang Nick menggarap laporan.
Hingga beberapa waktu kemudian, Dean tak tahan lagi. Ia kemudian menghampiri Nick. Mengacakkan pinggangnya dengan kesal.
"Apa kau merasa nyaman?" tanyanya
Nick tak melirik Dean sedikit pun. Ia tetap mengerjakan pekerjaannya.
"Kenapa? Apa kau terganggu?" balasnya acuh.
"Kau pagi-pagi datang ke apartemen seorang gadis yang tinggal bersama dengan kekasihnya, apa menurutmu itu tidak mengganggu?"
"Kenapa kau berpikiran negatif? Aku hanya menjemput asistenku yang kebetulan mobilnya tertinggal di kantor"
Dean mengatupkan rahangnya kesal. Jelas itu hanya alasan yang dibuat-buat.
"Dia kekasihku." tegasnya.
"Lalu?"
"Apa kau akan terang-terangan sekarang?"
"Yap...! Terima kasih atas pencerahanmu kemarin. Aku jadi tersadar bahwa selama ini aku sudah membuang-buang waktuku. Sekarang aku memutuskan akan memenangkan Sherly bagaimana pun caranya, dan mengambilnya dari kekasih sepertimu." Kali ini Nick menghentikan kegiatannya dan menatap Dean serius.
Dean balas menatap tajam Nick. Ia mengepalkan kedua tangannya.
"Kau takut?" tantang Nick dengan senyum mengejek.
"Coba saja kalau kau bisa."
Dean dan Nick saling melemparkan tatapan tajam. Ego mereka masing-masing merasa tertantang dan tersaingi.
____****____"Now what?! Lagi-lagi kalian begini. Apa kalian sedang saling berduel atau semacamnya?" Sherly memecah keheningan yang tercipta diantara Dean dan Nick. Sebelumnya, tak ada yang menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh dari mereka sampai Sherly buka suara. "Kau sudah selesai?" tanya Dean yang langsung menghampirinya. Dean segera meraih plester dan obat untuk luka Sherly. "Duduklah," Dean membimbing Sherly ke kursi terdekat. "Aku tak apa-apa Dean." "Sudah kukatakan untuk memanggilku saat kau selesai mandi. Apa kau menginjak pecahan kaca lagi? Di sana masih banyak kaca yang berserakan." Dean berlutut dan memeriksa telapak kaki Sherly secara otomatis. Wajah Sherly tiba-tiba memerah dengan perlakuan Dean. Tanpa sadar Sherly mencengkeram kencang jubah handuk mandinya saat Dean mengoles obat untuk lukanya. Sentuhan Dean pada kakinya sangat menggelitik, sekaligus membuatnya tersipu. Sherly berusaha menahan debaran jantungnya saat Dean memeriksa kakinya dan beralih ke kaki satunya
Sherly bergegas menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar Dean dirawat. Sore tadi Sherly mendapat kabar dari Chris bahwa Dean berada di rumah sakitnya lagi. Sherly menelepon Dean untuk memastikan sendiri berita itu. Sherly baru dapat bergegas menuju rumah sakit setelah meninggalkan kantor pukul tujuh malam tadi. "Kau tak apa-apa?" serbu Sherly begitu memasuki kamar Dean. "Dia tak apa-apa, mungkin karena beberapa aktivitasnya yang berlebihan saja jadi bekas operasinya terasa nyeri," Chris yang berdiri di samping Dean menjelaskan padanya. "Memang apa yang kau lakukan?" tanya Sherly heran. "Apa gara-gara membersihkan pecahan kaca di kamar mandi?" tanya Sherly lagi. Chris sedikit menahan senyumnya karena geli. Betapa polos pemikirannya. Andai gadis itu tahu apa pekerjaan yang Dean lakukan selama ini, ia pasti akan terkena serangan jantung. Dean sedikit mengerutkan alisnya, bingung akan menjawab apa. "Bukan? A .. atau ... karena kau sempat membopongku? Mungkin karena aku berat, jadi
"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika. "Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?" Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati! Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya. Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati. "Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban. Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya. Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman. Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Benar, mereka memang mengincar Sherly! Dean kembali bernapas lega setelah berhasil membawa Sherly dan dirinya keluar dari sana. Tapi kelegaannya tak berlangsung lama, pasalnya ketika ia menoleh ke arah Sherly, gadis itu sedang melipat kedua tangannya dan menatapnya dengan tajam. Dean sedikit kikuk dan mengerjap. Ia tahu dari cara Sherly menatapnya, ia pasti dalam masalah sekarang. Bagus..!! Habislah aku!! Batinnya. "Bisakah kau jelaskan semua sikapmu ini, Tuan Dean?" tanya Sherly dengan dingin. Dean menarik napasnya, mempererat kemudi sembari berpikir alasan apa yang akan ia lontarkan pada gadis itu. "Ehm ... jelaskan apa?" Dean berdehem untuk menutupi kegugupannya. Sherly memicingkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan kesal. "Sejak dari rumah sakit kau terus diam dan mengabaikanku. Bahkan di restoran kau tidak mempedulikanku. Hanya menjawabku sekenanya saja. Jika kau memang tidak suka dengan makanannya lebih baik kau bilang saja padaku. Ka ... kau bahkan tidak mau
Sherly menutup pintu kamarnya perlahan. Debaran di dalam dadanya saat ini sangat kencang, sehingga dirasa jantungnya seolah akan meledak. Sungguh gilaa!! Apa yang sudah kulakukan?!! Sherly menghempaskan dirinya di atas ranjangnya. Memukul-mukul bantalnya dengan frustasi. Akan menanyakan perasaan apa? Mendapat kepastian apa? Omong kosong! Kau malah menciumnya Sher...!! Baguss!! Bagaimana kau akan menghadapinya besok?! Hanya karena dadanya terlihat seksi, bukan berarti kau bisa terlena kan! Sungguh gila ... benar-benar gila! Benar-benar hal yang paling gila yang pernah kulakukan!! Sher bodoh! bodoh! bodoh! Perang batin yang menyiksa Sherly membuatnya semakin frustasi. Ia menyesal karena telah melakukan tindakan bodohnya lagi! Tapi semua telah terjadi, ia hanya harus memikirkan bagaimana akan menghadapi Dean besok. ___esoknya___ Pagi ini Sherly sudah menyisir rambutnya untuk yang kesekian
Bagaimana hariku bisa menyenangkan? Jika sepagi ini saja aku sudah dihantui rasa ingin tahu tentang pertemuan Dean nanti malam. Apa benar ia akan pergi menemui Adriana? Aakh ...!! Kesal! Sherly tanpa sadar menggigiti ujung pulpennya "Sher ... Sherly...!!" Panggilan Nick seketika memecah lamunannya. "Apa kau lapar? Kau belum sarapan?" tanyanya ketika melihat Sherly melamun sambil menggigiti ujung pulpennya. "Ah ... ya Nick? Ti ... tidak ... aku sudah sarapan kok tadi" sanggah Sherly gugup. Sherly sedikit merona begitu tersadar dari lamunannya. Terlebih karena reaksi teman-temannya yang lain yang menahan tawanya karena pertanyaan yang Nick lontarkan kepadanya itu. "Fokuslah!" Nick menggelengkan kepalanya, seolah hal itu adalah hal yang biasa, yang memang "khas" gadis itu, dimana ia bisa sering tidak fokus bekerja jika belum makan. Sherly sedikit cemberut, karena Nick sering memperlakukannya selayaknya seorang anak kecil di depan teman-teman kerjanya yang lain. Dan perlakuannya itu
Nick membuka pintu mobilnya untuk mempersilakan Sherly masuk. Nick sangat bersemangat dengan makan malam yang akan dilakukannya dengan Sherly sebentar lagi. Gadis itu tampak cantik dengan mini dress hitamnya yang berlengan panjang. Kaki mungil Sherly tampak terlihat indah dengan paduan high heels yang senada dengan gaunnya malam ini. Rapi, formal dan sekaligus cantik. Tidak terlalu berlebihan, tetapi terlihat manis. Seperti itulah Sherly di mata Nick. Restoran tempat mereka makan malam terbilang cukup romantis. Dengan pemandangan yang kental dengan nuansa alam dan lampu yang berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi begitu hangat. Tempat makan mereka dikelilingi oleh tanaman-tanaman yang berjajar rapi dan tertata begitu indah. Pencahayaan yang remang-remang memberikan kesan yang lebih privasi. "Wow ..." Sherly berdecak kagum dengan nuansa restoran yang begitu indah. "Silakan, indah bukan?" Nick menarik kursi untuk Sherly. Kemudian mengambil tempat tepat di depan gadis tersebut. N
Nick sadar ungkapan perasaannya pada Sherly pasti telah membuat gadis itu begitu terkejut. Tak banyak obrolan atau pembicaraan yang mereka lakukan saat dirinya mengantarkan gadis itu kembali ke apartemennya. Nick tidak meminta jawaban. Nick juga tak akan memaksa Sherly untuk menerima perasaannya. Nick hanya ingin mengungkapkan apa yang sudah semestinya ia lakukan bertahun-tahun yang lalu. Walau sudah terlambat, Nick hanya ingin Sherly tahu tentang perasaannya kepadanya selama ini. Dan sejujurnya dirinya masih berharap untuk dapat memiliki Sherly. Nick bersumpah, sedikit saja pria manipulatif itu membuat celah, ia tak akan segan-segan untuk merebut Sherly darinya. Dan begitu dirinya mendapat kesempatan itu, ia berjanji tak akan pernah melepaskan Sherly selamanya. **** Masih dalam keadaan linglung, Sherly masuk ke dalam kamarnya. Setelah meletakkan semua barang bawaannya, ia merebahkan diri di kasurnya. Sherly mengingat-ingat kem
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters