Suasana aneh dan canggung terlihat sangat kentara saat Sherly, Nick, dan Dean duduk berhadapan dalam satu meja. Tatapan waspada, dingin dan penuh dengan selidik saling mereka lemparkan satu sama lain.
Malam ini mereka duduk di satu meja untuk makan malam bersama di apartemen Sherly. Entah mengapa, Nick sangat bersikeras untuk ikut makan bersama sepulang kerja tadi.
"Mari kita mulai makan," Sherly membuka percakapan agar suasana tegang yang tercipta di atas meja makannya sedikit mencair.
Sepulang dari kantor tadi Nick bersikeras mengantarkan Sherly pulang ke apartemennya. Mau tidak mau mobil Sherly harus ia tinggalkan menginap di kantor.
"Silakan ..." Dean bersikap sopan dengan mempersilakan Nick menyantap hidangan makan malam yang telah disiapkannya. "Semoga cocok dengan seleramu," ucapnya lagi dengan wajah datar.
Mereka mulai menyantap hidangan yang Dean siapkan.
Dari raut wajahnya, terlihat jelas Dean merasa sedikit kesal, pasalnya saat ia sedang menyiapkan makan malam tadi, Sherly muncul dengan pria yang entah dari mana asalnya yang terlihat begitu akrab dengannya, tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Sayang, ini ..." Dean menyodorkan piringnya yang berisi steik yang sudah terpotong-potong kepada Sherly. Sherly sedikit terkejut dengan perlakuan mesra Dean yang tiba-tiba. Dirinya masih merasa asing dengan panggilan yang ditujukan untuknya itu. Walaupun ia tahu Dean hanya berpura-pura di depan Nick, tapi sebelumnya memang tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu.
Dean menukar piringnya dengan piring milik Sherly. Mau tak mau Sherly menerimanya. Walau sebenarnya Sherly merasa canggung dan malu karena Nick selalu mengawasinya, tetapi di dalam hatinya, ia juga sekaligus merasa melayang dengan perhatian Dean.
Aksi Dean tadi memancing reaksi Nick, tepat sesuai dengan prediksi yang Dean pikirkan. Nick sedikit mengerutkan alisnya, sangat tidak suka dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya itu.
"Sudah berapa lama kalian menjadi kekasih?" tanyanya tiba-tiba.
Nick sangat kesal, karena dimatanya juga Dean hanyalah seorang pria asing yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu merebut satu-satunya gadis yang sudah dijaganya sejak lama.
"Belum lama." jawab Dean sambil memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya.
"Oh ya, bagaimana kalian bertemu?
"Aku adalah tetangga Sherly" jawabnya lagi.
"Tetangga? Mengapa kau tinggal di apartemennya jika kau adalah tetangganya?" Rupanya Nick masih ingin tahu tentang Dean.
"Karena Sayangku ini yang memintaku untuk tinggal bersama." jawab Dean tenang. Sedang Sherly sendiri sedikit tersedak saat Dean lagi-lagi memanggilnya sayang.
Puas??! Sekarang bagaimana?! Batin Dean. Dean sedikit tersenyum sinis.
Nick refleks menoleh kearah Sherly. Matanya membulat karena terkejut. Tatapannya seolah bertanya tentang kebenaran ucapan Dean.
Sherly mengerjap tampak sedikit gugup. Ia kemudian meneguk segelas air di depannya untuk mengurangi kegugupannya.
"Begini, Dean kan habis menjalani operasi Nick ... dan ia membutuhkanku untuk merawatnya. Dirinya juga butuh tempat yang lebih tenang," Sherly sengaja tidak menyebutkan kondisi Dean yang sudah tidak punya tempat tinggal atau uang sepeser pun seperti yang dia yakini.
"Apa kau perawatnya? Bukankah kau juga memiliki pekerjaan yang harus kau lakukan?" tanya Nick lagi.
"Dia kekasihku." Potong Dean. Nick kembali menatap Dean dengan curiga.
Dean menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia balik menatap Nick dengan tajam.
"Sherly bukan perawatku, tapi kekasihku. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaan Sayangku ini, karena ia mengkhawatirkanku. Mungkin di kantor kau memang bosnya, tetapi untuk urusan pribadinya aku rasa kau tidak perlu terlalu jauh mencampurinya. Ia tidak perlu izinmu, melapor, atau semacamnya kepadamu perihal percintaannya bukan?" jelas Dean lagi.
Nick hanya membalas ucapan Dean dengan tatapan tajam. "Apa pekerjaanmu Dean?" tanyanya lagi.
Dean meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring. Menatap Nick secara terang-terangan, "Apa sekarang aku sedang diwawancarai?" tanyanya. Kali ini Dean sedikit tersenyum, tetapi sorot matanya menyiratkan sebaliknya.
"Mungkin saja ..." Nick mengangkat kedua bahunya dengan acuh.
"Aku hanya bertanya karena bentuk rasa sayang dan peduliku sebagai seorang teman terbaik dan terdekatnya. Aku hanya ingin tahu kekasih seperti apa yang dipilih Sherly, yang menurutku mungkin lebih pantas untuk menjadi ayahnya itu," sindir Nick halus.
Dean tertawa seolah tak percaya dengan apa yang telah di dengarnya.
Apa katanya? Ayah?! Wah! ... aku tidak setua itu dasar bocah! Batinnya kesal.
Sherly melirik Dean dan Nick dengan was-was. Ia masih mengamati keadaan yang diprediksinya akan semakin memanas seiring percakapan yang terus berlanjut diantara mereka.
"Benarkah? Jika aku ayahnya, maka aku anggap kau hanya seorang bocah yang mungkin sedang merengek untuk mencari perhatian saja?" ledek Dean halus.
"Bo... bocah?!" seru Nick kesal.
"Jika bukan begitu, kau seharusnya bisa menerima fakta bahwa semua yang Sherly mau, dan keputusan yang ia ambil adalah haknya. Dan kau seharusnya menghormati itu. Bukan memperdebatkan dan mempermasalahkan semuanya."
Sherly akhirnya menghela napasnya, "Bisakah kita makan dengan tenang?" Timpalnya kemudian.
"Nick, aku tahu kau mencemaskanku. Maaf aku tidak memberitahumu sebelumnya. Aku akan menceritakan semuanya nanti" Sherly menepuk-nepuk ringan tangan Nick, berusaha untuk menenangkannya.
"Dan Dean, kau sudah berlaku tidak sopan kepada tamuku."
Dean menatap Sherly kesal karena tidak suka dengan apa yang dilihatnya, dan dengsn tegurannya itu. Nick tersenyum puas.
"Tapi Sayang ... dia yang memulai duluan"
"Tapi tetap saja ..." Sherly menghentikan ucapannya. Entah mengapa hatinya tergelitik setiap kali Dean memanggilnya sayang. Ia hanya berdehem kecil karena merona.
"Dan kenapa juga kau harus menceritakan semuanya kepadanya? Seperti kau berhutang penjelasan atau semacamnya saja?" tanya Dean sedikit gusar.
"Lalu ... memangnya apa yang akan kau ceritakan? Apa kau akan menceritakan semua kegiatan kita di dalam apartemen ini?" Dean kesal dengan pertanyaannya sendiri, terlebih kepada Sherly.
"Hah? Ma ... maksudku bukan begitu Dean... hanya saja..." Sherly sedikit terkejut dengan nada ketidaksukaan Dean. Dean imut yang dilihatnya tadi pagi seolah menghilang dan berganti dengan Dean yang kesal. Yang pasti ia tampak merajuk dan seperti kekasih sungguhan yang sedang cemburu kepada pasangannya.
"Memangnya ia tidak bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri? Kau adalah kekasihku dan kita sekarang tinggal bersama." tegas Dean.
"Bukankah itu sudah jelas Tuan Nick? Jadi jangan mencampuri urusan kami lagi. Sherly sudah memilikiku, tidak ada ruang lagi baginya untuk peduli atau memikirkan perasaan pria lain." lanjut Dean yang ditujukan untuk Nick.
Nick menggenggam erat garpunya. "Oh ya? Well ... tapi bagaimana ini, sayangnya aku bukan hanya sekadar pria lain bagi Sherly." jawabnya kemudian. Dean memicingkan matanya mendengar balasan Nick.
Sherly menghela napasnya lagi. Ia mulai terlihat kesal dengan ketegangan yang terjadi diantara kedua pria itu.
"Oke cukup...!! Ada apa sih dengan kalian? Bukannya kalian baru pertama kali bertemu? Kenapa seolah sudah tercipta permusuhan diantara kalian? Coba kalian jelaskan!"
Nick dan Dean refleks menatap Sherly secara bersamaan. Benarkah?? Apa gadis itu benar-benar tidak mengerti situasinya? Batin mereka. Dean dan Nick sangat gemas melihat ketidakpekaan Sherly.
Kau! Kaulah alasan kami bermusuhan! Kau dengan kecerobohan alamimu yang tiba-tiba memiliki kekasih dan membiarkan orang asing ini masuk! Batin Nick kesal.
Tak butuh alasan. Jelas bocah ini dulu yang mulai memusuhiku dan menggangguku dengan mulut berisiknya! Batin Dean.
Dua-duanya bergumul dengan pikiran masing-masing. Jelas tak ada satu pun diantara mereka yang menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri ketegangan tersebut.
Sherly menggeleng tak percaya. Ia meletakkan garpu dan pisaunya. "Aku rasa aku sudah tak berselera makan lagi. Aku akan masuk ke kamarku. Aku harap kalian bisa menyelesaikan masalah kalian, apa pun itu."
Dean dan Nick menatap Sherly dengan bingung.
"Ta ... tapi kau kan sudah menghabiskan makananmu, Sayang ..." timpal Dean sambil mengawasi kepergian Sherly.
Sherly menatap Dean sinis, "Hanya untuk kesopanan saja aku menghabiskannya, oke?" terangnya. Sherly langsung pergi meninggalkan mereka.
Walau begitu, setelahnya mereka tetap saling menatap dengan tajam. Sama-sama saling memicingkan matanya.
"Oke ... aku akan langsung saja." Nick memulai pembicaraan.
"Kau tahu benar kan, hanya laki-laki bodohlah yang tidak menyadari atau mengetahui dengan jelas betapa polos dan baiknya Sherly. Aku juga tahu benar, kita tidak termasuk ke dalamnya. Jadi aku akan bertanya padamu, kapan kau akan pergi darinya? Karena entah bagaimana caramu memperdayanya, dari penglihatanku kalian bukanlah seperti sepasang kekasih sungguhan."
Dean mengerutkan sedikit alisnya. Tampak tidak terlalu suka dengan pernyataan Nick. Walau memang tebakannya benar. "Kau menyukainya bukan?" tembak Dean langsung.
Nick sedikit terkejut. Rupanya Dean sudah menyadari perasaannya. Ia tak mengira pria itu begitu cepat tanggap.
Tebakanku benar rupanya... Batin Dean.
"Apa pun yang kau rasakan aku tidak peduli. Apa karena itu maka kau menahannya untuk tetap berada di sisimu bagaimana pun caranya? Jangan membebaninya dan mempersulitnya dengan perasaanmu. Jangan memanfaatkannya hanya untuk kepentinganmu."
Nick menggebrak meja makan dengan wajah memanas.
"Aku? Memanfaatkannya?! Di sini jelas kaulah yang sedang memanfaatkannya! Awas saja kalau kau macam-macam dengannya." ucap Nick geram.
Dean menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. "Aku kekasihnya. Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Yang seharusnya melindunginya dari pria yang memiliki maksud tersembunyi adalah aku. Bukan porsimu"
"Dan untukmu, cukup pada posisimu yang sekarang saja, jangan melebihi batas. Bukankah hal yang paling kau takuti adalah jika kehilangannya, jika kau mengungkapkan perasaanmu padanya? Jika kau ingin Sherly tahu perasaanmu maka ungkapkanlah dan jangan membuatnya bingung atau kesusahan. Tapi jika kau terlalu takut untuk mengungkapkannya, maka diamlah selamanya." tegas Dean.
Nick mengepalkan kedua tangannya. Menatap Dean dengan geram tanpa mengatakan sepatah kata pun. yang diucapkannya memang benar. Dan Nick tidak dapat membantah itu. Nick membalikkan badannya, dan keluar begitu saja dari apartemen Sherly dengan kesal.
Sekepergian Nick, Dean melempar lap makan dengan asal-asalan. Entah mengapa perasaannya menjadi kesal. Memang benar yg dikatakan pria itu, bahwa ia sedang memperdaya dan memanfaatkan Sherly. Tapi bukankah dirinya juga begitu? Dan mengapa ia merasa kesal berlebihan hanya karena ada seorang pria yang dekat dengan Sherly? Merasa kesal dan cemburu seperti kekasih sungguhan?
Dean mengumpat dan mengutuki dirinya sendiri. Ia akui sikapnya memang sudah berlebihan. Seperti diluar dari kebiasaannya.
Lain kali kendalikan dirimu Dean! Perintahnya untuk dirinya sendiri.
Dean dengan malas beranjak dari tempat duduknya dan mulai membenahi sisa makan malam tadi.
Sherly muncul tepat saat Dean selesai mengeringkan piring terakhir yang dicucinya. Sherly mengenakan baju tidur terusan warna pink selutut, dengan gulungan handuk yang masih terpasang di atas kepalanya yang masih basah.
"Nick sudah pergi?" tanyanya saat menyadari bahwa tamunya sudah tidak ada.
"Ya..." jawab Dean malas.
"Kalian tadi bertengkar bukan? apa yang kalian bicarakan? Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" selidik Sherly.
Ini dia ... sudah dimulai ... Batinnya.
Dean mengerutkan alisnya, sangat tidak ingin mendengar atau membicarakan si bocah berisik itu."Aku tidak mendengar jelas kalian berbicara karena sedang berada di kamar mandi. Jadi, apa kau mengenal Nick sebelumnya? Kau tidak mengusirnya kan? Walau entah mengapa tingkahnya hari ini begitu aneh, tapi sebenarnya ia baik."
Dean menarik napasnya sejenak. Lalu ia mulai berakting. Dean meraba bagian bawah perutnya tepat di mana bekas ia dioperasi. Sambil memejamkan matanya, Dean merintih kecil seperti sedang menahan sakit.
Sherly seketika terdiam dan terbelalak melihat akting Dean. Ia seketika panik, dan menghampiri Dean. Sherly menopang salah satu lengan Dean.
"Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan? Oh, apa mungkin karena kau terlalu capek? Kau seharusnya tidak perlu beberes dan mencuci piring. Bagian mana yang sakit?" tanyanya panik. Sherly memapah Dean menuju kursi terdekat. Karena dirasa mengganggu, Sherly meletakkan handuknya begitu saja, sembarangan.
Dean tersenyum kecil, rencananya untuk "membungkam" gadis itu bertanya dan berbicara tentang Nick ternyata berhasil.
"Tolong antar aku ke kamar," pintanya berlagak lemah.
Sherly menopang badan besar Dean, memastikan bahwa pria itu dapat berjalan tanpa kesakitan. Ia membantu Dean ke kamarnya, dan merebahkan badannya di atas ranjang.
"Kau tak apa-apa?" tanyanya lagi. Sherly menatap Dean dengan sorot cemas.
"Apakah bekas operasinya terbuka? Apakah sakit? Kau seharusnya tidak banyak bergerak. Apa karena kau memasak makan malam tadi dan mencuci piring jadi kau ..."
Dean meletakkan jari telunjuknya ke atas bibir Sherly untuk menghentikan ocehannya seketika. Sherly tertegun untuk beberapa saat.
"Aku tak apa-apa," ucap Dean.
Dean mengamati wajah gadis di depannya itu. Wajah polos Sherly yang tampak segar sehabis mandi tiba-tiba membuat Dean terpana. Baru kali ini ia benar-benar mengamati wajah gadis itu dari dekat.
Kulit polos Sherly yang merona tampak halus dan kenyal seperti bayi. Begitu juga bibirnya yang polos berwarna pink alami tanpa tambahan lipstik atau pewarna bibir lagi. Disamping itu, rambut basahnya yang tergerai berantakan membuat wajah polosnya jadi tampak lebih menggemaskan lagi di matanya.
Bagaimana bisa wajahnya bisa tampak seperti malaikat? Batin Dean.
Sherly rupanya sadar dengan tatapan Dean. Perlahan ia mengalihkan pandangannya. "Baiklah ... jika kau tak apa-apa, aku akan kembali ke kamarku" ucapnya gugup.
"Besok kau tak perlu mencuci piring lagi ya, jika kau yang memasak, biar aku yang mencuci piringnya. Aku akan melakukannya setelah pulang kerja."
"A .. atau sementara ini kau tak perlu melakukan apa-apa sampai kau pulih." lanjutnya lagi. Tanpa sadar Sherly mulai mengoceh lagi.
"Apa hubunganmu dengan Nick?" tanya Dean tiba-tiba.
"A ... apa?" Sherly mengerjap. Sedikit terkejut dengan pertanyaan Dean yang tiba-tiba. Ia hanya menatap Dean dengan bingung.
*******
Sherly mengerjap, tidak menyangka Dean akan mengajukan pertanyaan seperti itu yang begitu tiba-tiba. "Kau ingin tahu hubungan antara aku dan Nick?" ulang Sherly. Dean mengangguk. "Well ... aku dan Nick memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kami lumayan dekat. Dan jika tentang pekerjaan, kebetulan aku adalah asisten sekaligus sekretaris yang bekerja pada perusahaannya dan dia bosnya" "Itu saja?" tanya Dean lagi. Sherly mengangguk mengiyakan. "Apa masih ada yang ingin kau ketahui lagi?" "Apa Nick sudah memiliki kekasih?" "Setahuku belum. Kenapa?" "Yah ... hanya saja tampaknya dirinya cukup mapan. Mengapa ia belum memiliki kekasih? Apa tabiatnya buruk? Apa ia tidak dekat dengan seorang wanita? Atau apa ia memiliki orang yang disukainya mungkin?" Sherly sedikit mengerutkan alisnya, tampak heran dengan sikap Dean. "Entahlah ..." ucapnya lambat-lambat, "Aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam urusan pri
"Now what?! Lagi-lagi kalian begini. Apa kalian sedang saling berduel atau semacamnya?" Sherly memecah keheningan yang tercipta diantara Dean dan Nick. Sebelumnya, tak ada yang menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh dari mereka sampai Sherly buka suara. "Kau sudah selesai?" tanya Dean yang langsung menghampirinya. Dean segera meraih plester dan obat untuk luka Sherly. "Duduklah," Dean membimbing Sherly ke kursi terdekat. "Aku tak apa-apa Dean." "Sudah kukatakan untuk memanggilku saat kau selesai mandi. Apa kau menginjak pecahan kaca lagi? Di sana masih banyak kaca yang berserakan." Dean berlutut dan memeriksa telapak kaki Sherly secara otomatis. Wajah Sherly tiba-tiba memerah dengan perlakuan Dean. Tanpa sadar Sherly mencengkeram kencang jubah handuk mandinya saat Dean mengoles obat untuk lukanya. Sentuhan Dean pada kakinya sangat menggelitik, sekaligus membuatnya tersipu. Sherly berusaha menahan debaran jantungnya saat Dean memeriksa kakinya dan beralih ke kaki satunya
Sherly bergegas menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar Dean dirawat. Sore tadi Sherly mendapat kabar dari Chris bahwa Dean berada di rumah sakitnya lagi. Sherly menelepon Dean untuk memastikan sendiri berita itu. Sherly baru dapat bergegas menuju rumah sakit setelah meninggalkan kantor pukul tujuh malam tadi. "Kau tak apa-apa?" serbu Sherly begitu memasuki kamar Dean. "Dia tak apa-apa, mungkin karena beberapa aktivitasnya yang berlebihan saja jadi bekas operasinya terasa nyeri," Chris yang berdiri di samping Dean menjelaskan padanya. "Memang apa yang kau lakukan?" tanya Sherly heran. "Apa gara-gara membersihkan pecahan kaca di kamar mandi?" tanya Sherly lagi. Chris sedikit menahan senyumnya karena geli. Betapa polos pemikirannya. Andai gadis itu tahu apa pekerjaan yang Dean lakukan selama ini, ia pasti akan terkena serangan jantung. Dean sedikit mengerutkan alisnya, bingung akan menjawab apa. "Bukan? A .. atau ... karena kau sempat membopongku? Mungkin karena aku berat, jadi
"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika. "Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?" Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati! Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya. Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati. "Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban. Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya. Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman. Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Benar, mereka memang mengincar Sherly! Dean kembali bernapas lega setelah berhasil membawa Sherly dan dirinya keluar dari sana. Tapi kelegaannya tak berlangsung lama, pasalnya ketika ia menoleh ke arah Sherly, gadis itu sedang melipat kedua tangannya dan menatapnya dengan tajam. Dean sedikit kikuk dan mengerjap. Ia tahu dari cara Sherly menatapnya, ia pasti dalam masalah sekarang. Bagus..!! Habislah aku!! Batinnya. "Bisakah kau jelaskan semua sikapmu ini, Tuan Dean?" tanya Sherly dengan dingin. Dean menarik napasnya, mempererat kemudi sembari berpikir alasan apa yang akan ia lontarkan pada gadis itu. "Ehm ... jelaskan apa?" Dean berdehem untuk menutupi kegugupannya. Sherly memicingkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan kesal. "Sejak dari rumah sakit kau terus diam dan mengabaikanku. Bahkan di restoran kau tidak mempedulikanku. Hanya menjawabku sekenanya saja. Jika kau memang tidak suka dengan makanannya lebih baik kau bilang saja padaku. Ka ... kau bahkan tidak mau
Sherly menutup pintu kamarnya perlahan. Debaran di dalam dadanya saat ini sangat kencang, sehingga dirasa jantungnya seolah akan meledak. Sungguh gilaa!! Apa yang sudah kulakukan?!! Sherly menghempaskan dirinya di atas ranjangnya. Memukul-mukul bantalnya dengan frustasi. Akan menanyakan perasaan apa? Mendapat kepastian apa? Omong kosong! Kau malah menciumnya Sher...!! Baguss!! Bagaimana kau akan menghadapinya besok?! Hanya karena dadanya terlihat seksi, bukan berarti kau bisa terlena kan! Sungguh gila ... benar-benar gila! Benar-benar hal yang paling gila yang pernah kulakukan!! Sher bodoh! bodoh! bodoh! Perang batin yang menyiksa Sherly membuatnya semakin frustasi. Ia menyesal karena telah melakukan tindakan bodohnya lagi! Tapi semua telah terjadi, ia hanya harus memikirkan bagaimana akan menghadapi Dean besok. ___esoknya___ Pagi ini Sherly sudah menyisir rambutnya untuk yang kesekian
Bagaimana hariku bisa menyenangkan? Jika sepagi ini saja aku sudah dihantui rasa ingin tahu tentang pertemuan Dean nanti malam. Apa benar ia akan pergi menemui Adriana? Aakh ...!! Kesal! Sherly tanpa sadar menggigiti ujung pulpennya "Sher ... Sherly...!!" Panggilan Nick seketika memecah lamunannya. "Apa kau lapar? Kau belum sarapan?" tanyanya ketika melihat Sherly melamun sambil menggigiti ujung pulpennya. "Ah ... ya Nick? Ti ... tidak ... aku sudah sarapan kok tadi" sanggah Sherly gugup. Sherly sedikit merona begitu tersadar dari lamunannya. Terlebih karena reaksi teman-temannya yang lain yang menahan tawanya karena pertanyaan yang Nick lontarkan kepadanya itu. "Fokuslah!" Nick menggelengkan kepalanya, seolah hal itu adalah hal yang biasa, yang memang "khas" gadis itu, dimana ia bisa sering tidak fokus bekerja jika belum makan. Sherly sedikit cemberut, karena Nick sering memperlakukannya selayaknya seorang anak kecil di depan teman-teman kerjanya yang lain. Dan perlakuannya itu
Nick membuka pintu mobilnya untuk mempersilakan Sherly masuk. Nick sangat bersemangat dengan makan malam yang akan dilakukannya dengan Sherly sebentar lagi. Gadis itu tampak cantik dengan mini dress hitamnya yang berlengan panjang. Kaki mungil Sherly tampak terlihat indah dengan paduan high heels yang senada dengan gaunnya malam ini. Rapi, formal dan sekaligus cantik. Tidak terlalu berlebihan, tetapi terlihat manis. Seperti itulah Sherly di mata Nick. Restoran tempat mereka makan malam terbilang cukup romantis. Dengan pemandangan yang kental dengan nuansa alam dan lampu yang berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi begitu hangat. Tempat makan mereka dikelilingi oleh tanaman-tanaman yang berjajar rapi dan tertata begitu indah. Pencahayaan yang remang-remang memberikan kesan yang lebih privasi. "Wow ..." Sherly berdecak kagum dengan nuansa restoran yang begitu indah. "Silakan, indah bukan?" Nick menarik kursi untuk Sherly. Kemudian mengambil tempat tepat di depan gadis tersebut. N
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters