"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika.
"Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?"
Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati!
Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya.
Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati.
"Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban.
Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya.
Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman.
Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Benar, mereka memang mengincar Sherly! Dean kembali bernapas lega setelah berhasil membawa Sherly dan dirinya keluar dari sana. Tapi kelegaannya tak berlangsung lama, pasalnya ketika ia menoleh ke arah Sherly, gadis itu sedang melipat kedua tangannya dan menatapnya dengan tajam. Dean sedikit kikuk dan mengerjap. Ia tahu dari cara Sherly menatapnya, ia pasti dalam masalah sekarang. Bagus..!! Habislah aku!! Batinnya. "Bisakah kau jelaskan semua sikapmu ini, Tuan Dean?" tanya Sherly dengan dingin. Dean menarik napasnya, mempererat kemudi sembari berpikir alasan apa yang akan ia lontarkan pada gadis itu. "Ehm ... jelaskan apa?" Dean berdehem untuk menutupi kegugupannya. Sherly memicingkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan kesal. "Sejak dari rumah sakit kau terus diam dan mengabaikanku. Bahkan di restoran kau tidak mempedulikanku. Hanya menjawabku sekenanya saja. Jika kau memang tidak suka dengan makanannya lebih baik kau bilang saja padaku. Ka ... kau bahkan tidak mau
Sherly menutup pintu kamarnya perlahan. Debaran di dalam dadanya saat ini sangat kencang, sehingga dirasa jantungnya seolah akan meledak. Sungguh gilaa!! Apa yang sudah kulakukan?!! Sherly menghempaskan dirinya di atas ranjangnya. Memukul-mukul bantalnya dengan frustasi. Akan menanyakan perasaan apa? Mendapat kepastian apa? Omong kosong! Kau malah menciumnya Sher...!! Baguss!! Bagaimana kau akan menghadapinya besok?! Hanya karena dadanya terlihat seksi, bukan berarti kau bisa terlena kan! Sungguh gila ... benar-benar gila! Benar-benar hal yang paling gila yang pernah kulakukan!! Sher bodoh! bodoh! bodoh! Perang batin yang menyiksa Sherly membuatnya semakin frustasi. Ia menyesal karena telah melakukan tindakan bodohnya lagi! Tapi semua telah terjadi, ia hanya harus memikirkan bagaimana akan menghadapi Dean besok. ___esoknya___ Pagi ini Sherly sudah menyisir rambutnya untuk yang kesekian
Bagaimana hariku bisa menyenangkan? Jika sepagi ini saja aku sudah dihantui rasa ingin tahu tentang pertemuan Dean nanti malam. Apa benar ia akan pergi menemui Adriana? Aakh ...!! Kesal! Sherly tanpa sadar menggigiti ujung pulpennya "Sher ... Sherly...!!" Panggilan Nick seketika memecah lamunannya. "Apa kau lapar? Kau belum sarapan?" tanyanya ketika melihat Sherly melamun sambil menggigiti ujung pulpennya. "Ah ... ya Nick? Ti ... tidak ... aku sudah sarapan kok tadi" sanggah Sherly gugup. Sherly sedikit merona begitu tersadar dari lamunannya. Terlebih karena reaksi teman-temannya yang lain yang menahan tawanya karena pertanyaan yang Nick lontarkan kepadanya itu. "Fokuslah!" Nick menggelengkan kepalanya, seolah hal itu adalah hal yang biasa, yang memang "khas" gadis itu, dimana ia bisa sering tidak fokus bekerja jika belum makan. Sherly sedikit cemberut, karena Nick sering memperlakukannya selayaknya seorang anak kecil di depan teman-teman kerjanya yang lain. Dan perlakuannya itu
Nick membuka pintu mobilnya untuk mempersilakan Sherly masuk. Nick sangat bersemangat dengan makan malam yang akan dilakukannya dengan Sherly sebentar lagi. Gadis itu tampak cantik dengan mini dress hitamnya yang berlengan panjang. Kaki mungil Sherly tampak terlihat indah dengan paduan high heels yang senada dengan gaunnya malam ini. Rapi, formal dan sekaligus cantik. Tidak terlalu berlebihan, tetapi terlihat manis. Seperti itulah Sherly di mata Nick. Restoran tempat mereka makan malam terbilang cukup romantis. Dengan pemandangan yang kental dengan nuansa alam dan lampu yang berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi begitu hangat. Tempat makan mereka dikelilingi oleh tanaman-tanaman yang berjajar rapi dan tertata begitu indah. Pencahayaan yang remang-remang memberikan kesan yang lebih privasi. "Wow ..." Sherly berdecak kagum dengan nuansa restoran yang begitu indah. "Silakan, indah bukan?" Nick menarik kursi untuk Sherly. Kemudian mengambil tempat tepat di depan gadis tersebut. N
Nick sadar ungkapan perasaannya pada Sherly pasti telah membuat gadis itu begitu terkejut. Tak banyak obrolan atau pembicaraan yang mereka lakukan saat dirinya mengantarkan gadis itu kembali ke apartemennya. Nick tidak meminta jawaban. Nick juga tak akan memaksa Sherly untuk menerima perasaannya. Nick hanya ingin mengungkapkan apa yang sudah semestinya ia lakukan bertahun-tahun yang lalu. Walau sudah terlambat, Nick hanya ingin Sherly tahu tentang perasaannya kepadanya selama ini. Dan sejujurnya dirinya masih berharap untuk dapat memiliki Sherly. Nick bersumpah, sedikit saja pria manipulatif itu membuat celah, ia tak akan segan-segan untuk merebut Sherly darinya. Dan begitu dirinya mendapat kesempatan itu, ia berjanji tak akan pernah melepaskan Sherly selamanya. **** Masih dalam keadaan linglung, Sherly masuk ke dalam kamarnya. Setelah meletakkan semua barang bawaannya, ia merebahkan diri di kasurnya. Sherly mengingat-ingat kem
Dean menatap telapak tangannya. Tangan yang tadi ia ulurkan dan kemudian ditepis Sherly dengan keras. Dean mengerutkan keningnya. Ia merasa Sherly tampak sedikit aneh. Dan lagi, saat sekilas kulitnya bersentuhan dengan Sherly, ia merasa tangan gadis itu begitu panas. Apa Sherly sedang demam? Karena tadi tampaknya wajahnya juga sedikit pucat. Batinnya bertanya-tanya. Seolah tak ingin membuang waktu lagi, Dean mulai menyiapkan hidangan untuk Sherly dan berencana mengantarkannya ke kamar gadis itu. Ia tak lagi mempedulikan fakta bahwa Sherly sedikit bersikap aneh padanya tadi. Dean hanya mencemaskannya saja. Setelahnya .... Dean perlahan memutar pintu kamar Sherly. Ternyata tak terkunci, sehingga dirinya dapat masuk tanpa harus mengetuk lagi. Dilihatnya gadis itu sedang berbaring dengan selimut yang menyelubunginya. Sherly tampak gelisah di dalam tidurnya. Terlihat dari kerutan garis yang dalam di antara kedua alisnya, menandakan gadis itu sedang berpikir keras atau kemungkinan sedang
Sherly mengerjap, mengamati sekitarnya saat dirinya terbangun dari tidurnya. Tubuhnya sudah terasa jauh lebih ringan. Kepalanya juga terasa lebih baik. Sherly menilik jam di dinding kamarnya. Waktu sudah menujukkan pukul sembilan malam. Ia kemudian memutuskan untuk bangkit dan segera turun dari ranjangnya. Keadaan apartemen tampak sepi saat dirinya melangkah keluar untuk menuju ke dapur. Tenggorokannya terasa begitu kering. Mungkin karena efek obat yang dikonsumsinya tadi. Sherly mengisi dan meneguk segelas air untuk meredakan rasa hausnya. Dilihatnya lampu kamar Dean masih menyala saat ia meletakkan gelas di atas meja. Agar menghindari kemungkinan dirinya bertemu dengan Dean, Sherly memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke kamarnya sendiri. Tepat setelahnya, pintu kamar Dean tiba-tiba terbuka dan Dean keluar begitu saja. Ah... aku terlambat! Batinnya. "Kau terbangun? Apa kau sudah baik-baik saja?" Dean mendekati Sherly, meraba
Sherly segera mengakhiri dan mengirim pesan singkat kepada Nick sesaat sebelum dirinya keluar dari kamar, karena Dean telah menunggunya di luar. Siang ini ia dan Dean akan berbelanja kebutuhan makanan yang sudah mulai menipis. Dean pagi tadi sempat memberikan kunci mobilnya dan mengatakan jika Nick lah yang telah mengantarkan mobilnya kembali. Maka dari itu, Sherly mengirimkan pesan singkat pada Nick agar ia tidak salah paham tentang ketidakhadirannya kemarin di tempat kerja. "Aku yang akan menyetir," ucap Dean sembari membuka pintu keluar. "Oke." jawab Sherly. Perjalanan mereka menuju pasar swalayan terbesar yang berada di kota lumayan memakan waktu. Pasalnya jalanan perkotaan Portland begitu padat saat akhir minggu seperti sekarang. "Apa rencanamu hari ini Dean?" tanya Sherly membuka percakapan ditengah-tengah kemacetan jalan. "Hm ... biar kupikirkan. Sepertinya tak ada yang begitu mendesak" jawabnya. Sherly teringat
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters