"Di mana apartemenmu?" tanya Sherly.
Dean menunjuk pintu paling pojok yang jaraknya hanya dua unit dari kamar Sherly.
Sherly menganga, lebih karena merasa takjub. "Kau serius? Kita satu lantai? Dan bahkan aku tidak pernah bertemu denganmu atau mengenalmu sebelumnya!?" Sherly tertegun.
Sherly berjalan menuju unit itu, tampak di depannya tergeletak dua koper besar yang bersandar pada dindingnya.
Sherly menyeret keduanya bersamaan. Walau tampak sedikit bersusah payah, ia akhirnya berhasil juga membawanya ke depan tempatnya.
"Keterlaluan sekali, apa begini caranya memperlakukan penyewa? Walau kau tidak mampu lagi membayarnya, bukan berarti barang-barangmu bisa dilempar begitu saja di depan pintu." Sherly bersungut-sungut.
"Biar aku bantu ..."
"No ... jangan coba-coba. Masuklah saja, kau belum boleh banyak bergerak." Sherly sedikit mendorong Dean agar ia segera masuk ke kediamannya.
"Silakan duduk di mana pun kau mau. Kamarmu yang sebelah kiri," tunjuk Sherly. Dean duduk di sofa lembut Sherly dengan hati-hati.
Sherly membawa koper Dean satu demi satu dan memasukkannya ke dalam kamar yang sudah ia persiapkan.
"Jika tipe unit kita sama, kau tidak asing dengan letak kamar mandinya bukan?" tanya Sherly.
"Apartemenku tipe unit B, hanya ada satu kamar saja."
"Oh ya? Baiklah. Kalau begitu, kamar mandi letaknya di samping kamar yang akan kau tempati. Silakan masuk ke kamarmu kalau kau ingin beristirahat."
"Aku akan membayar separuh biaya sewa," ucap Dean kemudian
Sherly duduk di sebelah Dean. "Kau tak perlu melakukannya, aku sudah membayar semua sewaku untuk satu tahun ke depan"
"Tapi tetap saja ..."
"Apa kau punya pekerjaan?" tanya Sherly.
Dean berdehem, menelan ludahnya, "Well ... mm ... sebenarnya aku ..." Dean tidak siap menjawab pertanyaan Sherly.
"Oh ya Tuhan ... apakah mungkin? Jangan-jangan kau juga kehilangan pekerjaanmu?!" Sherly menutup mulutnya tak percaya.
Dean menatap Sherly dengan sedikit ragu hendak menjawab apa, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberi jawaban sekadarnya saja. Mengiyakan lebih tepatnya.
"Yah ... bisa dibilang ... begitu."
"Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu. Pasti kau sedang mengalami masa yang sulit ya. Jangan khawatir, kau tak perlu malu. Walau aku sudah melihatmu saat di tempat pembuangan sampah kemarin, aku sangat mengerti. Aku tidak akan menilai buruk usaha seseorang yang sedang bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhannya."
Dean membuang napasnya, rupanya gadis itu sudah salah paham terhadapnya.
"Saat itu aku sedang mencari barangku yang hilang, itu saja. Dan aku bukan pemulung, Nona." jelasnya. Sherly mengerjap. Wajahnya merona seketika menahan malu.
"Oh, benarkah? Maafkan aku. Oh ... ya Tuhan ... kau pasti merasa tersinggung"
"Tak apa-apa. Dan ... aku pastikan akan membayar semuanya setelah aku pulih dan mendapatkan tempatku sendiri"
"Tak masalah ... jangan kau pikirkan itu," balas Sherly
Dering ponsel milik Sherly berbunyi di tengah-tengah kecanggungan yang mulai terasa diantara mereka.
"Hai Lucy, ada apa?"
"Bukakan pintu sebentar lagi, kau ada di dalam kan? Aku dan yang lain hampir sampai di depan"
"Di depan? Maksudmu? Apa?! Lucy ... halo!"
Belum sempat Sherly mengucapkan apapun, Lucy sudah menutup panggilannya. Sherly sedikit panik, raut wajahnya sangat kebingungan. Ia menatap Dean dengan bimbang.
"Ada apa?" tanyanya.
"Mm ... Dean begini, mungkin beberapa temanku ..."
Belum selesai Sherly berbicara, bel apartemennya sudah berbunyi. Sherly sedikit terperanjat. Dengan segera Sherly membuka pintu apartemennya sedikit, dan hanya melongok mengeluarkan kepalanya.
"Hai Guys!.... ada apa?" dilihatnya Lucy, Cecil, dan Anthony sedang berdiri di depan pintu dengan tentengan keranjang dan plastik di masing-masing tangan mereka.
"Kami ingin berkunjung dan menghabiskan hari libur kami di sini, itu saja. Biarkan kami masuk!" Lucy sudah hendak masuk, ketika dari baliknya dengan sigap Sherly segera mendorong pintu dan menahannya kuat-kuat dengan kakinya.
"Oh, maaf teman-teman sepertinya hari ini aku sedang merasa tidak sehat ... maafkan aku," Sherly memasang wajah seolah-olah sedang lesu.
"Apa yang kau katakan? Kau tampak baik-baik saja," Cecil mengamati dengan heran. Ia berusaha mendorong pintu lagi agar dapat masuk.
"Ah cepatlah...!! Barang bawaan kami berat!"
"Tunggu! ... hei kalian!!"
Terlambat! Lucy dan yang lainnya sudah menerobos pertahanan Sherly, dan masuk ke dalam apartemennya begitu saja.
"Kau bersikap aneh sekali, seperti ada yang kau sembunyikan dari ka ..."
Semua mematung seketika, saat melihat ada sesosok pria asing di dalam apartemen Sherly. Dean masih ada di tempatnya seperti sebelumnya, perlahan ia bangkit dan mulai berdiri. Sherly dengan cepat menghampirinya untuk membantunya.
"Apa yang kau lakukan? Tetap duduk saja. Kau tak boleh banyak bergerak," ucapnya khawatir.
Teman-teman Sherly masih berdiri mematung dan mengerjap tak percaya.
"Hai teman-teman, perkenalkan, ini Dean!" ucap Sherly dengan tersenyum canggung.
"Siapa? Kerabatmu Sher? Tamu? Atau kenalanmu? Siapa dia?" tanya Cecil tanpa sadar mencecar Sherly dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Sherly menelan ludahnya, sedikit melirik Dean. Salah satu kekurangan Sherly yang sering kali membuatnya terjebak dilema adalah, karena ia sering bertindak impulsif.
Ia sering melakukan tindakan tanpa memikirkan akibatnya. Seperti saat ini, karena tidak berpikir panjang, ia sekarang kebingungan sendiri harus menjelaskan situasi keberadaan Dean kepada teman-temannya.
"Mm ... Dean adalah ..."
"Aku adalah kekasih Sherly." potong Dean tiba-tiba. Ia menegaskan pernyataannya dengan suara maskulinnya.
Tidak hanya teman-temannya, Sherly pun seketika terbelalak menatap Dean. Semua pandangan sekarang tertuju padanya.
"Ke ... kekasih...!!? Sungguh? Ia kekasihmu? Sejak kapan?! Kenapa mendadak?! Tapi aku tidak pernah melihatmu ... maksudmu benar-benar kekasih?!! Benarkah?!Kau tak pernah cerita sebelumnya kalau ... Hah!" giliran Anthony yang kebingungan. Ia akhirnya menghembuskan napasnya untuk menenangkan diri.
Dean sedikit memicingkan matanya dan menatap Anthony kesal. Heboh sekali. Memang kenapa kalau aku kekasihnya? Ada yang salah? Jika saja aku tidak sedang dalam kondisi seperti sekarang ini, kau pasti takkan berani meragukanku! Batinnya.
"Ke ... kenapa kalian tidak duduk dulu, akan aku jelaskan," ucap Sherly gugup.
Sherly kemudian duduk bersebelahan dengan Dean, berhadapan dengan teman-temannya. Ia merasa seolah sedang berada di persidangan.
"Jadi sebenarnya aku hari ini habis menjemput Dean keluar dari rumah sakit. Ia habis menjalani operasi usus buntu, maka dari itu dirinya sekarang ada di sini"
"Itu ... tidak menjelaskan bahwa Dean adalah kekasihmu. Kenapa kau tak pernah bercerita pada kami?" tanya Cecil penasaran.
"Itu karena ... kita adalah tetangga sebelumnya. Apartemennya sebenarnya hanya berjarak selisih dua kamar dari milikku"
"Lalu?" tanya Lucy tak sabar
"Lalu ... karena kita sering bertemu, maka ... kita jadian," Sherly tertawa lemah.
"Benarkah?" Cecil menatap Sherly dengan curiga.
"Itu semua benar. Aku dan Sherly memang sepasang kekasih. Ia mengantar dan menjemputku dari rumah sakit. Dan sekarang aku berada di dalam apartemennya. Dirinya bahkan membantuku memindahkan barang-barangku kemari agar kami bisa tinggal bersama, dan agar Sherly dapat merawatku selama masa pemulihanku. Apanya yg aneh? Bukankah kekasih melakukan hal-hal seperti itu?"
"Benar bukan, Sayangku ...?" dengan tiba-tiba Dean memeluk Sherly dan menyandarkan kepalanya di bahunya. Ia bahkan bertingkah imut dan bersuara seperti anak kecil yang manja.
Tak ayal lagi, semua seketika shock dan benar-benar yakin bahwa Dean memang kekasih Sherly. Kekasih yang membuat mereka merinding dengan aksi dan tingkahnya yang sok imut. Tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya!
Sherly tertawa guna menutupi kecanggungannya. Untuk meyakinkannya, ia bahkan mulai mengusap-usap kepala Dean yang bersandar di bahunya.
"Oh Sayangku imut sekali ... haha!" ucapnya seolah tersipu, padahal dibalik bajunya semua bulu kuduknya sedang berdiri.
Dean membuat senyum manis seolah-olah bahagia, tetapi di dalam hatinya mengumpat kesal.
"Oh .. aku jadi ingin sekali mencium kekasihku yang imut ini," lanjut Dean bermanja-manja lagi.
Sherly seketika membulatkan matanya menatap Dean. Seolah memperingatkannya agar berhenti bertingkah lagi.
Oke itu berlebihan! Dam** Dean! Dean lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri.
"Jadi ... bagaimana kalau beristirahat di dalam, Sayang?" Sherly mengisyaratkan Dean agar berdiri.
"Baiklah, mungkin aku memang perlu sedikit berbaring. Aku permisi dulu," Dean berdehem canggung. Sherly segera membantu Dean berjalan menuju ke kamarnya.
Sekepergian mereka, Cecil, Lucy dan Anthony hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
"Wah ... luar biasa kekasih Sherly ..." gumam Cecil
"Yeah, luar biasa membuatku ingin muntah!" lanjut Anthony.
"Kalian bergosip di belakangku ya?" selidik Sherly mendekati teman-temannya. Ia kembali lagi ke ruang tamu setelah mengantar Dean.
"Pengkhianat!" umpat Lucy
"Oke guys, kalian berhak marah, tapi ini terjadi begitu saja!" jelas Sherly
"Oh ya? Kau tak pernah bercerita sedikit pun tentang ini. Kau bahkan tidak menganggap kami teman baikmu lagi bukan?" timpal Cecil
"Bukan seperti itu, hanya saja aku tidak yakin dengan hubungan kami sebelumnya. Dan tiba-tiba terjadi begitu saja ... He's so cute isn't he?" ucap Sherly sambil tersenyum manis dan berkedip genit.
Semua teman Sherly saling berpandangan ngeri mendengar pernyataan Sherly, "Oke ... aku merinding. Sebaiknya aku pergi dari sini!" balas Cecil. Yang lainnya mengangguk setuju.
"Kau bukan teman kami mulai besok, Nona ..." Anthony menunjuk Sherly dengan tatapan tajam yang dibuat-buat.
"Oh ... ayolah guys ...!" rajuk Sherly.
"Bye!!... selamat merawat kekasih imutmu itu... Oh bye the way... semua makanan ini buat kalian saja. Kami akan ke tempat yang lebih asyik dan bersenang-senang tanpa nona pengkhianat hari ini!" Lucy melambaikan tangan, diikuti oleh Cecil dan Anthony di belakangnya.
Dan mereka semua pergi meninggalkan apartemen Sherly. Sherly dapat menghembuskan napasnya tanda lega.
Syukurlah...! Kalimat-kalimat 'geli' yang membuat merinding adalah penyelamat disaat situasi terdesak!
"Mereka pergi?" tanya Dean yang tiba-tiba sudah ada di belakang Sherly.
Sherly sedikit terperanjat dengan kehadiran Dean "Ya ... mereka semua pergi. Dan kau kenapa ..."
"A ... a ... jangan bertanya apa-apa lagi. Tadi adalah cara yang aman, cepat, dan efektif untuk menjelaskan situasi kita, benar?" potong Dean
"Tapi kenapa harus mengatakan kita adalah sepasang kekasih?" tanya Sherly.
"Kenapa tidak? apa kau memiliki kekasih?"
"Tidak." jawab Sherly
"Apa kau sedang menyukai orang lain?"
"Tidak." Sherly menggeleng.
"Apa kau merasa aku tidak pantas untuk jadi kekasihmu?"
"Tidak juga ... bukan begitu," tanpa sadar Sherly menggeleng lagi.
"Bagus! Berarti kita tidak ada masalah!" Dean tersenyum puas.
Sherly sedikit tercekat melihat senyum Dean. Baru kali ini ia melihatnya tersenyum. Dan itu sungguh, sungguh ... sungguh sangat membuatnya berdebar! Sherly mengerjapkan matanya dengan gugup.
Oh ... sial! mengapa aku sangat lemah terhadap hal-hal yang imut?
Sherly menghembuskan napasnya perlahan. Berusaha menghilangkan debarannya. Wajahnya terasa menghangat seketika.
"Tampaknya, kita akan berpesta hari ini... yeaay!!" serunya mengalihkan tatapan Dean. Sherly pura-pura sibuk membuka makanan yang menumpuk di atas meja untuk menghilangkan kecanggungannya.
Tanpa Sherly sadari, Dean pun sedikit merona. Ia sedikit membuang muka dari gadis yang sedang ada di hadapannya itu.
Oke.. mulai hari ini malam-malamku pasti akan terasa panjang ... Batin Sherly merana.
____****____Sherly mengikat rambutnya dengan kuncir ekor kuda. Hari ini tampilannya sangat kasual. Jeans biru terang dan kemeja katun putih menjadi baju pilihannya untuk pergi ke kantor hari ini. Sherly segera menyambar tas kerjanya sebelum keluar dari kamar. Sherly melihat Dean sedang berdiri di dapurnya saat ia keluar dari kamarnya. Ia kemudian menghampirinya, mengambil sebuah cangkir hendak membuat kopi. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya "Membuat sarapan. Hai, selamat pagi." ucapnya sambil memperlihatkan sepiring pancake yang sudah tertata rapi. "Wow ... kau bisa membuat sarapan rupanya," gumam Sherly takjub "Duduklah ... mari kita makan bersama. Dan jangan minum kopi karena aku sudah menyiapkan jus jeruk segar" Sherly lagi-lagi tampak takjub dengan pekerjaan yang Dean lakukan. Ia segera mengambil tempat untuk duduk, dan siap di depan meja makan diikuti oleh Dean. "Ini enak ..." Sherly tersenyum senang setelah mencicipi makanan bu
Suasana aneh dan canggung terlihat sangat kentara saat Sherly, Nick, dan Dean duduk berhadapan dalam satu meja. Tatapan waspada, dingin dan penuh dengan selidik saling mereka lemparkan satu sama lain. Malam ini mereka duduk di satu meja untuk makan malam bersama di apartemen Sherly. Entah mengapa, Nick sangat bersikeras untuk ikut makan bersama sepulang kerja tadi. "Mari kita mulai makan," Sherly membuka percakapan agar suasana tegang yang tercipta di atas meja makannya sedikit mencair. Sepulang dari kantor tadi Nick bersikeras mengantarkan Sherly pulang ke apartemennya. Mau tidak mau mobil Sherly harus ia tinggalkan menginap di kantor. "Silakan ..." Dean bersikap sopan dengan mempersilakan Nick menyantap hidangan makan malam yang telah disiapkannya. "Semoga cocok dengan seleramu," ucapnya lagi dengan wajah datar. Mereka mulai menyantap hidangan yang Dean siapkan. Dari raut wajahnya, terlihat jelas Dean merasa sedikit kesal, pasalnya s
Sherly mengerjap, tidak menyangka Dean akan mengajukan pertanyaan seperti itu yang begitu tiba-tiba. "Kau ingin tahu hubungan antara aku dan Nick?" ulang Sherly. Dean mengangguk. "Well ... aku dan Nick memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kami lumayan dekat. Dan jika tentang pekerjaan, kebetulan aku adalah asisten sekaligus sekretaris yang bekerja pada perusahaannya dan dia bosnya" "Itu saja?" tanya Dean lagi. Sherly mengangguk mengiyakan. "Apa masih ada yang ingin kau ketahui lagi?" "Apa Nick sudah memiliki kekasih?" "Setahuku belum. Kenapa?" "Yah ... hanya saja tampaknya dirinya cukup mapan. Mengapa ia belum memiliki kekasih? Apa tabiatnya buruk? Apa ia tidak dekat dengan seorang wanita? Atau apa ia memiliki orang yang disukainya mungkin?" Sherly sedikit mengerutkan alisnya, tampak heran dengan sikap Dean. "Entahlah ..." ucapnya lambat-lambat, "Aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam urusan pri
"Now what?! Lagi-lagi kalian begini. Apa kalian sedang saling berduel atau semacamnya?" Sherly memecah keheningan yang tercipta diantara Dean dan Nick. Sebelumnya, tak ada yang menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh dari mereka sampai Sherly buka suara. "Kau sudah selesai?" tanya Dean yang langsung menghampirinya. Dean segera meraih plester dan obat untuk luka Sherly. "Duduklah," Dean membimbing Sherly ke kursi terdekat. "Aku tak apa-apa Dean." "Sudah kukatakan untuk memanggilku saat kau selesai mandi. Apa kau menginjak pecahan kaca lagi? Di sana masih banyak kaca yang berserakan." Dean berlutut dan memeriksa telapak kaki Sherly secara otomatis. Wajah Sherly tiba-tiba memerah dengan perlakuan Dean. Tanpa sadar Sherly mencengkeram kencang jubah handuk mandinya saat Dean mengoles obat untuk lukanya. Sentuhan Dean pada kakinya sangat menggelitik, sekaligus membuatnya tersipu. Sherly berusaha menahan debaran jantungnya saat Dean memeriksa kakinya dan beralih ke kaki satunya
Sherly bergegas menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar Dean dirawat. Sore tadi Sherly mendapat kabar dari Chris bahwa Dean berada di rumah sakitnya lagi. Sherly menelepon Dean untuk memastikan sendiri berita itu. Sherly baru dapat bergegas menuju rumah sakit setelah meninggalkan kantor pukul tujuh malam tadi. "Kau tak apa-apa?" serbu Sherly begitu memasuki kamar Dean. "Dia tak apa-apa, mungkin karena beberapa aktivitasnya yang berlebihan saja jadi bekas operasinya terasa nyeri," Chris yang berdiri di samping Dean menjelaskan padanya. "Memang apa yang kau lakukan?" tanya Sherly heran. "Apa gara-gara membersihkan pecahan kaca di kamar mandi?" tanya Sherly lagi. Chris sedikit menahan senyumnya karena geli. Betapa polos pemikirannya. Andai gadis itu tahu apa pekerjaan yang Dean lakukan selama ini, ia pasti akan terkena serangan jantung. Dean sedikit mengerutkan alisnya, bingung akan menjawab apa. "Bukan? A .. atau ... karena kau sempat membopongku? Mungkin karena aku berat, jadi
"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika. "Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?" Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati! Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya. Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati. "Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban. Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya. Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman. Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Benar, mereka memang mengincar Sherly! Dean kembali bernapas lega setelah berhasil membawa Sherly dan dirinya keluar dari sana. Tapi kelegaannya tak berlangsung lama, pasalnya ketika ia menoleh ke arah Sherly, gadis itu sedang melipat kedua tangannya dan menatapnya dengan tajam. Dean sedikit kikuk dan mengerjap. Ia tahu dari cara Sherly menatapnya, ia pasti dalam masalah sekarang. Bagus..!! Habislah aku!! Batinnya. "Bisakah kau jelaskan semua sikapmu ini, Tuan Dean?" tanya Sherly dengan dingin. Dean menarik napasnya, mempererat kemudi sembari berpikir alasan apa yang akan ia lontarkan pada gadis itu. "Ehm ... jelaskan apa?" Dean berdehem untuk menutupi kegugupannya. Sherly memicingkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan kesal. "Sejak dari rumah sakit kau terus diam dan mengabaikanku. Bahkan di restoran kau tidak mempedulikanku. Hanya menjawabku sekenanya saja. Jika kau memang tidak suka dengan makanannya lebih baik kau bilang saja padaku. Ka ... kau bahkan tidak mau
Sherly menutup pintu kamarnya perlahan. Debaran di dalam dadanya saat ini sangat kencang, sehingga dirasa jantungnya seolah akan meledak. Sungguh gilaa!! Apa yang sudah kulakukan?!! Sherly menghempaskan dirinya di atas ranjangnya. Memukul-mukul bantalnya dengan frustasi. Akan menanyakan perasaan apa? Mendapat kepastian apa? Omong kosong! Kau malah menciumnya Sher...!! Baguss!! Bagaimana kau akan menghadapinya besok?! Hanya karena dadanya terlihat seksi, bukan berarti kau bisa terlena kan! Sungguh gila ... benar-benar gila! Benar-benar hal yang paling gila yang pernah kulakukan!! Sher bodoh! bodoh! bodoh! Perang batin yang menyiksa Sherly membuatnya semakin frustasi. Ia menyesal karena telah melakukan tindakan bodohnya lagi! Tapi semua telah terjadi, ia hanya harus memikirkan bagaimana akan menghadapi Dean besok. ___esoknya___ Pagi ini Sherly sudah menyisir rambutnya untuk yang kesekian
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters