Sherly menghembuskan napasnya begitu masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit menahan tawanya setiap teringat kejadian yang dialaminya tadi.
Entah mengapa pasien yang ditolongnya itu menurutnya tampak begitu menggemaskan di matanya, karena tak bisa menahan buang anginnya.
Memang Sherly tidak dapat melihat jelas wajahnya. Tapi poni yang biasa menutupi matanya tadi sedikit tersibak sehingga Sherly dapat mencuri-curi mengamati wajahnya saat berbincang dengan Dokter Chris tadi.
Wajah pria itu menurut Sherly cukup menarik. Walau semalam ia sangat kesakitan, tetapi jelas terdengar bahwa ia memiliki suara yang cukup dalam dan berat.
Sherly masih dapat mengingat suara rintihan dan minta tolongnya saat Sherly menemukan pria itu di atas tangga. Suara serak maskulin yang seksi.
Seksi?! ... Oh My God Sherly!
Bisa-bisanya dirinya berkhayal tentang pria yang sedang terbaring lemah di rumah sakit.
Kendalikanlah dirimu! Kau seharusnya bersimpati padanya!
Suara hatinya berkecamuk memikirkan pria itu. Pria kumal yang dianggapnya pemulung itu rupanya telah menarik perhatian Sherly.
****"Sebaiknya kau memberi alasan yang tepat kali ini," Nick mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan tidak sabaran."Bukankah aku sudah meneleponmu tadi? aku sudah minta izin akan terlambat."
"Kau tidak minta izin. Kau hanya memberitahuku bahwa kau akan terlambat datang tanpa memberikan alasannya."
"Aku mengantarkan seorang ... ng anak terlantar ke rumah sakit tadi malam. Karena orang tuanya sangat sibuk bekerja, jadi pagi tadi aku mampir untuk melihatnya. Itu saja"
Nick menimbang-nimbang penjelasan Sherly sambil menatapnya tajam.
"La ... lagipula aku mempertimbangkan jadwalmu juga. Aku tidak mungkin akan meminta izin jika tahu pagi ini kau ada meeting dengan klien. Dan Bos ... aku sudah menyelesaikan pekerjaan yang sempat menumpuk kemarin." Sherly sedang membujuk Nick secara halus agar tidak kesal lagi padanya.
Nick mengamati wajah gadis itu lagi.
Jadi karena itu pagi ini ia terlihat sedikit lelah dan ada kantung mata yang menggelap di sana? Batin Nick.
"Ya ... oke. Berikan semua yang sudah kau selesaikan semalam. Aku akan memeriksanya. Jika tidak ada pertemuan lagi sore nanti, kau bisa langsung pulang untuk beristirahat. Aku bahkan bisa melihat kantung matamu dalam radius 100 meter!"
Sherly memutar kedua bola matanya. "Oke ... itu berlebihan. Tapi, terima kasih Bos!" ucapnya girang.
*****"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Chris"Entahlah, mengerjakan pekerjaanku seperti sebelumnya aku rasa,"
Chris melotot sambil melemparkan kulit jeruk pada sahabatnya itu, "Aku yang akan datang sendiri dan membunuhmu dengan pisau bedahku jika kau berani-beraninya menggerakkan tubuhmu itu!"
"Cerewet sekali ... " gumam Dean
"Kau tahu tidak, kau sudah terlalu banyak menggunakan tubuhmu itu! Dengan keadaanmu yang sekarang kau akan mati tiba-tiba jika tidak mematuhiku. Luka operasimu setidaknya membutuhkan waktu pemulihan 4 minggu, dan luka sayatan di perutmu membutuhkan waktu 6 minggu!" jelas Chris.
Dean memicingkan matanya. Entah mengapa ia merasa Chris sedang menipunya. "Apa kau yakin kau tidak sedang membohongiku?" selidiknya.
"Ya ... tentu saja. Aku doktermu, aku yang tahu kondisimu. Walau kau aku operasi menggunakan prosedur Laparoskopi, tetapi waktu pemulihan yang kau butuhkan hampir sama dengan operasi metode bedah terbuka. Kau memerlukan waktu untuk pulih lebih lama mengingat semua riwayat kesehatan yang rata-rata hampir mengancam nyawamu itu! Ck! ... kau dan pekerjaan sialanmu itu!" umpat Chris
"Hentikan ocehanmu ... kau sudah berlagak seperti seorang istri yang cerewet"
"Aku akan jauh lebih cerewet dan mematikan dibanding istri yang akan kau miliki besok!" balas Chris. Dean hanya menggeleng
"Apa kau sudah menghubungi gadis yang menyelamatkanmu?" Chris mengupas jeruk lagi dan langsung melahapnya.
"Tidak, aku tidak akan menghubunginya ... lebih baik dia tidak usah berhubungan dengan pria sepertiku dan ... "
"Grekkkk ...!!!" Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Hai, selamat sore!" gadis yang baru saja mereka bicarakan sudah muncul di ambang pintu.
Chris tersedak karena terkejut. Ia meloncat turun dari sisi ranjang Dean. Terbatuk-batuk dan segera melempar sisa jeruk yang ada di tangannya. Sedang Dean tidak sempat lagi untuk berpura-pura tidur karena gadis itu sudah melihatnya tadi.
"Hai ... halo, selamat sore Nona Sherly" sapa Chris kembali formal dan sedikit canggung.
Sherly perlahan-lahan berjalan memasuki ruangan. Ia tersenyum simpul, menatap Dean yang dilihatnya sedang bersandar setengah duduk di atas ranjangnya. Dean sedikit memalingkan mukanya karena gugup.
"Apa kau baik-baik saja, Tuan ...?" tanya Sherly hati-hati.
"Dean" jawab Dean singkat. "Aku baik-baik saja, terima kasih"
Sherly tersenyum lega. Dia meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya lagi.
"Aku harap kau cepat pulih, Tuan..."
"Panggil Dean saja," potong Dean.
"Yah, baiklah ... Dean." Sherly sedikit tersenyum kikuk.
Chris memicingkan matanya, menatap tajam Dean. Ia seolah sedang memperingatkan sikap Dean yang dirasanya kurang bersahabat.
"Tidak perlu khawatir Nona Sherly, ia sudah membaik. Hasil operasinya juga bagus. Ia hanya perlu mengkonsumsi makanan bergizi, tidak melakukan beban dan aktivitas berat selama masa pemulihannya yang bisa berlangsung sekitar 6 minggu untuk benar-benar kembali sehat." terang Chris
"Oh benarkah? Lalu Dean, dimanakah tempat tinggalmu?" tanya Sherly. Dean melirik Chris sekilas.
"Sama seperti tempatmu tinggal," jawab Chris. Dean melotot ke arahnya saat Sherly tak memperhatikannya.
"Benarkah?! Jadi kau adalah tetanggaku?!" tanya Sherly tak percaya. "Di unit berapa kau tinggal?"
Dean berdehem, tampak sedikit enggan menjawab "Aku tidak akan tinggal di sana lagi ... " ucapnya kemudian.
"Kenapa?" tanya Sherly terkejut.
"Itu ... karena ..." Dean dengan kikuk berdehem lagi.
Mata Sherly tiba-tiba membulat, "Apa karena kau diusir dari sana? Kudengar nyonya pemilik apartemen kita adalah orang yang ketat dalam hal pembayaran sewa. Kita bebas melakukan apa saja asal sewa selalu terbayarkan tepat waktu. Benarkah begitu??!" tebak Sherly.
"Ya itu benar!" jawab Chris cepat. "Pasti berat baginya harus pindah dalam keadaan seperti sekarang ini. Ia perlu pemulihan dan waktu yang cukup untuk kesembuhannya pasca operasi." Chris memasang wajah seolah bersimpati dan menyayangkan hal itu.
"Andai ia memiliki tempat yang nyaman untuknya sampai lukanya pulih ... mungkin Anda bisa memberinya saran atau informasi di mana Tuan Dean bisa mendapatkan tempat tinggal, Nona?"
Wajah Sherly berubah cemas. Ia berpikir dalam kondisi seperti sekarang ini, Dean masih harus memikirkan dimana ia akan tinggal sementara dirinya juga harus fokus untuk pemulihan lukanya. Dan pria malang itu sedang tidak memiliki uang atau apa pun saat ini!
"Tinggallah denganku!" usul Sherly cepat.
Dean dan Chris sama-sama terbelalak.
"Ti ... tidak perlu sampai begitu, aku bisa ..." Dean tergagap.
"Aku setuju!" seru Chris tiba-tiba. "Mohon bantuannya, Nona. Ia hanya perlu tempat yang nyaman untuk masa pemulihannya. Ia tidak boleh melakukan kegiatan berat yang akan memperburuk lukanya. Bukankah terlalu beresiko jika dirinya harus kesana-kesini untuk pindah mencari tempat tinggal baru?"
"I ... iya benar ..." jawab Sherly terkejut karena Chris tampak begitu bersemangat.
"Apa tidak apa-apa memasukkan orang asing untuk tinggal di apartemenmu?" tanya Chris lagi.
"Aku rasa tidak masalah, karena setahuku tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memiliki teman sekamar. Lagipula aku memiliki dua kamar di sana."
Dan ia sepertinya orang baik, aku tidak keberatan memiliki teman sekamar yang menggemaskan sepertinya ... Batin Sherly lagi. Entah mengapa pikiran gilanya membuatnya begitu impulsif pada pria itu!
Sherly mengamati Dean dengan seksama. Dilihat dari dekat ia semakin terpesona kepadanya. Alisnya yang berkerut dan rambut-rambut tipis yang mulai tumbuh berantakan disekitar dagu dan bibirnya, membuat Sherly semakin gemas. Ingin rasanya ia membantu Dean untuk bercukur...
Ah...tidak! Untuk sekarang dibiarkan berantakan apa adanya pun tak masalah, ia tetap menggemaskan! Astaga!! Ada apa dengan dirinya? Sherly kembali heran dengan dirinya sendiri yang memikirkan Dean hingga seperti itu.
"Bagus!" Chris tersenyum puas. Sherly sedikit tergagap karena terhanyut dalam pikiran konyolnya lagi.
Dean menutup matanya dan memijat keningnya tanda frustasi.
"Kapan ia bisa keluar, Dokter?" tanyanya
"Panggil saja Chris ... dan ia bisa keluar besok pagi"
"Oh, benarkah? Besok aku libur, mungkin aku bisa membantu menjemputmu?" tanya Sherly.
"Tentu saja ... silakan. Bisa sekali. Tolong bantuannya ya, Nona," lagi-lagi Chris yang menjawabnya.
"Panggil saja Sherly," balas Sherly sambil tersenyum. Ia sedikit heran dengan tingkah Chris yang tampak antusias.
"Besok jam 9 pagi kau bisa menjemputnya di sini. Aku akan mempersiapkan semuanya." ucap Chris lagi.
"Baiklah ... kalau begitu sebaiknya aku pulang sekarang, aku akan menyiapkan tempatmu."
"Apa kau tak masalah membawa orang asing masuk?" ucap Dean tiba-tiba sebelum Sherly pergi.
"Oh ... aku tidak masalah, apa kau keberatan Dean? Aku ... hanya ingin sedikit membantumu, sebagai tetanggamu aku rasa itu sudah sepantasnya."
"Ucapkan saja terima kasih," lanjut Chris sedikit geram.
"Baiklah Sherly ... terima kasih atas bantuanmu. Ini hanya akan memakan waktu sementara." ucap Chris memotong lagi.
"I ... iya tak masalah ..." balas Sherly. Ia masih saja heran mengapa Chris yang selalu menjawabnya. Akhirnya dirinya pamit dan pulang dari sana.
Dean menghela napas panjang setelah kepergian Sherly. "Apa kau puas sekarang?!" ucapnya gusar.
"Sangat!" balas Chris sambil terkekeh.
"Luar biasa, aku baru menemui gadis yang sangat polos sepertinya. Ia begitu baik hingga mau membantu seorang pria yang tampak seperti pemulung dengan tulus. Dan bahkan sekarang menawarkan tempat tinggalnya! Ck! ... ck! ... ck! dilihat dari sisi mana pun penampilanmu yang sekarang ini tidak ada bagus-bagusnya," cemooh Chris.
"Tapi yah ... syukurlah kau bertemu gadis itu. Ingat kau berhutang nyawa padanya. Biarkan ia membantumu sampai tuntas jika itu bisa menenangkan hatinya. Mungkin hanya dengan cara itu kau bisa berterima kasih padanya."
"Dengan begitu bukankah kau juga tidak perlu pergi dari apartemen itu, bukan? Kau bisa sewaktu-waktu kembali ke kamarmu jika diperlukan. Tapi aku pribadi tidak menyarankan itu. Dan ingatlah lagi, kau sekarang hanyalah seorang pria yang tidak memiliki uang atau pun tempat tinggal. Kau pokoknya ... yah ... anggap saja saat ini sedang memiliki masa depan yang suram. Jadi sebaiknya jangan membuatnya curiga."
Dean menghembuskan napasnya perlahan. Dalam hati ia sedikit membenarkan ucapan Chris.
*****
Dua orang pria berjaket kulit tampak sedang terburu-buru menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai 3. Gerak-gerik keduanya terlihat sedikit mencurigakan. Mereka tampak sedang mengawasi situasi dengan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri.
Setelah dirasa aman, mereka bergegas keluar dari pintu darurat dimana mereka tadi masuk.
Lantai 3 apartemen di malam ini tampak kosong dengan penghuni yang sebagian besar sudah terlelap di jam-jam seperti ini.
Dua pria tadi mengendap-endap. Dan dengan gerakan cepat mereka memasukkan kode pintu otomatis untuk unit kamar yang paling ujung.
"Kita berhasil!" ucap salah satu pria yang tampak lebih muda, setelah mereka berhasil masuk ke unit kamar tersebut.
"Jika sampai ketemu, habislah kau Dean!" geramnya.
"Cepat periksa dan bawa semua yang tampak mencurigakan, kita harus mendapatkan sesuatu sebelum pergi dari sini," ucap si pria berkumis yang tampak lebih tua.
*******"Silakan masuk ..." Sherly membukakan pintu apartemennya dengan sedikit canggung. "Di mana apartemenmu?" tanya Sherly. Dean menunjuk pintu paling pojok yang jaraknya hanya dua unit dari kamar Sherly. Sherly menganga, lebih karena merasa takjub. "Kau serius? Kita satu lantai? Dan bahkan aku tidak pernah bertemu denganmu atau mengenalmu sebelumnya!?" Sherly tertegun. Sherly berjalan menuju unit itu, tampak di depannya tergeletak dua koper besar yang bersandar pada dindingnya. Sherly menyeret keduanya bersamaan. Walau tampak sedikit bersusah payah, ia akhirnya berhasil juga membawanya ke depan tempatnya. "Keterlaluan sekali, apa begini caranya memperlakukan penyewa? Walau kau tidak mampu lagi membayarnya, bukan berarti barang-barangmu bisa dilempar begitu saja di depan pintu." Sherly bersungut-sungut. "Biar aku bantu ..." "No ... jangan coba-coba. Masuklah saja, kau belum boleh banyak bergerak." Sherly sedikit mendoron
Sherly mengikat rambutnya dengan kuncir ekor kuda. Hari ini tampilannya sangat kasual. Jeans biru terang dan kemeja katun putih menjadi baju pilihannya untuk pergi ke kantor hari ini. Sherly segera menyambar tas kerjanya sebelum keluar dari kamar. Sherly melihat Dean sedang berdiri di dapurnya saat ia keluar dari kamarnya. Ia kemudian menghampirinya, mengambil sebuah cangkir hendak membuat kopi. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya "Membuat sarapan. Hai, selamat pagi." ucapnya sambil memperlihatkan sepiring pancake yang sudah tertata rapi. "Wow ... kau bisa membuat sarapan rupanya," gumam Sherly takjub "Duduklah ... mari kita makan bersama. Dan jangan minum kopi karena aku sudah menyiapkan jus jeruk segar" Sherly lagi-lagi tampak takjub dengan pekerjaan yang Dean lakukan. Ia segera mengambil tempat untuk duduk, dan siap di depan meja makan diikuti oleh Dean. "Ini enak ..." Sherly tersenyum senang setelah mencicipi makanan bu
Suasana aneh dan canggung terlihat sangat kentara saat Sherly, Nick, dan Dean duduk berhadapan dalam satu meja. Tatapan waspada, dingin dan penuh dengan selidik saling mereka lemparkan satu sama lain. Malam ini mereka duduk di satu meja untuk makan malam bersama di apartemen Sherly. Entah mengapa, Nick sangat bersikeras untuk ikut makan bersama sepulang kerja tadi. "Mari kita mulai makan," Sherly membuka percakapan agar suasana tegang yang tercipta di atas meja makannya sedikit mencair. Sepulang dari kantor tadi Nick bersikeras mengantarkan Sherly pulang ke apartemennya. Mau tidak mau mobil Sherly harus ia tinggalkan menginap di kantor. "Silakan ..." Dean bersikap sopan dengan mempersilakan Nick menyantap hidangan makan malam yang telah disiapkannya. "Semoga cocok dengan seleramu," ucapnya lagi dengan wajah datar. Mereka mulai menyantap hidangan yang Dean siapkan. Dari raut wajahnya, terlihat jelas Dean merasa sedikit kesal, pasalnya s
Sherly mengerjap, tidak menyangka Dean akan mengajukan pertanyaan seperti itu yang begitu tiba-tiba. "Kau ingin tahu hubungan antara aku dan Nick?" ulang Sherly. Dean mengangguk. "Well ... aku dan Nick memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kami lumayan dekat. Dan jika tentang pekerjaan, kebetulan aku adalah asisten sekaligus sekretaris yang bekerja pada perusahaannya dan dia bosnya" "Itu saja?" tanya Dean lagi. Sherly mengangguk mengiyakan. "Apa masih ada yang ingin kau ketahui lagi?" "Apa Nick sudah memiliki kekasih?" "Setahuku belum. Kenapa?" "Yah ... hanya saja tampaknya dirinya cukup mapan. Mengapa ia belum memiliki kekasih? Apa tabiatnya buruk? Apa ia tidak dekat dengan seorang wanita? Atau apa ia memiliki orang yang disukainya mungkin?" Sherly sedikit mengerutkan alisnya, tampak heran dengan sikap Dean. "Entahlah ..." ucapnya lambat-lambat, "Aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam urusan pri
"Now what?! Lagi-lagi kalian begini. Apa kalian sedang saling berduel atau semacamnya?" Sherly memecah keheningan yang tercipta diantara Dean dan Nick. Sebelumnya, tak ada yang menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh dari mereka sampai Sherly buka suara. "Kau sudah selesai?" tanya Dean yang langsung menghampirinya. Dean segera meraih plester dan obat untuk luka Sherly. "Duduklah," Dean membimbing Sherly ke kursi terdekat. "Aku tak apa-apa Dean." "Sudah kukatakan untuk memanggilku saat kau selesai mandi. Apa kau menginjak pecahan kaca lagi? Di sana masih banyak kaca yang berserakan." Dean berlutut dan memeriksa telapak kaki Sherly secara otomatis. Wajah Sherly tiba-tiba memerah dengan perlakuan Dean. Tanpa sadar Sherly mencengkeram kencang jubah handuk mandinya saat Dean mengoles obat untuk lukanya. Sentuhan Dean pada kakinya sangat menggelitik, sekaligus membuatnya tersipu. Sherly berusaha menahan debaran jantungnya saat Dean memeriksa kakinya dan beralih ke kaki satunya
Sherly bergegas menyusuri lorong rumah sakit, mencari kamar Dean dirawat. Sore tadi Sherly mendapat kabar dari Chris bahwa Dean berada di rumah sakitnya lagi. Sherly menelepon Dean untuk memastikan sendiri berita itu. Sherly baru dapat bergegas menuju rumah sakit setelah meninggalkan kantor pukul tujuh malam tadi. "Kau tak apa-apa?" serbu Sherly begitu memasuki kamar Dean. "Dia tak apa-apa, mungkin karena beberapa aktivitasnya yang berlebihan saja jadi bekas operasinya terasa nyeri," Chris yang berdiri di samping Dean menjelaskan padanya. "Memang apa yang kau lakukan?" tanya Sherly heran. "Apa gara-gara membersihkan pecahan kaca di kamar mandi?" tanya Sherly lagi. Chris sedikit menahan senyumnya karena geli. Betapa polos pemikirannya. Andai gadis itu tahu apa pekerjaan yang Dean lakukan selama ini, ia pasti akan terkena serangan jantung. Dean sedikit mengerutkan alisnya, bingung akan menjawab apa. "Bukan? A .. atau ... karena kau sempat membopongku? Mungkin karena aku berat, jadi
"Dean ... Dean ...!!" Guncangan pada tubuhnya menyadarkan Dean seketika. "Kau tak apa-apa? Apa kau kesakitan?" Wajah Sherly yang tampak cemas seketika membuyarkan lamunan Dean. Rupanya Dean sedang mengkhayal! Dean mengerjap kikuk, mengumpat dalam hati! Dean tak menyangka, hanya karena sedikit sentuhan Sherly dan aroma tubuhnya saja sudah bisa membuatnya berfantasi liar. Ia seperti remaja puber yang tidak dapat mengendalikan hasratnya. Dam*** Dean!! Ada apa denganmu?! Rutuknya lagi dalam hati. "Dean ..." Sherly masih menuntut jawaban. Dean berdehem. "Oh! Aku tak apa-apa. Mari kita pulang," ucapnya sedikit serak. Dean mengusap mulutnya yang dirasa kering. Ia kemudian menghembuskan napasnya untuk menenangkan jantungnya. Sherly mulai menyalakan mesin mobilnya. Ia melaju dengan aman dan setenang mungkin agar Dean merasa nyaman. Sherly beberapa kali melirik Dean. Menurutnya Dean sedikit terlihat lebih pendiam setelah masuk ke
Benar, mereka memang mengincar Sherly! Dean kembali bernapas lega setelah berhasil membawa Sherly dan dirinya keluar dari sana. Tapi kelegaannya tak berlangsung lama, pasalnya ketika ia menoleh ke arah Sherly, gadis itu sedang melipat kedua tangannya dan menatapnya dengan tajam. Dean sedikit kikuk dan mengerjap. Ia tahu dari cara Sherly menatapnya, ia pasti dalam masalah sekarang. Bagus..!! Habislah aku!! Batinnya. "Bisakah kau jelaskan semua sikapmu ini, Tuan Dean?" tanya Sherly dengan dingin. Dean menarik napasnya, mempererat kemudi sembari berpikir alasan apa yang akan ia lontarkan pada gadis itu. "Ehm ... jelaskan apa?" Dean berdehem untuk menutupi kegugupannya. Sherly memicingkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan kesal. "Sejak dari rumah sakit kau terus diam dan mengabaikanku. Bahkan di restoran kau tidak mempedulikanku. Hanya menjawabku sekenanya saja. Jika kau memang tidak suka dengan makanannya lebih baik kau bilang saja padaku. Ka ... kau bahkan tidak mau
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters