"Arisha! Dipanggil Chef Danu!" seru seorang rekan kerja Arisha. "Sebentar! Tanggung nih." Arisha sedang menyiapkan menu pesanan pelanggan. "Sini! Biar aku yang teruskan. Chef Danu tidak suka menunggu." Lelaki itu mengambil alih wajan di tangan Arisha. "Terima kasih!" Arisha melepaskan celemek yang dikenakannya. Ia senang masih ada koki yang tidak ikut-ikutan membencinya. Ia pun meninggalkan dapur dengan bibir menyunggingkan senyum. Di antara berjuta hal buruk yang menabur duka, tetap ada satu hal baik yang patut untuk disyukuri. "Anda memanggil saya, Chef?" tanya Arisha, setelah Chef Danu mengizinkannya untuk masuk ke ruangannya. "Silakan duduk, Arisha!" Chef Danu menunjuk sofa mini di sudut ruangannya, lalu menyusul Arisha. "Kau tahu kenapa kupanggil kemari?" Arisha menggeleng. Mukanya sedikit tegang. "Santai saja! Aku tidak akan menghukummu! Justru aku akan memberikan penawaran yang menguntungkan," seloroh Chef Danu, berusaha mengusir ketegangan Arisha. "Penawaran?" Arish
Arisha melipat seragam kokinya dan menyimpan kembali ke dalam loker. "Heh, wanita murahan!" panggil Shinta, mendekat pada Arisha yang sedang mengunci loker. "Aku tak peduli kau tidur dengan siapa untuk bisa bekerja di sini, tapi kuperingatkan kau … jangan pernah merampas apa yang seharusnya menjadi milikku!" Arisha memasukkan kunci lokernya ke dalam saku. "Kamu salah paham. Aku tidak berniat untuk mengambil hak milik orang lain." Shinta mencibir. "Munafik! Kau kan yang mengambil alih tugas menyiapkan menu pesanan keluarga Tuan Muda Hart?" "Kalau kamu menginginkannya, kamu bisa memintanya pada Chef Danu. Aku telah menolak tawaran itu, tapi Chef Danu memaksa. Aku bisa apa? Aku hanya bawahan yang harus patuh pada atasan." Arisha menyahut, acuh tak acuh. Memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu hanya akan buang-buang tenaga. Lebih baik ia segera pulang dan beristirahat. Mengisi kembali dayanya untuk aktivitas esok hari. "Kau!" Shinta menggeram marah. Terlebih saat Arisha melewatinya
"Kak, kok lama banget sih? Lapar nih!" Kepala Irsyad muncul dari celah pintu kamar Arisha yang tak tertutup rapat. "Kakak ngapain lama-lama di kamar kakak cantik?' Cepat-cepat Rasyad keluar sebelum sang adik mencecarnya dengan pertanyaan susulan. Hatinya sungguh tak tenang. Tidak biasanya Arisha terlambat untuk makan malam. "Ehm, Irsyad!" Rasyad mengerem langkah dan berbalik. "Kau … sempat ketemu Arisha tidak, sebelum turun tadi?" "Kenapa memangnya? Aku malah sempat mencicipi masakan kakak cantik sebelum mandi tadi. Dia benar-benar jago urusan dapur. Ekspresinya itu lho … saat fokus bekerja, dia terlihat sangat cantik dan bikin gemas!" Bak seseorang yang tengah dimabuk asmara, roman muka Irsyad penuh khayal dan memuja. Tak ketinggalan senyuman yang mendamba. Rasyad justru bertambah cemas setelah mendengar celoteh Irsyad. 'Ya Allah, jangan-jangan Arisha kabur dari rumah!' batin Rasyad, berlari turun mendua katak, menuju pintu depan. "Kak!" Irsyad garuk-garuk kepala melihat ting
"Arisha …." Dareen membisik lirih nama Arisha seraya tersenyum melihat seorang wanita berhijab, terpaku menatap punggung lelaki tua yang mulai menjauh, berjalan tertatih dengan sebatang tongkat kayu. Langkah Dareen terayun cepat mendekati wanita itu, seakan takut dia menghilang dalam sekelip mata. "Arisha!" panggil Dareen sembari menepuk pelan pundak wanita itu. Wanita itu berbalik. Dareen menapak mundur, lalu buru-buru membungkuk berulang kali. "Maaf, maaf! Saya … saya kira Anda seseorang yang saya kenal." Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Dia pasti seseorang yang sangat spesial bagi Anda. Jika tidak, mustahil Anda melihat wanita lain menyerupai dia." Untung saja wanita itu memiliki pemikiran yang bijak. Kalau tidak, Dareen bakal malu setengah mati bila wanita tersebut murka dan menganggapnya laki-laki mesum. "Sekali lagi, maaf!" Dareen kembali membungkuk, lalu berjalan masuk ke Rumah Sakit. Sejenak Dareen mengatur napas kala tiba di depan pintu ruangan Silla. Setelah me
"Daddy! Daddy!" Tangan mungil Silla mengguncang-guncang pundak Dareen. "Arisha!" Dareen terlonjak, duduk tegap. "Daddy mimpi buruk?" Silla mengelus pipi Dareen. Dareen memijat pelipisnya. Rupanya dia hanya mimpi, tapi rasanya begitu nyata. Dareen tak menyadari bahwa saat ia lelah terperangkap dalam pikiran yang tak berujung tentang Arisha, ia akhirnya jatuh tertidur bersama Silla. Khayalannya terbawa hingga ke alam mimpi. "Maafkan daddy, Sayang!" Dareen memeluk Silla yang duduk bersimpuh di hadapannya. "Apa teriakan daddy yang membangunkanmu?" Silla menggeleng. "Silla haus." "Oh, baiklah. Tunggu sebentar!" Dareen langsung tegak, beranjak menuju nakas untuk mengambil sebotol air mineral. "Silla juga lapar?" "Enggak. Cuma haus." Dareen menuangkan air dari botol ke dalam gelas, kemudian meninggalkan nakas. "Minumlah!" Dareen mendekatkan bibir gelas ke mulut Silla. Gadis mungil itu benar-benar kehausan sampai-sampai ia menenggak minuman itu hingga tandas. "Lagi?" Silla mengg
"Kakak cantik kelihatannya kok tegang banget? Makanannya cuma diobok-obok doang. Kenapa? Dimarahi Kak Rasyad?" "E-enggak kok. Ini baru mau dimakan. Tadi masih panas." Arisha jadi kikuk mendapat tatapan lekat dari Rasyad setelah mendengar rentetan pertanyaan dari Irsyad. Semenjak kemarin malam, Rasyad tak banyak bicara, tak pula bertanya. Sikapnya itu justru membuat Arisha jadi serba salah. Suasana mendadak canggung. Semua gara-gara mata Irsyad yang terus mengawasinya. Entah kenapa remaja labil itu seperti sangat terobsesi dengannya. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, katakan saja!" Rasyad akhirnya bicara di sela-sela suapannya. Dia bukannya marah atas perbuatan Arisha yang pergi tanpa pamit, tapi lebih kepada rasa khawatir akan keselamatan gadis itu. Merasa mendapat kesempatan, Arisha pikir inilah saatnya ia mengungkapkan keinginannya. Keinginan yang telah ia pertimbangkan matang-matang sejak kedatangan Irsyad ke kamarnya. "Um, aku … udah lumayan lama tinggal di sini—
Hosh! Hosh! "Aakh! Badanku pegal dan sakit semua!" keluh Arisha, menelentang di atas permukaan lantai yang dingin, dengan embusan napas tak beraturan. "Itu hanya sementara. Pada awal-awal latihan saja. Nanti, kalau kau sudah terbiasa, nggak bakalan merasa seperti itu lagi." Rasyad duduk di samping Arisha berbaring seraya menyodorkan sehelai handuk kecil. Arisha meraih handuk itu dengan tenaga yang terasa lemah. Ia tak langsung menyeka keringat yang membasahi seluruh wajah dan lehernya, melainkan masih menggenggam handuk tersebut di atas perut. "Tulang-tulangku seakan remuk. Kalau rasanya seperti ini, aku tidak yakin bisa berangkat kerja besok." "Sesakit itu?" Rasyad menoleh, ikut prihatin dengan penderitaan Arisha. "Mau kupijat?" "Tidak!" Arisha spontan melompat duduk saat Rasyad memutar badan dan mengulurkan tangan, seakan benar-benar akan menyentuhnya. Melihat Arisha sudah duduk dengan menjaga jarak darinya, Rasyad mengulum senyum. "Sepertinya dugaanmu salah. Kau memiliki t
"Kelihatannya Shinta takut sama kamu, Ji. Setelah kamu tegur dia langsung menghentikan aksinya dan pergi." Arisha menyipitkan mata. "Kalian … punya hubungan spesial?" "Ngaco! Mana ada? Amit-amit!" "Aneh! Kalau nggak ada apa-apa antara kalian, nggak mungkin dia bersikap patuh sama kamu." Aji tersenyum tipis. Tentu saja Shinta tak berani berkutik bila berhadapan dengan dirinya, sebab dia memegang kartu as wanita licik itu. "Sejak kuliah dulu dia memang begitu jika berhadapan denganku. Tampangku serem kali ya? Mungkin dalam pandangannya aku ini monster, yang kapan saja bisa memangsa dirinya." Aji terkekeh, merasa lucu dengan apa yang dia pikirkan tentang anggapan Shinta mengenai dirinya. Sebaliknya, Arisha justru semakin heran. Tak mungkin ada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Apa itu? Entahlah. Arisha merasa hal itu bukan urusannya. Jadi, tak perlu mengulik terlalu dalam. "Um, Ji …." "Ya?" "Kalau jam istirahat begini, kita boleh kelua