"Daddy! Daddy!" Tangan mungil Silla mengguncang-guncang pundak Dareen. "Arisha!" Dareen terlonjak, duduk tegap. "Daddy mimpi buruk?" Silla mengelus pipi Dareen. Dareen memijat pelipisnya. Rupanya dia hanya mimpi, tapi rasanya begitu nyata. Dareen tak menyadari bahwa saat ia lelah terperangkap dalam pikiran yang tak berujung tentang Arisha, ia akhirnya jatuh tertidur bersama Silla. Khayalannya terbawa hingga ke alam mimpi. "Maafkan daddy, Sayang!" Dareen memeluk Silla yang duduk bersimpuh di hadapannya. "Apa teriakan daddy yang membangunkanmu?" Silla menggeleng. "Silla haus." "Oh, baiklah. Tunggu sebentar!" Dareen langsung tegak, beranjak menuju nakas untuk mengambil sebotol air mineral. "Silla juga lapar?" "Enggak. Cuma haus." Dareen menuangkan air dari botol ke dalam gelas, kemudian meninggalkan nakas. "Minumlah!" Dareen mendekatkan bibir gelas ke mulut Silla. Gadis mungil itu benar-benar kehausan sampai-sampai ia menenggak minuman itu hingga tandas. "Lagi?" Silla mengg
"Kakak cantik kelihatannya kok tegang banget? Makanannya cuma diobok-obok doang. Kenapa? Dimarahi Kak Rasyad?" "E-enggak kok. Ini baru mau dimakan. Tadi masih panas." Arisha jadi kikuk mendapat tatapan lekat dari Rasyad setelah mendengar rentetan pertanyaan dari Irsyad. Semenjak kemarin malam, Rasyad tak banyak bicara, tak pula bertanya. Sikapnya itu justru membuat Arisha jadi serba salah. Suasana mendadak canggung. Semua gara-gara mata Irsyad yang terus mengawasinya. Entah kenapa remaja labil itu seperti sangat terobsesi dengannya. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, katakan saja!" Rasyad akhirnya bicara di sela-sela suapannya. Dia bukannya marah atas perbuatan Arisha yang pergi tanpa pamit, tapi lebih kepada rasa khawatir akan keselamatan gadis itu. Merasa mendapat kesempatan, Arisha pikir inilah saatnya ia mengungkapkan keinginannya. Keinginan yang telah ia pertimbangkan matang-matang sejak kedatangan Irsyad ke kamarnya. "Um, aku … udah lumayan lama tinggal di sini—
Hosh! Hosh! "Aakh! Badanku pegal dan sakit semua!" keluh Arisha, menelentang di atas permukaan lantai yang dingin, dengan embusan napas tak beraturan. "Itu hanya sementara. Pada awal-awal latihan saja. Nanti, kalau kau sudah terbiasa, nggak bakalan merasa seperti itu lagi." Rasyad duduk di samping Arisha berbaring seraya menyodorkan sehelai handuk kecil. Arisha meraih handuk itu dengan tenaga yang terasa lemah. Ia tak langsung menyeka keringat yang membasahi seluruh wajah dan lehernya, melainkan masih menggenggam handuk tersebut di atas perut. "Tulang-tulangku seakan remuk. Kalau rasanya seperti ini, aku tidak yakin bisa berangkat kerja besok." "Sesakit itu?" Rasyad menoleh, ikut prihatin dengan penderitaan Arisha. "Mau kupijat?" "Tidak!" Arisha spontan melompat duduk saat Rasyad memutar badan dan mengulurkan tangan, seakan benar-benar akan menyentuhnya. Melihat Arisha sudah duduk dengan menjaga jarak darinya, Rasyad mengulum senyum. "Sepertinya dugaanmu salah. Kau memiliki t
"Kelihatannya Shinta takut sama kamu, Ji. Setelah kamu tegur dia langsung menghentikan aksinya dan pergi." Arisha menyipitkan mata. "Kalian … punya hubungan spesial?" "Ngaco! Mana ada? Amit-amit!" "Aneh! Kalau nggak ada apa-apa antara kalian, nggak mungkin dia bersikap patuh sama kamu." Aji tersenyum tipis. Tentu saja Shinta tak berani berkutik bila berhadapan dengan dirinya, sebab dia memegang kartu as wanita licik itu. "Sejak kuliah dulu dia memang begitu jika berhadapan denganku. Tampangku serem kali ya? Mungkin dalam pandangannya aku ini monster, yang kapan saja bisa memangsa dirinya." Aji terkekeh, merasa lucu dengan apa yang dia pikirkan tentang anggapan Shinta mengenai dirinya. Sebaliknya, Arisha justru semakin heran. Tak mungkin ada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Apa itu? Entahlah. Arisha merasa hal itu bukan urusannya. Jadi, tak perlu mengulik terlalu dalam. "Um, Ji …." "Ya?" "Kalau jam istirahat begini, kita boleh kelua
"Sekarang kamu bisa duduk!" Dareen menurunkan Arisha di atas ranjang, tepat di samping Silla."Kak Sha!" Silla berseru kaget.Arisha tersenyum canggung seraya melambaikan tangan pada Silla. "Hai, Princess! Sudah merasa lebih baik?"Silla langsung bergerak maju.Arisha mengira gadis mungil itu akan mengalungkan tangan pada lehernya, seperti saat-saat itu, kala Silla merindukannya. Ia pun mengulurkan tangan, siap untuk memeluk bocah malang tersebut.Bugh! Bugh!"Kak Sha jahat! Kak Sha jahat!" Silla memukul Arisha dengan kepalan tinju mungilnya. "Kak Sha janji nggak bakal ninggalin Silla. Kenapa Kak Sha pergi? Huuu …."Silla tergugu.Arisha, yang tak menyangka akan mendapat sambutan berupa serangan brutal dari Silla, hanya diam terpaku. Pasrah menerima setiap pukulan yang dilayangkan bocah cilik itu.Setelah merasa lelah, Silla terkulai lemas pada pundak Arisha. Arisha segera membawa putri kecil itu ke dalam pelukannya.Dia membelai surai halus milik Silla tanpa sepatah pun mengucap kata
"Gimana? Silla senang bisa ketemu lagi sama Kak Sha?" "Silla senang banget. Makasih, Daddy!" Silla memeluk Dareen yang telah duduk di bibir ranjang. Dareen ikut tersenyum. Merasa puas karena strateginya berhasil dengan gemilang. Malam sebelumnya, setelah selesai menyuapi Silla, Dareen keluar dari ruangan itu, berniat hendak ke kantin. Dia butuh secangkir kopi untuk menahan kantuk. "Tuan!" Lelaki yang berjaga di depan ruangan Silla bergegas menyongsong Dareen, begitu mendengar derit pintu terbuka. "Ada apa?" "Ada berita bagus, Tuan!" Wajah lelaki itu berbinar cerah. "Katakan!" "Tadi, Nona Arisha ke sini, Tuan." Dareen tercenung sesaat. "Kau yakin, itu Arisha?" "Yakin, Tuan! Saya bahkan membandingkan wajah wanita itu dengan foto yang Tuan kirim. Sama persis." "Apa yang dilakukannya? Apakah dia menemui Silla?" "Kalau itu … saya tidak yakin, Tuan. Saat saya kembali dari toilet, saya hanya melihat dia mengintip dari jendela, Tuan." Lelaki itu menunjuk jendela, di mana Arisha be
"Eh, eh, apa-apaan ini? Lepaskan aku!" Alfian menjerit dongkol saat merasakan badannya diseret pergi, seolah-olah dia adalah sebuah troli. Rasyad tak menggubris jerit kemarahan Alfian. Dia terus menarik lelaki itu hingga tiba di luar restoran dengan melewati pintu belakang. Bruk! Rasyad mendorong Alfian dengan kasar, hingga lelaki itu nyaris tersungkur. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kasar padaku!" bentak Alfian setelah berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya dan berdiri tegap. Rasyad tersenyum sinis. "Bukan hanya perilakumu yang tidak baik, tapi ingatanmu juga buruk!" Rasyad menggaruk bagian belakang telinganya seraya melayangkan tatapan menghina pada sosok Alfian, yang terlihat berpikir keras. "Tak perlu buang-buang tenaga untuk mengingat siapa aku. Cukup aku saja yang mengenalimu. Ini peringatan terakhir dariku, jauhi Arisha atau kau akan menyusul istrimu di penjara!" Seketika Alfian mengingat lelaki yang datang bersama Arisha saat ia membesuk Nadine waktu
"Arisha! Astaga! Kamu mau ke mana? Bukannya pulang ya?" Aji memburu Arisha, yang berbelok kembali menuju dapur setelah meninggalkan lokernya. "Huh?" Arisha menoleh bingung. "Iya. Ini baru mau pulang." Aji geleng-geleng kepala seraya mendecak. "Jalan pulang ke sana, Arisha …." Aji menunjuk koridor yang mengarah ke bagian depan restoran. "Huh? Aku salah?" Arisha memperhatikan lorong yang dilaluinya, lalu menoleh ke kiri, pada koridor lain yang ditunjuk oleh Aji. "Oh, ternyata memang salah." Arisha berbelok, mengikuti jalur yang benar. "Astaga, Arisha! Kamu kenapa sih? Dari siang tadi aneh banget." Aji menyejajari langkah gontai Arisha. "Tadi hampir bikin dapur kebanjiran, sekarang salah jalan. Besok apa lagi?" Arisha tak menyahut. Pikirannya masih dipenuhi dengan sejuta tanya tentang Alfian dan Rasyad. Ia masih belum percaya dengan berita yang didengarnya. Untuk bertanya pun rasanya malu. Takut nanti Rasyad mengira bahwa dia masih mengharap Alfian dalam hidupnya. Jadi serba salah