Hosh! Hosh! "Aakh! Badanku pegal dan sakit semua!" keluh Arisha, menelentang di atas permukaan lantai yang dingin, dengan embusan napas tak beraturan. "Itu hanya sementara. Pada awal-awal latihan saja. Nanti, kalau kau sudah terbiasa, nggak bakalan merasa seperti itu lagi." Rasyad duduk di samping Arisha berbaring seraya menyodorkan sehelai handuk kecil. Arisha meraih handuk itu dengan tenaga yang terasa lemah. Ia tak langsung menyeka keringat yang membasahi seluruh wajah dan lehernya, melainkan masih menggenggam handuk tersebut di atas perut. "Tulang-tulangku seakan remuk. Kalau rasanya seperti ini, aku tidak yakin bisa berangkat kerja besok." "Sesakit itu?" Rasyad menoleh, ikut prihatin dengan penderitaan Arisha. "Mau kupijat?" "Tidak!" Arisha spontan melompat duduk saat Rasyad memutar badan dan mengulurkan tangan, seakan benar-benar akan menyentuhnya. Melihat Arisha sudah duduk dengan menjaga jarak darinya, Rasyad mengulum senyum. "Sepertinya dugaanmu salah. Kau memiliki t
"Kelihatannya Shinta takut sama kamu, Ji. Setelah kamu tegur dia langsung menghentikan aksinya dan pergi." Arisha menyipitkan mata. "Kalian … punya hubungan spesial?" "Ngaco! Mana ada? Amit-amit!" "Aneh! Kalau nggak ada apa-apa antara kalian, nggak mungkin dia bersikap patuh sama kamu." Aji tersenyum tipis. Tentu saja Shinta tak berani berkutik bila berhadapan dengan dirinya, sebab dia memegang kartu as wanita licik itu. "Sejak kuliah dulu dia memang begitu jika berhadapan denganku. Tampangku serem kali ya? Mungkin dalam pandangannya aku ini monster, yang kapan saja bisa memangsa dirinya." Aji terkekeh, merasa lucu dengan apa yang dia pikirkan tentang anggapan Shinta mengenai dirinya. Sebaliknya, Arisha justru semakin heran. Tak mungkin ada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Apa itu? Entahlah. Arisha merasa hal itu bukan urusannya. Jadi, tak perlu mengulik terlalu dalam. "Um, Ji …." "Ya?" "Kalau jam istirahat begini, kita boleh kelua
"Sekarang kamu bisa duduk!" Dareen menurunkan Arisha di atas ranjang, tepat di samping Silla."Kak Sha!" Silla berseru kaget.Arisha tersenyum canggung seraya melambaikan tangan pada Silla. "Hai, Princess! Sudah merasa lebih baik?"Silla langsung bergerak maju.Arisha mengira gadis mungil itu akan mengalungkan tangan pada lehernya, seperti saat-saat itu, kala Silla merindukannya. Ia pun mengulurkan tangan, siap untuk memeluk bocah malang tersebut.Bugh! Bugh!"Kak Sha jahat! Kak Sha jahat!" Silla memukul Arisha dengan kepalan tinju mungilnya. "Kak Sha janji nggak bakal ninggalin Silla. Kenapa Kak Sha pergi? Huuu …."Silla tergugu.Arisha, yang tak menyangka akan mendapat sambutan berupa serangan brutal dari Silla, hanya diam terpaku. Pasrah menerima setiap pukulan yang dilayangkan bocah cilik itu.Setelah merasa lelah, Silla terkulai lemas pada pundak Arisha. Arisha segera membawa putri kecil itu ke dalam pelukannya.Dia membelai surai halus milik Silla tanpa sepatah pun mengucap kata
"Gimana? Silla senang bisa ketemu lagi sama Kak Sha?" "Silla senang banget. Makasih, Daddy!" Silla memeluk Dareen yang telah duduk di bibir ranjang. Dareen ikut tersenyum. Merasa puas karena strateginya berhasil dengan gemilang. Malam sebelumnya, setelah selesai menyuapi Silla, Dareen keluar dari ruangan itu, berniat hendak ke kantin. Dia butuh secangkir kopi untuk menahan kantuk. "Tuan!" Lelaki yang berjaga di depan ruangan Silla bergegas menyongsong Dareen, begitu mendengar derit pintu terbuka. "Ada apa?" "Ada berita bagus, Tuan!" Wajah lelaki itu berbinar cerah. "Katakan!" "Tadi, Nona Arisha ke sini, Tuan." Dareen tercenung sesaat. "Kau yakin, itu Arisha?" "Yakin, Tuan! Saya bahkan membandingkan wajah wanita itu dengan foto yang Tuan kirim. Sama persis." "Apa yang dilakukannya? Apakah dia menemui Silla?" "Kalau itu … saya tidak yakin, Tuan. Saat saya kembali dari toilet, saya hanya melihat dia mengintip dari jendela, Tuan." Lelaki itu menunjuk jendela, di mana Arisha be
"Eh, eh, apa-apaan ini? Lepaskan aku!" Alfian menjerit dongkol saat merasakan badannya diseret pergi, seolah-olah dia adalah sebuah troli. Rasyad tak menggubris jerit kemarahan Alfian. Dia terus menarik lelaki itu hingga tiba di luar restoran dengan melewati pintu belakang. Bruk! Rasyad mendorong Alfian dengan kasar, hingga lelaki itu nyaris tersungkur. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kasar padaku!" bentak Alfian setelah berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya dan berdiri tegap. Rasyad tersenyum sinis. "Bukan hanya perilakumu yang tidak baik, tapi ingatanmu juga buruk!" Rasyad menggaruk bagian belakang telinganya seraya melayangkan tatapan menghina pada sosok Alfian, yang terlihat berpikir keras. "Tak perlu buang-buang tenaga untuk mengingat siapa aku. Cukup aku saja yang mengenalimu. Ini peringatan terakhir dariku, jauhi Arisha atau kau akan menyusul istrimu di penjara!" Seketika Alfian mengingat lelaki yang datang bersama Arisha saat ia membesuk Nadine waktu
"Arisha! Astaga! Kamu mau ke mana? Bukannya pulang ya?" Aji memburu Arisha, yang berbelok kembali menuju dapur setelah meninggalkan lokernya. "Huh?" Arisha menoleh bingung. "Iya. Ini baru mau pulang." Aji geleng-geleng kepala seraya mendecak. "Jalan pulang ke sana, Arisha …." Aji menunjuk koridor yang mengarah ke bagian depan restoran. "Huh? Aku salah?" Arisha memperhatikan lorong yang dilaluinya, lalu menoleh ke kiri, pada koridor lain yang ditunjuk oleh Aji. "Oh, ternyata memang salah." Arisha berbelok, mengikuti jalur yang benar. "Astaga, Arisha! Kamu kenapa sih? Dari siang tadi aneh banget." Aji menyejajari langkah gontai Arisha. "Tadi hampir bikin dapur kebanjiran, sekarang salah jalan. Besok apa lagi?" Arisha tak menyahut. Pikirannya masih dipenuhi dengan sejuta tanya tentang Alfian dan Rasyad. Ia masih belum percaya dengan berita yang didengarnya. Untuk bertanya pun rasanya malu. Takut nanti Rasyad mengira bahwa dia masih mengharap Alfian dalam hidupnya. Jadi serba salah
Bugh! Kepalan tinju Arisha mendarat, tepat di ulu hati Alfian, membuat lelaki itu terbungkuk. "Dan itu untuk penderitaanku yang nyaris kehilangan kehormatan!" Alfian melotot. "Arisha, aku … aku minta maaf." Akhirnya kata sakral itu meluncur juga dari bibir Alfian. Susah payah ia menahan sakit untuk bisa berdiri tegap, berhadapan dengan Arisha. "Aku melakukan itu, karena aku … sangat mencintaimu, Arisha! Aku ingin kau tetap menjadi milikku." Arisha menatap dingin pada Alfian dengan kemarahan yang tertahan. Tanpa diduga, kakinya melayang, menghantam senjata pusaka milik Alfian sekuat tenaga. Seketika kedua tangan Alfian menangkup aset paling berharganya yang terasa nyeri luar biasa. Ia melolong dan terempas ke lantai, meringkuk kesakitan. Aparat polisi, yang sedari tadi mengawasi Alfian, tetap berdiri di tempatnya. Pun sama halnya dengan Rasyad. Walau keduanya juga refleks menyentuh pusaka masing-masing dengan roman muka seakan-akan ikut merasa ngilu, tak ada dari mereka yang me
"Gila kamu ya! Tahu kamu jadi pelaku kriminal begini, ogah aku bantuin kamu!" "Aku juga menyesal, Hanna. Aku dibutakan oleh cinta. Aku tidak rela Arisha menjadi milik lelaki lain. Makanya aku melakukan segala cara untuk mendapatkannya." "Tapi, nggak gini juga caranya, Alfian!" Hanna geregetan sendiri dengan kelakuan teman masa kecilnya itu. "Sekarang lihat hasilnya! Kamu mendekam di sini. Untung Arisha nggak kenapa-napa." Hanna kesal dengan aksi nekat Alfian, yang hampir saja menodai kehormatan Arisha. Hanna tidak benar-benar peduli pada Arisha. Ia hanya tidak rela, aset berharga yang akan ia jual kepada salah satu pelanggannya cacat sebelum ia berhasil meraup keuntungan. Jika keinginannya telah tercapai, ia bahkan tak peduli bila Arisha mati sekalipun. "Kau bisa bantu aku keluar dari sini kan, Hanna?" "Pakai apa? Kamu pikir aku punya banyak uang? Untuk bertahan hidup saja susah, apalagi membayar biaya pembebasan kamu." Hanna menjawab ketus. Niatnya mau bekerja sama dengan Alf
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak