"Wanita itu berhasil diamankan, Bro, tapi dia tak mau buka mulut," lapor James dari seberang telepon.Dareen sedang membuka kancing lengan kemejanya dan membiarkan ponsel terjepit antara telinga dan bahunya."Tahan dia! Aku akan segera ke sana."Dareen menutup telepon setelah selesai menggulung lengan bajunya. Ia melesat meninggalkan kamar hotel, tempat dirinya dan Arisha akan menginap semalam.Arisha yang baru saja keluar dari kamar mandi mengernyit heran."Ah, aku pergi sebentar. Kalau kamu lelah, tidur saja. Tidak usah menungguku. Aku ada urusan penting dengan James.""Ya." Arisha menyahut singkat.Sebersit rasa syukur memantik senyum di bibirnya. Setidaknya ia selamat untuk malam ini."Ngomong-ngomong, ke mana dia malam-malam begini?" tanya Arisha pada diri sendiri. "Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku."Arisha merebahkan diri di atas kasur. Menyenangkan sekali akhirnya ia bisa menikmati waktu senggang tanpa gangguan dari Dareen setelah menjalani prosesi akad nikah. Walau tidak melan
Deg! Deg! Detak jantung Arisha dan Dareen bertalu-talu dan saling bersambut. Kecanggungan yang tercipta seakan menghentikan perputaran waktu. 'Tidak! Ini tidak benar!' Arisha tersadar, lalu bergegas melepaskan diri dari belitan lengan kekar Dareen. Tanpa kata ia melesat ke kamar mandi, seiring dengan gema azan subuh yang berkumandang. Dareen masih terpaku di tempatnya. Menjilati bibirnya yang menyisakan sensasi aneh dan menggetarkan jiwa. 'Manis. Aku menyukai rasanya.' Dareen senyum-senyum sendiri sambil mengusap jejak bibir Arisha. Ia duduk dan melirik ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Fantasi liarnya membayangkan apa yang dilakukan Arisha di dalam sana. "Aish, sial! Bisa-bisanya gadis pembangkang itu memancing rasa lapar singa jantanku di pagi hari." Mendugas Dareen beranjak menuju balkon. Hawa dingin segera menghantam kulitnya dan memaksanya untuk menaikkan kerah kemeja. Ya Tuhan, saking lelahnya ia bahkan tak sempat mengganti pakaian dan kini ia melakukan push up
Dareen menarik kopernya dengan langkah pasti meninggalkan pintu keluar Bandara. Mobil yang dikendarai James menunggu kedatangannya. James membantu memasukkan koper milik Dareen ke bagasi, lalu menyusul masuk ke mobil. "Langsung pulang?" "Aku merindukan kasurku." James tersenyum jahil. "Kurasa yang paling kau rindukan adalah sosok yang menemanimu di atas kasur itu." "Sialan!" Dareen meninju lengan James. Tak urung pipinya merona merah. "Sudah. Tidak usah malu-malu begitu. Akui saja kalau kau telah jatuh cinta padanya." James semakin getol menggoda Dareen. "Toh kalian juga sudah sah. Wajar kan kalau kau merindukannya. Lagian, masih pengantin baru malah terbang sendiri. Kenapa nggak bulan madu saja sekalian?" Dareen bersandar dan memejamkan mata, pura-pura tidur. Ia malas melayani candaan James. "Ck! Malah ditinggal tidur." James menggerutu jengkel, lalu menginjak pedal gas lebih dalam. Seketika kuda besi tunggangannya melesat dengan kecepatan tinggi. "Hei, Bro! Bangun! Sudah sa
"Bos, Bos yakin wanita itu akan keluar hari ini?" "Yakinlah. Mana ada wanita yang tahan dikurung seperti burung dalam sangkar. Wanita, ratunya belanja dan kumpul bareng." Dua orang pria duduk menunggu di dalam mobil. Pandangan mereka fokus pada satu titik—pintu gerbang rumah Dareen. "Eh, Bos, Bos! Itu bukan?" Lelaki berusia tiga puluhan dengan berewok tipis menggamit lengan pria berotot yang dia panggil bos. Pria berotot mengecek ponselnya dan berujar pelan, "Pakai jilbab, tinggi sekitar seratus enam puluhan, mata biru cerah." Sejenak ia menjeda ucapannya dan melabuhkan tatapan pada sosok Arisha yang berdiri di depan pintu gerbang. "Sepertinya betul wanita itu, tapi kita tidak bisa melihat warna matanya." "Sudah. Sikat saja, Bos! Infonya kan cuma dia wanita muda yang tinggal di rumah itu." "Tumben otakmu encer! Ayo! Ikuti mobil itu!" titah si bos ketika dilihatnya target mereka naik taksi dan segera pergi. Arisha belum menyadari bahaya yang mengintainya. Ia duduk tenang dalam
"Y–Ya, Ha–halo!" "Kedengarannya kau sedang cemas. Ada apa?" "M–maaf, Tuan. S–saya tidak sengaja menabrak seseorang. S–sekarang masih di Rumah Sakit. K–korban b–butuh transfusi darah." "Rumah Sakit mana?" Laki-laki itu pun menyebutkan posisinya. "Tunggu di sana. Aku akan menyusul." "T–terima kasih, Tuan." Di sebuah rumah mewah, seorang laki-laki berusia kepala tiga melangkah cepat. "Bian, mau ke mana? Bukankah Jono belum menjemput?" Bian yang tergesa menuruni tangga menghentikan langkah. "Dia menabrak seseorang, Kek. Maaf. Aku buru-buru." Bian sengaja memenuhi undangan kakeknya—Tuan Adiyaksa, saat jam makan siang. Rencananya ia akan kembali ke kantor. Tak disangka terjadi kendala ketika Jono akan menjemputnya. "Biar sopir kakek yang mengantarmu." Kurang dari satu jam, Bian tiba di Rumah Sakit. "M–maaf, Tuan. S–saya tidak bisa menghindar ketika wanita itu menyeberang tiba-tiba." "Nanti saja kita bahas itu. Sekarang, di mana dia?" "Masih di IGD, Tuan. Belum mendapatkan da
"Di mana cucu saya?" Tuan Adiyaksa memasuki ruang perawatan Arisha seperti orang kesetanan. Dareen yang sedang membersihkan wajah Arisha tegak keheranan. "Tuan Adiyaksa? Angin apa yang membawa Anda kemari?" Mengenali sosok berkharisma yang diselimuti kemarahan itu, memaksa Dareen untuk menekan emosinya sendiri. "Tuan Muda Hart? Apa yang dilakukan anak muda sesibuk Anda di sini? Siapa yang sakit? Nyonya Hart-kah?" Setengah badan Arisha bagian atas memang terhalang oleh Dareen. Jadi, Tuan Adiyaksa tidak dapat melihat siapa yang berbaring di atas ranjang. "Oh, bukan, Tuan. Oma saya baik-baik saja. Saya menemani istri saya yang terkena musibah." "Apa? Istri? Anda sudah menikah?" Tuan Adiyaksa tak mampu menyembunyikan kekagetannya. "Kami memang hanya melangsungkan pernikahan sederhana dan tertutup, Tuan. Belum sempat mengadakan resepsi." "Ah, begitu rupanya." Tuan Adiyaksa manggut-manggut. "Oh ya, tadi saya sempat mendengar Anda menyebut cucu. Apakah cucu Anda juga dirawat di sin
"Kakek, ternyata dugaanku benar, Kek!" Bian kembali ke ruangan Arisha dengan dada bergemuruh. Keringatnya mengucur deras karena berlari dari laboratorium. "Apa?" Tuan Adiyaksa yang masih diselimuti kesedihan menyahut bingung. "Ini!" Bian menyodorkan kertas yang dibawanya dari laboratorium. "Kakek baca saja!" Tuan Adiyaksa bersikap patuh pada perintah cucunya. Pada kertas itu tertulis bahwa Arisha sungguh putri biologis dari Ning. Arisha benar-benar cucu kandungnya. "Bian, b–bagaimana bisa kau mendapatkan hasil tes DNA ini?" tanya Tuan Adiyaksa. Bian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Nona Arisha, Tuan Muda Hart. Saya terpaksa meminta perawat untuk mengambil sampel darah Nona Arisha saat transfusi." "Jadi, kau yang mendonorkan darah?" imbuh Tuan Adiyaksa. "Iya, Kek. Maaf, aku juga mengambil potongan rambut Bibi Ning dari ruang koleksi Kakek." Tuan Adiyaksa memang memiliki kebiasaan untuk menyimpan sebagian rambut anak cucunya setelah acara cukuran. Ternyata ada gunany
"Halo, Silla Sayang." Suara Anggita dibuat seramah dan selembut mungkin. Tak lupa dipoles dengan seulas senyum manis dari balik masker, yang tentu saja hanya basa-basi. Silla menapak mundur. Walau tak dapat melihat dengan jelas wajah Anggita, dia mengenali suara wanita itu. "Kok menghindar sih, Sayang. Tante ke sini karena daddy yang minta. Silla mau ketemu mommy, 'kan? Ayo tante antar!" Sejenak Silla terpengaruh dan mulai bimbang. Sebab, ia memang merindukan sosok Arisha yang tak kunjung pulang. Anggita tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerak cepat, jemarinya membekap mulut Silla dengan sehelai sapu tangan. Bergegas dia menggendong Silla dan membawanya ke mobil. "Bocah nakal ini akhirnya berguna juga," cibir Anggita, melirik Silla yang terbaring di kursi belakang lewat kaca spion. "Kamu akan tinggal bersamaku sampai daddy-mu bersedia menikahiku, Silla." Sejuta rencana berseliweran di benak Anggita, tentang bagaimana ia akan menggunakan Silla sebagai senjata untuk merunt
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak