"Bos, Bos yakin wanita itu akan keluar hari ini?" "Yakinlah. Mana ada wanita yang tahan dikurung seperti burung dalam sangkar. Wanita, ratunya belanja dan kumpul bareng." Dua orang pria duduk menunggu di dalam mobil. Pandangan mereka fokus pada satu titik—pintu gerbang rumah Dareen. "Eh, Bos, Bos! Itu bukan?" Lelaki berusia tiga puluhan dengan berewok tipis menggamit lengan pria berotot yang dia panggil bos. Pria berotot mengecek ponselnya dan berujar pelan, "Pakai jilbab, tinggi sekitar seratus enam puluhan, mata biru cerah." Sejenak ia menjeda ucapannya dan melabuhkan tatapan pada sosok Arisha yang berdiri di depan pintu gerbang. "Sepertinya betul wanita itu, tapi kita tidak bisa melihat warna matanya." "Sudah. Sikat saja, Bos! Infonya kan cuma dia wanita muda yang tinggal di rumah itu." "Tumben otakmu encer! Ayo! Ikuti mobil itu!" titah si bos ketika dilihatnya target mereka naik taksi dan segera pergi. Arisha belum menyadari bahaya yang mengintainya. Ia duduk tenang dalam
"Y–Ya, Ha–halo!" "Kedengarannya kau sedang cemas. Ada apa?" "M–maaf, Tuan. S–saya tidak sengaja menabrak seseorang. S–sekarang masih di Rumah Sakit. K–korban b–butuh transfusi darah." "Rumah Sakit mana?" Laki-laki itu pun menyebutkan posisinya. "Tunggu di sana. Aku akan menyusul." "T–terima kasih, Tuan." Di sebuah rumah mewah, seorang laki-laki berusia kepala tiga melangkah cepat. "Bian, mau ke mana? Bukankah Jono belum menjemput?" Bian yang tergesa menuruni tangga menghentikan langkah. "Dia menabrak seseorang, Kek. Maaf. Aku buru-buru." Bian sengaja memenuhi undangan kakeknya—Tuan Adiyaksa, saat jam makan siang. Rencananya ia akan kembali ke kantor. Tak disangka terjadi kendala ketika Jono akan menjemputnya. "Biar sopir kakek yang mengantarmu." Kurang dari satu jam, Bian tiba di Rumah Sakit. "M–maaf, Tuan. S–saya tidak bisa menghindar ketika wanita itu menyeberang tiba-tiba." "Nanti saja kita bahas itu. Sekarang, di mana dia?" "Masih di IGD, Tuan. Belum mendapatkan da
"Di mana cucu saya?" Tuan Adiyaksa memasuki ruang perawatan Arisha seperti orang kesetanan. Dareen yang sedang membersihkan wajah Arisha tegak keheranan. "Tuan Adiyaksa? Angin apa yang membawa Anda kemari?" Mengenali sosok berkharisma yang diselimuti kemarahan itu, memaksa Dareen untuk menekan emosinya sendiri. "Tuan Muda Hart? Apa yang dilakukan anak muda sesibuk Anda di sini? Siapa yang sakit? Nyonya Hart-kah?" Setengah badan Arisha bagian atas memang terhalang oleh Dareen. Jadi, Tuan Adiyaksa tidak dapat melihat siapa yang berbaring di atas ranjang. "Oh, bukan, Tuan. Oma saya baik-baik saja. Saya menemani istri saya yang terkena musibah." "Apa? Istri? Anda sudah menikah?" Tuan Adiyaksa tak mampu menyembunyikan kekagetannya. "Kami memang hanya melangsungkan pernikahan sederhana dan tertutup, Tuan. Belum sempat mengadakan resepsi." "Ah, begitu rupanya." Tuan Adiyaksa manggut-manggut. "Oh ya, tadi saya sempat mendengar Anda menyebut cucu. Apakah cucu Anda juga dirawat di sin
"Kakek, ternyata dugaanku benar, Kek!" Bian kembali ke ruangan Arisha dengan dada bergemuruh. Keringatnya mengucur deras karena berlari dari laboratorium. "Apa?" Tuan Adiyaksa yang masih diselimuti kesedihan menyahut bingung. "Ini!" Bian menyodorkan kertas yang dibawanya dari laboratorium. "Kakek baca saja!" Tuan Adiyaksa bersikap patuh pada perintah cucunya. Pada kertas itu tertulis bahwa Arisha sungguh putri biologis dari Ning. Arisha benar-benar cucu kandungnya. "Bian, b–bagaimana bisa kau mendapatkan hasil tes DNA ini?" tanya Tuan Adiyaksa. Bian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Nona Arisha, Tuan Muda Hart. Saya terpaksa meminta perawat untuk mengambil sampel darah Nona Arisha saat transfusi." "Jadi, kau yang mendonorkan darah?" imbuh Tuan Adiyaksa. "Iya, Kek. Maaf, aku juga mengambil potongan rambut Bibi Ning dari ruang koleksi Kakek." Tuan Adiyaksa memang memiliki kebiasaan untuk menyimpan sebagian rambut anak cucunya setelah acara cukuran. Ternyata ada gunany
"Halo, Silla Sayang." Suara Anggita dibuat seramah dan selembut mungkin. Tak lupa dipoles dengan seulas senyum manis dari balik masker, yang tentu saja hanya basa-basi. Silla menapak mundur. Walau tak dapat melihat dengan jelas wajah Anggita, dia mengenali suara wanita itu. "Kok menghindar sih, Sayang. Tante ke sini karena daddy yang minta. Silla mau ketemu mommy, 'kan? Ayo tante antar!" Sejenak Silla terpengaruh dan mulai bimbang. Sebab, ia memang merindukan sosok Arisha yang tak kunjung pulang. Anggita tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerak cepat, jemarinya membekap mulut Silla dengan sehelai sapu tangan. Bergegas dia menggendong Silla dan membawanya ke mobil. "Bocah nakal ini akhirnya berguna juga," cibir Anggita, melirik Silla yang terbaring di kursi belakang lewat kaca spion. "Kamu akan tinggal bersamaku sampai daddy-mu bersedia menikahiku, Silla." Sejuta rencana berseliweran di benak Anggita, tentang bagaimana ia akan menggunakan Silla sebagai senjata untuk merunt
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah