"Dareen! Keterlaluan kamu ya!" Nyonya Rosalind merangsek masuk ke ruang kerja Dareen tanpa mengetuk pintu dan dengan wajah merah padam. "M–maaf, Tuan. S–saya sudah menjalankan perintah Anda dan menyampaikan kepada Nyonya Rosalind bahwa Anda sangat sibuk, tapi Nyonya Rosalind tetap memaksa naik untuk menemui Anda." Bi Minah gemetar, takut Dareen akan murka kepadanya. Bi Minah hafal betul tabiat Dareen. Lelaki itu paling benci bila konsentrasi kerjanya diganggu. "Bibi boleh keluar." "Hah!" Bi Minah tercengang. Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding. Dareen sama sekali tidak memarahinya. Bahkan, nada bicara Dareen terdengar datar. Ah, sungguh sebuah ketenangan sebelum badai. Daripada menyerahkan nyawa dihantam badai kemurkaan Dareen, lebih baik ia segera menghindar. "Permisi, Tuan." Tinggallah Dareen dan Nyonya Rosalind yang saling beradu tatap. "Jadi begini caramu menyambut kedatangan istri ayahmu, hah? Suka ataupun tidak, aku tetap ibumu, Dareen!" Dareen tersenyum mengejek.
"Nona Davina, Anda boleh pulang!" kata aparat polisi sambil membuka gembok sel tahanan Davina. Davina yang duduk, bersandar lesu di pojok ruangan melompat kaget dengan perasaan suka cita dan setengah tak percaya. "Aku bebas, Pak?" "Ya." "Terima kasih, Pak!" Davina tersenyum lebar, keluar dari ruangan sempit dan lembap itu. Begitu matanya menangkap sosok Nyonya Rosalind, ia menghambur memeluk sang tante. "Aku tahu Tante pasti akan membebaskan aku." "Ayo, cepat! Kita harus berkemas!" Walau tak mengerti apa maksud perkataan Nyonya Rosalind, Davina mengimbangi langkah tergesa-gesa wanita paruh baya itu, meninggalkan kantor polisi. Tiba di apartemen, Nyonya Rosalind menurunkan dua koper besar dari atas lemari. "Kita tidak punya banyak waktu. Bereskan barang-barangmu!" titah Nyonya Rosalind, mulai memindahkan pakaiannya dari dalam lemari ke koper. "Tante, kita mau ke mana? Bukankah kita akan menggagalkan pernikahan Kak Dareen?" tanya Davina bingung. Sejenak Nyonya Rosalind menjeda
"Wanita itu berhasil diamankan, Bro, tapi dia tak mau buka mulut," lapor James dari seberang telepon.Dareen sedang membuka kancing lengan kemejanya dan membiarkan ponsel terjepit antara telinga dan bahunya."Tahan dia! Aku akan segera ke sana."Dareen menutup telepon setelah selesai menggulung lengan bajunya. Ia melesat meninggalkan kamar hotel, tempat dirinya dan Arisha akan menginap semalam.Arisha yang baru saja keluar dari kamar mandi mengernyit heran."Ah, aku pergi sebentar. Kalau kamu lelah, tidur saja. Tidak usah menungguku. Aku ada urusan penting dengan James.""Ya." Arisha menyahut singkat.Sebersit rasa syukur memantik senyum di bibirnya. Setidaknya ia selamat untuk malam ini."Ngomong-ngomong, ke mana dia malam-malam begini?" tanya Arisha pada diri sendiri. "Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku."Arisha merebahkan diri di atas kasur. Menyenangkan sekali akhirnya ia bisa menikmati waktu senggang tanpa gangguan dari Dareen setelah menjalani prosesi akad nikah. Walau tidak melan
Deg! Deg! Detak jantung Arisha dan Dareen bertalu-talu dan saling bersambut. Kecanggungan yang tercipta seakan menghentikan perputaran waktu. 'Tidak! Ini tidak benar!' Arisha tersadar, lalu bergegas melepaskan diri dari belitan lengan kekar Dareen. Tanpa kata ia melesat ke kamar mandi, seiring dengan gema azan subuh yang berkumandang. Dareen masih terpaku di tempatnya. Menjilati bibirnya yang menyisakan sensasi aneh dan menggetarkan jiwa. 'Manis. Aku menyukai rasanya.' Dareen senyum-senyum sendiri sambil mengusap jejak bibir Arisha. Ia duduk dan melirik ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Fantasi liarnya membayangkan apa yang dilakukan Arisha di dalam sana. "Aish, sial! Bisa-bisanya gadis pembangkang itu memancing rasa lapar singa jantanku di pagi hari." Mendugas Dareen beranjak menuju balkon. Hawa dingin segera menghantam kulitnya dan memaksanya untuk menaikkan kerah kemeja. Ya Tuhan, saking lelahnya ia bahkan tak sempat mengganti pakaian dan kini ia melakukan push up
Dareen menarik kopernya dengan langkah pasti meninggalkan pintu keluar Bandara. Mobil yang dikendarai James menunggu kedatangannya. James membantu memasukkan koper milik Dareen ke bagasi, lalu menyusul masuk ke mobil. "Langsung pulang?" "Aku merindukan kasurku." James tersenyum jahil. "Kurasa yang paling kau rindukan adalah sosok yang menemanimu di atas kasur itu." "Sialan!" Dareen meninju lengan James. Tak urung pipinya merona merah. "Sudah. Tidak usah malu-malu begitu. Akui saja kalau kau telah jatuh cinta padanya." James semakin getol menggoda Dareen. "Toh kalian juga sudah sah. Wajar kan kalau kau merindukannya. Lagian, masih pengantin baru malah terbang sendiri. Kenapa nggak bulan madu saja sekalian?" Dareen bersandar dan memejamkan mata, pura-pura tidur. Ia malas melayani candaan James. "Ck! Malah ditinggal tidur." James menggerutu jengkel, lalu menginjak pedal gas lebih dalam. Seketika kuda besi tunggangannya melesat dengan kecepatan tinggi. "Hei, Bro! Bangun! Sudah sa
"Bos, Bos yakin wanita itu akan keluar hari ini?" "Yakinlah. Mana ada wanita yang tahan dikurung seperti burung dalam sangkar. Wanita, ratunya belanja dan kumpul bareng." Dua orang pria duduk menunggu di dalam mobil. Pandangan mereka fokus pada satu titik—pintu gerbang rumah Dareen. "Eh, Bos, Bos! Itu bukan?" Lelaki berusia tiga puluhan dengan berewok tipis menggamit lengan pria berotot yang dia panggil bos. Pria berotot mengecek ponselnya dan berujar pelan, "Pakai jilbab, tinggi sekitar seratus enam puluhan, mata biru cerah." Sejenak ia menjeda ucapannya dan melabuhkan tatapan pada sosok Arisha yang berdiri di depan pintu gerbang. "Sepertinya betul wanita itu, tapi kita tidak bisa melihat warna matanya." "Sudah. Sikat saja, Bos! Infonya kan cuma dia wanita muda yang tinggal di rumah itu." "Tumben otakmu encer! Ayo! Ikuti mobil itu!" titah si bos ketika dilihatnya target mereka naik taksi dan segera pergi. Arisha belum menyadari bahaya yang mengintainya. Ia duduk tenang dalam
"Y–Ya, Ha–halo!" "Kedengarannya kau sedang cemas. Ada apa?" "M–maaf, Tuan. S–saya tidak sengaja menabrak seseorang. S–sekarang masih di Rumah Sakit. K–korban b–butuh transfusi darah." "Rumah Sakit mana?" Laki-laki itu pun menyebutkan posisinya. "Tunggu di sana. Aku akan menyusul." "T–terima kasih, Tuan." Di sebuah rumah mewah, seorang laki-laki berusia kepala tiga melangkah cepat. "Bian, mau ke mana? Bukankah Jono belum menjemput?" Bian yang tergesa menuruni tangga menghentikan langkah. "Dia menabrak seseorang, Kek. Maaf. Aku buru-buru." Bian sengaja memenuhi undangan kakeknya—Tuan Adiyaksa, saat jam makan siang. Rencananya ia akan kembali ke kantor. Tak disangka terjadi kendala ketika Jono akan menjemputnya. "Biar sopir kakek yang mengantarmu." Kurang dari satu jam, Bian tiba di Rumah Sakit. "M–maaf, Tuan. S–saya tidak bisa menghindar ketika wanita itu menyeberang tiba-tiba." "Nanti saja kita bahas itu. Sekarang, di mana dia?" "Masih di IGD, Tuan. Belum mendapatkan da
"Di mana cucu saya?" Tuan Adiyaksa memasuki ruang perawatan Arisha seperti orang kesetanan. Dareen yang sedang membersihkan wajah Arisha tegak keheranan. "Tuan Adiyaksa? Angin apa yang membawa Anda kemari?" Mengenali sosok berkharisma yang diselimuti kemarahan itu, memaksa Dareen untuk menekan emosinya sendiri. "Tuan Muda Hart? Apa yang dilakukan anak muda sesibuk Anda di sini? Siapa yang sakit? Nyonya Hart-kah?" Setengah badan Arisha bagian atas memang terhalang oleh Dareen. Jadi, Tuan Adiyaksa tidak dapat melihat siapa yang berbaring di atas ranjang. "Oh, bukan, Tuan. Oma saya baik-baik saja. Saya menemani istri saya yang terkena musibah." "Apa? Istri? Anda sudah menikah?" Tuan Adiyaksa tak mampu menyembunyikan kekagetannya. "Kami memang hanya melangsungkan pernikahan sederhana dan tertutup, Tuan. Belum sempat mengadakan resepsi." "Ah, begitu rupanya." Tuan Adiyaksa manggut-manggut. "Oh ya, tadi saya sempat mendengar Anda menyebut cucu. Apakah cucu Anda juga dirawat di sin