Saat roh anak kecil itu menghilang dan menyelinap cepat ke tubuh Rani, suasana di ruangan berubah menjadi dingin dan mencekam. Semua orang yang berada di sana terdiam, seolah waktu berhenti seketika. Wajah Rani mendadak pucat, dan tubuhnya bergetar. Mata Rani yang awalnya penuh dengan kesadaran kini berubah kosong, seolah-olah jiwanya telah terserap ke dalam kegelapan. Rani merasakan tubuhnya seakan melayang, diterobos oleh kekuatan yang tak terlihat. Pandangannya gelap, tetapi dia bisa merasakan dirinya bergerak cepat melewati cahaya yang teramat terang, seperti diseret menuju sesuatu yang tak diketahui. Dia tidak bisa berteriak, tidak bisa melawan, hanya mengikuti arus kuat yang menariknya. Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Gelap itu perlahan memudar, dan pandangan Rani berubah. Kini, dia bukan lagi berada di ruangan Nyai Murni, melainkan di suatu tempat lain, seperti menyaksikan sebuah film yang diputar di hadapannya. Namun kali ini, bukan sekadar menonton. Sem
Setelah suasana tegang mereda dan tubuh Rani mulai pulih dari pengalaman menyeramkan yang baru saja dialaminya, Nyai Murni dan Bu Marni memutuskan untuk memberikan Rani waktu beristirahat. Meskipun masih terguncang oleh penglihatan masa lalu yang mengerikan, Rani merasa bahwa dia harus mengambil jeda sejenak untuk menenangkan diri. Dia pun memutuskan untuk kembali ke penginapan bersama Bu Marni. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, Rani terus memikirkan penglihatannya. Sosok bangsawan kejam dan anak perempuannya yang malang masih menghantui pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada rumah itu? Dan bagaimana jenglot yang diperoleh bangsawan tersebut masih membawa malapetaka hingga saat ini? Sesampainya di penginapan, Rani segera menuju kamar dan berbaring di atas ranjang. Dia mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan masa lalu yang kelam terus menghantui pikirannya. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi dia tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Sesuatu yang lebih besar sedang me
Setelah pertemuannya dengan Nyai Murni, Rani merasa tekadnya semakin kuat. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang kutukan yang mengikat rumah tua itu, dan untuk melakukannya, dia perlu menggali lebih dalam. Pikiran tentang buku-buku tua di perpustakaan desa terus menghantuinya. Dia ingat pernah melihat beberapa buku yang mungkin memiliki kaitan dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dengan cepat, Rani memutuskan untuk kembali ke perpustakaan di desa tersebut. Perpustakaan itu terletak di salah satu sudut desa, sebuah bangunan kecil dan sederhana yang jarang dikunjungi. Hanya beberapa penduduk setempat yang tahu keberadaannya, dan bahkan lebih sedikit lagi yang datang untuk membaca buku di sana. Namun, bagi Rani, tempat itu adalah harta karun yang tak ternilai, penuh dengan rahasia masa lalu yang tersembunyi dalam tumpukan buku-buku berdebu. Ketika dia tiba di perpustakaan, suasana sunyi langsung menyambutnya. Hanya ada bunyi gemerisik angin yang menerobos celah-celah jende
Setelah rani pergi dari perpustakaan tersebut, Rani merasa ada sesuatu yang lebih besar yang mengancam daripada apa yang bisa dia bayangkan. Kepalanya penuh dengan berbagai spekulasi tentang roh bangsawan yang kejam dan jenglot yang masih bersembunyi di rumah tua itu. Malam telah larut ketika Rani akhirnya sampai di penginapan. Hawa dingin menusuk kulit, menambah suasana seram yang telah menyelimuti pikirannya. Setelah memastikan pintu terkunci, Rani duduk di meja kecil di samping ranjang, mencoba membaca buku catatannya untuk mencari pola atau petunjuk yang mungkin terlewatkan. Namun, matanya yang lelah membuat fokusnya pecah. Berkali-kali ia mencoba membaca ulang paragraf yang sama tanpa bisa mengingat apa pun. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya mulai menekan kesadarannya. Rani memutuskan untuk beristirahat. Setelah memastikan lilin padam, dia merebahkan diri dan menarik selimut, berharap mendapatkan sedikit ketenangan. Tapi malam itu, ketenangan adalah sesuatu yang terlalu jau
Rina duduk di meja kecil di kamarnya, masih merasakan dinginnya malam yang menyelimuti. Buku catatannya penuh dengan coretan mimpi buruk yang terus mengganggu tidurnya. Namun kali ini, rasa takut yang selalu menghantuinya mulai berubah menjadi kemarahan. Rina tahu bahwa roh bangsawan yang kejam itu adalah penyebab semua kengerian ini. Dia sadar bahwa roh itu tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai—menjaga rahasia kelamnya tetap terkubur. Dalam kemarahannya, Rina merasa bahwa dirinya tidak lagi bisa diam. Dia tidak bisa terus menerus dihantui oleh roh yang bersembunyi di rumah tua itu. Bangsawan tersebut telah mengorbankan keluarganya, bahkan putri kecilnya sendiri, demi ambisi dan kekuasaan. Bayangan gadis kecil yang selalu muncul dalam mimpinya adalah bukti betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh bangsawan tersebut. Rina bertekad untuk mengungkap kebenaran dan menghentikan teror ini sekali untuk selamanya. Namun, malam itu, mimpi buruknya justru semakin mengerikan. Dala
Rina merasa hatinya dipenuhi kekhawatiran setelah berbicara dengan Bu Marni. Penjelasan tentang masa lalu bangsawan dan anak perempuannya yang hilang memberikan gambaran baru tentang rumah tua itu, tetapi juga memunculkan lebih banyak pertanyaan. Terlebih lagi, Bu Marni seakan memberikan peringatan yang sangat penting. Rina merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Bu Marni, terutama setelah semua yang telah mereka lalui bersama. Mengapa Bu Marni tampak begitu khawatir dan berusaha menghalangi penyelidikan ini? Hari itu, Rina bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang Bu Marni. Ia merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang siapa sebenarnya Bu Marni dan apa yang mungkin disembunyikannya. Jika Bu Marni memiliki keterlibatan dalam misteri ini, maka itu bisa menjadi kunci untuk mengungkap seluruh kebenaran. Setelah sarapan, Rina memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia mulai dengan mengamati Bu Marni dari jauh. Rina melihat Bu Marni sedang membersihkan ruang makan dan ber
Rina duduk di ruang makan penginapan yang sepi, menatap penuh perhatian ke arah Bu Marni yang duduk di depannya. Wanita itu tampak gelisah, berbeda dengan sosoknya yang biasa terlihat tenang dan penuh kendali. Hari ini, Bu Marni telah memutuskan untuk membuka sedikit kisah masa lalunya, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari Rina. "Baiklah, Nak. Aku tahu kau sudah lama menunggu penjelasan," kata Bu Marni sambil menghela napas panjang. "Ini bukan hal yang mudah bagiku untuk dibicarakan, tapi kau berhak tahu sebagian dari kebenarannya." Rina menatap wanita tua itu, merasa ada ketegangan di udara. Sesuatu dalam diri Bu Marni tampak menahan dirinya untuk tidak mengungkapkan semuanya. Namun, Rina tetap diam, membiarkan Bu Marni mengambil alih pembicaraan. "Beberapa tahun yang lalu, aku tinggal di kota ini bersama keluargaku. Kami hidup cukup sederhana, namun ada hal yang selalu menjadi misteri dalam keluarga kami: rumah tua di ujung jalan itu," kata Bu Marni dengan suara yang mulai
Rina berdiri diam di depan pintu kamar Bu Marni, telinganya masih menempel di permukaan kayu yang dingin. Bisikan-bisikan di dalam kamar terdengar samar, tapi jelas. Ada orang lain di dalam kamar Bu Marni—suara seorang wanita. Rina mengernyit, mencoba mendengar lebih jelas, namun kata-katanya terlalu pelan untuk dipahami. Namun, tiba-tiba, suara langkah kaki di dalam kamar itu mulai mendekat. Mereka tampaknya bergerak ke arah pintu. Rina cepat-cepat mundur beberapa langkah, hatinya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik sebuah pilar di koridor sempit penginapan, memastikan tubuhnya tak terlihat. Dari tempat persembunyiannya, Rina mengintip. Pintu kamar Bu Marni berderit terbuka perlahan, dan seorang wanita keluar dari dalam kamar. Rina menahan napas, memperhatikan dengan saksama. Wanita itu seumuran dengan Bu Marni, tampak sekitar akhir lima puluhan atau awal enam puluhan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya menunjukkan ekspresi yang tegas namun agak murung, seakan sedang membawa
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal