Rina berdiri diam di depan pintu kamar Bu Marni, telinganya masih menempel di permukaan kayu yang dingin. Bisikan-bisikan di dalam kamar terdengar samar, tapi jelas. Ada orang lain di dalam kamar Bu Marni—suara seorang wanita. Rina mengernyit, mencoba mendengar lebih jelas, namun kata-katanya terlalu pelan untuk dipahami. Namun, tiba-tiba, suara langkah kaki di dalam kamar itu mulai mendekat. Mereka tampaknya bergerak ke arah pintu. Rina cepat-cepat mundur beberapa langkah, hatinya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik sebuah pilar di koridor sempit penginapan, memastikan tubuhnya tak terlihat. Dari tempat persembunyiannya, Rina mengintip. Pintu kamar Bu Marni berderit terbuka perlahan, dan seorang wanita keluar dari dalam kamar. Rina menahan napas, memperhatikan dengan saksama. Wanita itu seumuran dengan Bu Marni, tampak sekitar akhir lima puluhan atau awal enam puluhan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya menunjukkan ekspresi yang tegas namun agak murung, seakan sedang membawa
Malam telah larut, dan Rina kembali berada di dalam kamarnya yang gelap. Angin dingin yang berhembus dari celah jendela kayu tua membuat bulu kuduknya meremang. Udara di dalam kamar seakan lebih berat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata sedang mengintai setiap gerakannya. Rina sudah berbaring di atas ranjang, tapi pikirannya terus berputar, tak bisa tenang. Pikirannya penuh dengan misteri Bu Marni dan wanita bernama Ratna. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Rina menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, tak lama setelah ia memejamkan mata, rasa kantuk mulai bergulir, dan dirinya seolah diseret masuk ke dalam dunia yang lebih dalam dan lebih gelap. Mimpi yang mengerikan itu kembali. Ia berdiri di tempat yang sama seperti mimpi sebelumnya—lorong panjang dan gelap yang dindingnya berlumuran noda darah dan goresan-goresan aneh. Bau busuk yang menusuk hidungnya masih memenuhi udara. Kali ini, mimpi terasa lebih kuat, lebih nyata. Setiap deti
Pagi itu, setelah malam penuh gangguan dan mimpi buruk yang mencekam, Rina merasa hatinya dipenuhi rasa penasaran yang tak terjelaskan. Poltergeist dan mimpi-mimpi buruk yang ia alami jelas merupakan bagian dari misteri yang lebih besar, tapi ada sesuatu yang lain yang mulai mengusik pikirannya—keadaan para warga desa yang tinggal di sekitar rumah tua itu. Selama ini, ia terlalu fokus pada dirinya sendiri dan pengalamannya dengan Bu Marni, sampai-sampai ia lupa bahwa desa ini juga mungkin menjadi tempat terjadinya hal-hal aneh. Rina memutuskan untuk keluar dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan warga desa. Apakah mereka juga mengalami fenomena gaib yang sama dengannya? Atau justru sebaliknya, mereka hidup dengan tenang tanpa gangguan apa pun? Setelah sarapan seadanya, Rina keluar dari penginapan Bu Marni. Angin dingin yang menyambutnya seakan membawa kesan kelam desa ini ke dalam pikirannya lagi. Rumah-rumah tua dengan dinding kusam berdiri berjajar di sepanjang jalan,
Rina terbangun pagi itu dengan tekad yang bulat. Setelah perjalanan panjang menyelidiki desa ini dan fenomena gaib yang terus menghantui beberapa rumah, dia mulai menyadari bahwa kunci untuk melawan semua ini mungkin bukan hanya melalui penyelidikan logis semata. Ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang berkaitan dengan keberanian dan keyakinan, dua hal yang ia sadari semakin penting saat menghadapi kekuatan yang tak terlihat. Dia mulai mengingat bagaimana ia mengalami gangguan poltergeist dan mimpi buruk yang mencekam. Pada saat-saat terburuk, ketika rasa takut benar-benar menguasai dirinya, gangguan itu semakin kuat. Tapi ketika dia berhasil menenangkan dirinya, menghadapi rasa takut dengan keyakinan dan keberanian, roh-roh itu mulai melemah, seolah-olah keberaniannya membentuk perisai tak terlihat yang melindunginya. Rina merasa bahwa dia perlu berbagi pengalaman ini dengan warga desa yang selama ini hidup dalam ketakutan. Banyak dari mereka yang telah lama hidup di bawah bayang
Pagi itu, Rina duduk di kamar penginapan dengan pikiran yang melayang jauh. Udara pagi yang biasanya sejuk terasa berat baginya, seperti ada sesuatu yang menekan dari setiap sudut ruangan. Mimpi buruk dan fenomena poltergeist yang terus mengganggu tidurnya membuat Rina tidak bisa tenang. Ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: **mengapa roh bangsawan itu begitu kuat**? Setiap upaya yang dilakukan, baik oleh dirinya, Bu Marni, maupun Nyai Murni, selalu berakhir dengan kegagalan. Bahkan setelah mereka menemukan jengglot yang diyakini sebagai sumber kekuatannya, mereka tetap tidak bisa menghentikan teror yang terus melanda desa. Rina menarik napas dalam-dalam, membuka kembali buku harian tua yang selama ini ia teliti. Di dalam buku harian itu, tercatat dengan jelas bagaimana bangsawan tersebut memperoleh kekuatan selama hidupnya. Ia adalah sosok yang kejam dan ambisius, tidak segan-segan mengorbankan siapa saja, termasuk keluarganya sendiri, untuk memperoleh kekuatan gaib yang l
Malam itu, udara terasa begitu berat dan dingin. Bulan menggantung rendah di langit, menciptakan bayangan yang panjang dan menyeramkan di atas tanah. Rina duduk di atas tempat tidurnya, tidak bisa memejamkan mata meskipun sudah larut malam. Jarum jam di kamarnya menunjukkan pukul 2 pagi. Kebetulan malam itu adalah malam Jumat, malam yang sering dianggap keramat oleh penduduk desa. Selama beberapa hari terakhir, pikirannya terus dipenuhi oleh misteri yang belum terpecahkan, oleh rahasia yang tampaknya semakin dalam setiap kali ia mencoba mengungkapnya. Saat itu, Rina mendengar sesuatu—suara langkah kaki pelan di luar rumah. Instingnya langsung membuatnya waspada. Dia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak salah dengar. Ada suara pintu yang dibuka dengan hati-hati, hampir tanpa suara. Rina berdiri dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju jendela kamarnya, lalu mengintip ke luar. Sosok Bu Marni terlihat samar-samar dalam kegelapan, berjalan keluar rumah. Tanpa membuat s
Pagi itu, matahari terbit dengan lembut di balik pegunungan, tetapi suasana di dalam hati Rina terasa lebih gelap dari biasanya. Kengerian malam sebelumnya masih terekam jelas dalam ingatannya. **Bayangan Bu Marni dan Nyai Murni** yang melakukan ritual dengan sesajen dan darah, serta sosok misterius yang muncul dari dalam kegelapan rumah tua, tak bisa ia lupakan begitu saja. Semalam, setelah menyaksikan semuanya, Rina memutuskan untuk tidak terus mengikuti mereka lebih lama. Sesuatu tentang perilaku mereka berdua semakin hari semakin membuatnya curiga. Setelah kembali dengan tergesa-gesa ke penginapannya malam itu, Rina nyaris tidak bisa tidur. Perasaan tidak nyaman terus menghantuinya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, mencari-cari penjelasan logis tentang apa yang telah dia lihat, tapi setiap kali ingatannya kembali ke ritual itu, perasaannya malah semakin memburuk. Ada sesuatu yang salah, dan dia merasa sudah waktunya untuk bertindak. Pagi itu, saat Rina terbangun, kepalanya te
Malam itu, suasana di penginapan terasa lebih sunyi dari biasanya. Rina duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ke luar jendela yang terbuka sedikit. Angin malam yang dingin meniupkan kabut tipis ke dalam kamarnya, menciptakan perasaan mencekam yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang tidak beres. Sejak ia memutuskan untuk menjauh dari Bu Marni dan Nyai Murni, Rina merasa semakin sering diganggu oleh mimpi buruk dan fenomena aneh. Namun, malam ini, gangguan itu terasa lebih intens, seolah-olah ada sesuatu yang ingin memaksanya menyerah. Pikirannya melayang kembali pada rumah tua di sudut jalan dan roh bangsawan yang terus mengusik hidupnya. Sejak kecil, Rina tak pernah terlalu percaya pada hal-hal gaib, tapi semua yang ia alami di desa ini telah mengubah pandangannya. **Gangguan supranatural** yang terjadi padanya bukan hanya sekadar mimpi atau halusinasi. Itu nyata, dan itu terus memburu dirinya. Rina berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam sambil merapalkan doa dalam ha