Malam itu, udara terasa begitu berat dan dingin. Bulan menggantung rendah di langit, menciptakan bayangan yang panjang dan menyeramkan di atas tanah. Rina duduk di atas tempat tidurnya, tidak bisa memejamkan mata meskipun sudah larut malam. Jarum jam di kamarnya menunjukkan pukul 2 pagi. Kebetulan malam itu adalah malam Jumat, malam yang sering dianggap keramat oleh penduduk desa. Selama beberapa hari terakhir, pikirannya terus dipenuhi oleh misteri yang belum terpecahkan, oleh rahasia yang tampaknya semakin dalam setiap kali ia mencoba mengungkapnya. Saat itu, Rina mendengar sesuatu—suara langkah kaki pelan di luar rumah. Instingnya langsung membuatnya waspada. Dia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak salah dengar. Ada suara pintu yang dibuka dengan hati-hati, hampir tanpa suara. Rina berdiri dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju jendela kamarnya, lalu mengintip ke luar. Sosok Bu Marni terlihat samar-samar dalam kegelapan, berjalan keluar rumah. Tanpa membuat s
Pagi itu, matahari terbit dengan lembut di balik pegunungan, tetapi suasana di dalam hati Rina terasa lebih gelap dari biasanya. Kengerian malam sebelumnya masih terekam jelas dalam ingatannya. **Bayangan Bu Marni dan Nyai Murni** yang melakukan ritual dengan sesajen dan darah, serta sosok misterius yang muncul dari dalam kegelapan rumah tua, tak bisa ia lupakan begitu saja. Semalam, setelah menyaksikan semuanya, Rina memutuskan untuk tidak terus mengikuti mereka lebih lama. Sesuatu tentang perilaku mereka berdua semakin hari semakin membuatnya curiga. Setelah kembali dengan tergesa-gesa ke penginapannya malam itu, Rina nyaris tidak bisa tidur. Perasaan tidak nyaman terus menghantuinya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, mencari-cari penjelasan logis tentang apa yang telah dia lihat, tapi setiap kali ingatannya kembali ke ritual itu, perasaannya malah semakin memburuk. Ada sesuatu yang salah, dan dia merasa sudah waktunya untuk bertindak. Pagi itu, saat Rina terbangun, kepalanya te
Malam itu, suasana di penginapan terasa lebih sunyi dari biasanya. Rina duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ke luar jendela yang terbuka sedikit. Angin malam yang dingin meniupkan kabut tipis ke dalam kamarnya, menciptakan perasaan mencekam yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang tidak beres. Sejak ia memutuskan untuk menjauh dari Bu Marni dan Nyai Murni, Rina merasa semakin sering diganggu oleh mimpi buruk dan fenomena aneh. Namun, malam ini, gangguan itu terasa lebih intens, seolah-olah ada sesuatu yang ingin memaksanya menyerah. Pikirannya melayang kembali pada rumah tua di sudut jalan dan roh bangsawan yang terus mengusik hidupnya. Sejak kecil, Rina tak pernah terlalu percaya pada hal-hal gaib, tapi semua yang ia alami di desa ini telah mengubah pandangannya. **Gangguan supranatural** yang terjadi padanya bukan hanya sekadar mimpi atau halusinasi. Itu nyata, dan itu terus memburu dirinya. Rina berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam sambil merapalkan doa dalam ha
Malam itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Rina duduk di sudut kamarnya, merasa tubuhnya mulai lelah namun pikirannya terus terjaga. Pengalaman supranatural yang ia alami malam sebelumnya masih membekas di benaknya, tapi rasa takut yang menguasai tubuhnya tak mampu menghalangi rasa ingin tahunya. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, meski itu berarti mempertaruhkan nyawanya. Rina merasakan ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi malam ini—seolah-olah energi negatif yang mengelilinginya semakin kuat dan mendekat. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, suara gemerisik terdengar di luar kamarnya. Itu bukan suara biasa—suara itu seolah datang dari dalam dinding, menggema di setiap sudut ruangan. Rina mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya ilusi akibat stres. Namun, suara itu semakin jelas, semakin nyata. Kakinya terasa dingin, dan hawa aneh mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Suara itu kini seperti langkah kaki yang bergerak mendekati pintu kamarnya. D
Pagi itu, Rina terbangun dengan kepala penuh kebingungan. Meski telah beristirahat, pikirannya terus dihantui oleh berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya dilakukan Bu Marni dan Nyai Murni di rumah tua dengan sesajen dan darah malam itu? Apa kaitannya dengan gangguan yang dialami sebagian penduduk desa? Dan mengapa beberapa rumah tampaknya tidak terpengaruh sama sekali oleh fenomena gaib tersebut? Rina duduk di tepi tempat tidurnya, memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Ada terlalu banyak misteri yang saling bertumpuk, dan ia merasa bahwa semuanya terhubung, meskipun hubungannya belum jelas. Rasa penasaran mendorongnya untuk terus mencari jawaban, meski itu berarti menghadapi risiko yang semakin besar. Rina meraih buku harian tua yang kemarin ia baca. Catatan di dalamnya seolah-olah memberikan petunjuk, namun belum cukup jelas untuk dijadikan panduan. Ia mencoba mengingat kembali semua yang telah ia alami sejak kedatangannya di desa ini. Ganggua
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di desa tetangga untuk menenangkan diri dan mendapatkan perspektif baru, Rina akhirnya kembali ke desa asal di mana misteri rumah tua dan segala keanehan masih mengganggunya. Langkah kakinya terasa berat ketika mendekati gerbang desa, seolah ada sesuatu yang mencoba menahannya. Namun, rasa penasaran dan tekadnya untuk mengungkap kebenaran lebih kuat dari rasa takut yang mulai merayap di hatinya. Baru saja Rina sampai di pintu gerbang desa, ponselnya berdering. Ia terkejut melihat nama yang muncul di layar—Lisa, salah satu teman kampusnya yang sudah lama tidak menghubunginya. Rina mengangkat telepon itu dengan sedikit ragu, tapi kemudian menyapanya dengan ramah. “Halo, Lisa. Ada apa?” tanya Rina, mencoba terdengar biasa meski pikirannya masih terganggu oleh apa yang baru saja ia alami. “Hei, Rina! Apa kabar? Lama banget nggak dengar kabar dari kamu,” suara Lisa terdengar ceria di ujung sana. “Oh ya, aku sama beberapa teman kampus ada yang mau
Dua hari berlalu dengan cepat, dan selama waktu itu, Rina berusaha untuk mengumpulkan pikirannya. Dia mencoba menjauhkan dirinya dari semua kejadian supranatural yang telah mengguncangnya selama ini. Meskipun jauh di dalam hatinya, ia tetap dihantui oleh misteri desa tersebut, dia memutuskan untuk fokus menunggu kedatangan teman-teman kampusnya. Mereka adalah orang-orang yang bisa dia percayai, dan dia berharap kehadiran mereka akan memberi sedikit kelegaan dari kegelisahan yang terus-menerus menghantui pikirannya. Sore itu, matahari sudah mulai terbenam ketika Rina mendengar deru mobil di depan penginapannya. Rina segera keluar dan melihat Lisa, Ardi, dan Siska turun dari mobil dengan wajah penuh semangat. Wajah mereka cerah, kontras dengan suasana muram yang selalu menyelimuti desa yang ditinggalkan Rina. "Rina!" Lisa melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya, segera berlari menghampiri Rina dan memeluknya erat. "Kamu kelihatan kurusan, deh. Apa kamu baik-baik saja di sin
Malam itu, setelah kembali dari perjalanan singkat mereka di sekitar desa, suasana di penginapan mulai terasa aneh. Hawa malam terasa lebih dingin daripada biasanya, dan langit tampak mendung tanpa bintang. Rina dan teman-temannya memutuskan untuk menghabiskan malam di ruang tamu penginapan, mengobrol untuk menghilangkan ketegangan yang mereka rasakan sejak sore tadi. Siska duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, sementara Lisa dan Ardi sibuk memainkan permainan kartu. Rina, yang duduk di sudut ruangan, tidak bisa sepenuhnya fokus pada obrolan mereka. Pikirannya masih dipenuhi oleh rasa gelisah tentang rumah tua di desa, Bu Marni, Nyai Murni, dan semua misteri yang mengelilingi tempat itu. Ditambah lagi, perasaan bersalah mulai muncul di benaknya—apakah kehadiran teman-temannya di sini akan membahayakan mereka juga? “Ayo, Rina! Kamu diam terus dari tadi, sini ikut main!” seru Ardi, memaksa Rina untuk ikut bergabung dalam permainan. Rina tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal