Malam itu, setelah kembali dari perjalanan singkat mereka di sekitar desa, suasana di penginapan mulai terasa aneh. Hawa malam terasa lebih dingin daripada biasanya, dan langit tampak mendung tanpa bintang. Rina dan teman-temannya memutuskan untuk menghabiskan malam di ruang tamu penginapan, mengobrol untuk menghilangkan ketegangan yang mereka rasakan sejak sore tadi. Siska duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, sementara Lisa dan Ardi sibuk memainkan permainan kartu. Rina, yang duduk di sudut ruangan, tidak bisa sepenuhnya fokus pada obrolan mereka. Pikirannya masih dipenuhi oleh rasa gelisah tentang rumah tua di desa, Bu Marni, Nyai Murni, dan semua misteri yang mengelilingi tempat itu. Ditambah lagi, perasaan bersalah mulai muncul di benaknya—apakah kehadiran teman-temannya di sini akan membahayakan mereka juga? “Ayo, Rina! Kamu diam terus dari tadi, sini ikut main!” seru Ardi, memaksa Rina untuk ikut bergabung dalam permainan. Rina tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.
Keesokan harinya, setelah gangguan menyeramkan yang dialami oleh teman-teman Rina, mereka berkumpul di ruang tamu penginapan sederhana tempat mereka menginap. Wajah Lisa dan Ardi terlihat lelah, tetapi semangat untuk membantu Rina belum pudar. Rina memutuskan bahwa kini saatnya untuk bertindak lebih terencana. Semua yang mereka alami tidak boleh lagi ditangani secara acak. “Saya sudah memutuskan,” Rina memulai, sambil melihat ke arah Lisa dan Ardi yang menatapnya dengan serius. “Kita harus membagi tugas. Gangguan yang kalian alami semalam menunjukkan kalau roh itu memang tahu keberadaan kita. Dan saya yakin, roh bangsawan itu tidak akan diam saja.” Lisa menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang masih menghantui pikirannya. Namun, ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk mundur. Ardi, meski tampak lebih tenang, juga tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang melintas di wajahnya. Namun demikian, keduanya siap untuk membantu Rina. Keesokan harinya, Rina, Lisa, dan Ardi memulai
Hari itu sepertinya akan berjalan seperti biasa ketika Rina, Lisa, dan Ardi memulai aktivitas mereka. Namun, rasa gelisah yang menyelimuti suasana pagi terasa begitu nyata. Angin dingin yang bertiup dari arah pegunungan semakin memperkuat aura suram di desa itu. Penduduk yang biasanya sudah keluar untuk bekerja tampak bersembunyi di dalam rumah mereka. Semua orang merasakan sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Rina duduk di kamar penginapan sambil memeriksa catatannya. Pikirannya terus mengitari semua hal yang telah mereka pelajari—tentang Bu Marni, Nyai Murni, warga kaya di desa itu, dan roh bangsawan yang terus menghantui mereka. Sebuah pola sudah mulai terbentuk di pikirannya, namun tetap ada sesuatu yang mengganjal. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari luar jendela, diikuti oleh jeritan Lisa dari kamar sebelah. Rina langsung berdiri dan berlari keluar kamar. Di lorong penginapan, Ardi juga muncul dari kamarnya, wajahnya pucat. "Ada a
Di sebuah rumah megah yang tersembunyi di balik pepohonan lebat, Bu Marni dan Nyai Murni duduk di sebuah ruangan yang hanya diterangi oleh lampu minyak. Kedua perempuan itu saling berpandangan dengan ekspresi serius, memikirkan ancaman yang semakin nyata dari Rina dan teman-temannya. "Rina itu terlalu pintar," kata Bu Marni sambil menghela napas panjang. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan kekhawatiran yang jarang terlihat. "Sejak dia datang ke desa ini, dia tak pernah berhenti menyelidiki. Dia seperti tidak kenal takut." Nyai Murni yang duduk di sebelahnya mengangguk. "Benar. Apalagi teman-temannya yang lain juga terlihat tak kalah gigih. Mereka berani menghadap gangguan gaib yang bahkan membuat penduduk desa ketakutan. Kalau kita tidak segera bertindak, mereka bisa menggagalkan rencana kita." "Apakah kamu yakin, Nyai? Rina ini bukan orang sembarangan. Aku takut kalau dia benar-benar menemukan kebenaran, persembahan kita kepada roh bangsawan itu akan terganggu," ucap Bu
Pagi itu, Rina terbangun dengan perasaan tidak tenang. Mimpi buruk dan gangguan supranatural terus menghantuinya setiap malam, seolah ada kekuatan besar yang berusaha menyeretnya ke dalam kegelapan. Namun, dia merasa ada sesuatu yang lebih mendesak—perasaan bahwa situasi di desa ini semakin memburuk dan tidak hanya berhubungan dengan roh bangsawan. Rina duduk di ranjangnya, merenungkan apa yang harus dilakukan. Pengamatannya pada Bu Marni dan Nyai Murni semakin menambah kecurigaan, terutama setelah melihat sesajen dan darah yang mereka bawa ke rumah tua. Namun, dia belum sepenuhnya mengerti maksud dan tujuan ritual itu. Apakah mereka benar-benar berusaha mengusir roh jahat, atau malah memperkuatnya? Sambil menatap keluar jendela, Rina merasakan desakan untuk segera bertindak. Gangguan gaib di desa ini semakin parah, dan dia tidak bisa terus menunggu. Sementara itu, teman-temannya Lisa dan Ardi telah berhasil mengungkap bahwa beberapa penduduk desa yang tidak mendapatkan gangguan gai
Pagi yang tenang di penginapan Bu Marni mendadak berubah menjadi mencekam ketika suara teriakan keras terdengar dari luar. Rina yang masih mengumpulkan kesadarannya setelah malam penuh mimpi buruk, segera bergegas keluar kamar bersama teman-temannya, Lisa dan Ardi. Mereka semua terkejut melihat segerombolan warga sudah berkumpul di depan penginapan, wajah mereka penuh amarah dan kecurigaan. Warga yang tidak pernah mendapatkan gangguan gaib, yang sebelumnya selalu bersikap netral, kini berdiri di barisan terdepan. Mereka adalah orang-orang kaya yang memiliki rumah megah di kota lain. Dengan suara lantang, salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan sorot mata penuh kebencian, berteriak, "Kalian! Sejak kalian datang, desa kami tidak pernah tenang. Gangguan ini adalah ulah kalian! Kalian harus pergi dari desa ini sekarang!" Rina tertegun, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia mencoba untuk tetap tenang, menatap warga satu per satu, berharap bisa menemukan wajah yang bersikap
Setelah Rina dan teman-temannya menetap di desa lain, mereka mulai menjalani hari-hari dengan lebih tenang. Meski demikian, Rina tidak bisa sepenuhnya melupakan apa yang telah mereka alami di desa sebelumnya. Perasaan cemas dan tanda-tanda bahaya masih menggantung di pikirannya, namun setidaknya mereka merasa lebih aman untuk sementara waktu. Namun, tidak lama setelah mereka menetap, Rina mulai merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Pada awalnya, ia tidak bisa menentukan apa yang salah, hanya perasaan tidak nyaman yang aneh setiap kali ia berada di tempat ramai atau sendirian di malam hari. Tubuhnya terasa gelisah, dan ada sensasi samar yang membuat bulu kuduknya berdiri, seolah-olah ia sedang diawasi. Seiring berjalannya waktu, perubahan itu menjadi lebih jelas. Rina mulai melihat hal-hal yang seharusnya tidak mungkin dilihat oleh mata manusia biasa. Dalam penglihatannya, kadang-kadang muncul bayangan-bayangan kabur yang berkeliaran di sekitar tempat-tempat tertentu. P
Suasana di desa baru yang ditempati Rina dan teman-temannya terasa sangat berbeda dari desa sebelumnya. Desa ini tampak lebih tenang, dengan aura kedamaian yang kental menyelimuti setiap sudutnya. Tidak ada getaran aneh atau bisikan-bisikan gaib seperti yang mereka alami di desa tua itu. Jalanan desa dipenuhi oleh pepohonan yang rindang, dan angin bertiup sepoi-sepoi, membawa hawa segar yang meresap ke dalam jiwa mereka. Rina memutuskan untuk mengajak Lisa dan Ardi berjalan-jalan mengelilingi desa. Mereka ingin mengenal tempat baru ini lebih dekat dan mencari tahu apakah ada sesuatu yang menarik di sini. Sambil menikmati suasana, ketiganya bercengkerama ringan, membicarakan berbagai hal yang lebih menyenangkan untuk sejenak melupakan pengalaman-pengalaman menakutkan yang mereka alami sebelumnya. Saat mereka melewati sebuah masjid yang terletak di pusat desa, perhatian Rina tertuju pada seorang pria tua berjubah putih yang sedang duduk di halaman masjid. Pandangan pria itu tertuju la
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal