“Bunda, kakak sakit. Ayo bawa kakak ke dokter.”
Keningku berkerut mendengar penuturan Maura, “Sakit? Sakit apa, kakak tidak bilang apa-apa pada Bunda.”“Sakit gatal, Bunda. Lehernya merah-merah, jalannya juga seperti penguin.”Deg!“Adek kapan lihatnya?”“Kemarin.”Kemarin aku memang tidak ada di rumah, aku lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Berharap saat anak-anak libur sekolah aku bisa membawa mereka jalan-jalan. Aku sebenarnya tidak pernah khawatir meninggalkan kedua putriku di rumah karena ada Bi Asih yang menemani.Tapi apa yang kudengar ini membuat dada terasa sesak. Pikiranku langsung menuju pada hal negatif, sebagai orang tua jelas aku sangat takut.Anak kecil seperti Maura juga tidak akan mungkin mengada-ada. Dia memang selalu menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya.“Sini, duduk dulu.” Aku menarik Maura untuk duduk di pangkuanku.“Tapi adek mau main, Bun.”“Iya, sebentar. Bunda tanya, adek kalau malam tidur sama kakak?”“Oh iya, adek lupa kasih tahu. Kemarin adek tidur di kamar kakak tapi bangunnya di kamar Bunda. Kata kakak adek tidur sambil berjalan, memang ada orang tidur sambil berjalan, Bun?”Tanganku mengepal. Ini pasti ada yang salah, aku harus mencari tahu. Dari dulu aku sangat menjaga anakku agar tidak sampai terpengaruh pergaulan buruk dari luar.“Adek main dulu, Bunda mau mandi.”Maura turun dari pangkuanku dan kembali melanjutkan acara bermainnya.Kutinggalkan dia sendiri. Langkahku bergerak menuju kamar Melody, untuk memeriksa apakah akan ada yang terlihat mencurigakan di sana.Baru saja masuk ke dalam kamar, mataku menyipit melihat sesuatu yang mengintip dari bawah ranjang Melody.Menggunakan kaki, kutarik keluar benda itu. Hatiku mencelos melihat celana dalam laki-laki di bawah ranjang putriku. Dengan perasaan yang campur aduk aku melihat lebih dekat benda keramat entah milik siapa itu. Kusingkap sprei yang menjuntai ke bawah, rasanya dada ini semakin memanas melihat alat kontrasepsi yang hanya dibuka saja tapi dalamnya masih utuh.Benakku sudah dipenuhi pikiran buruk apalagi melihat jika celana dalam ini bukan baru tapi bekas pakai, meskipun baru kenapa bisa ada di kamar putriku.Aku jijik bahkan merasa ingin muntah saat mencium bau tidak sedap saat meneliti lebih dekat. Aku bukan anak kemarin sore yang tidak tahu bau cairan itu, aku seorang wanita yang pernah menikah.Di rumah ini tidak ada laki-laki, hanya ada aku dan kedua putriku juga Bi Asih. Aku dan suamiku sudah lama berpisah.Apa yang kulihat dan apa yang kudengar dari Maura semakin memperkuat dugaan jika putriku sudah melakukan hal diluar batas.Sayup-sayup kudengar suaranya mengucap salam, dia baru pulang sekolah.“Mel, Melody!” Kupanggil putri sulungku itu.Terdengar derap langkah kaki mendekat, “Apa, Bun?”Aku berdiri, mengarahkan telunjuk pada benda yang masih di posisinya, “Itu punya siapa? Kenapa ada di kamar kamu.”“Ih, jijik. Punya siapa itu, Bun?” Dia malah balik bertanya dengan ekspresi jijik melihat benda yang membuat perasaanku tidak karuan.Kuperhatikan dengan lekat mimik wajahnya, menelisik apakah ada kebohongan di sana.“Harusnya Bunda yang bertanya, Mel!”Dia mengedikkan bahunya, “Mana aku tahu, Bun.”Aku menatap curiga padanya, “Kamu tidak membawa lelaki ke sini ‘kan?”“Apa sih, Bun. Bunda tahu sendiri aku di rumah tidak pernah sendiri, ada Bi Asih dan Maura. Coba tanya Bi Asih pernah tidak aku bawa laki-laki ke sini, teman-temanku yang perempuan saja tidak pernah berani main karena Bunda galak.” Dia mencebik, melipat tangan di dada.Melody, dia masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Sedangkan Maura, adiknya itu baru saja berusia enam tahun.“Terus ini punya siapa?”“Mana aku tahu, Bun. Tanya Bi Asih, siapa tahu Bi Asih bawa pacarnya,” celetuk Melody.“Kalau pun iya, kenapa harus di kamar kamu. Bi Asih punya kamarnya sendiri.”“Sudah deh, Bun. Kenapa malah aku dituduh yang tidak-tidak sih, aku capek ini baru pulang sekolah. Makin tidak betah aku lama-lama tinggal di sini!”Percuma jika terus bertanya kalau Melody tidak ingin jujur, aku pun berharap apa yang dikatakannya benar. Aku tidak sanggup jika memang kecurigaanku benar adanya. Tapi harus kucaritahu juga kenapa bisa benda ini ada di kamar Melody. Dan soal perkataan Maura tadi.Tapi aku sama sekali tidak melihat bercak merah yang disebutkan oleh Maura di leher Melody, apa mungkin dia menutupinya.Melody selalu mengancam akan pergi ke tempat ayahnya, jadi aku pun tidak ingin mendesak jika belum ada bukti yang akan menyudutkannya.“Bunda keluar dulu, aku mau mandi habis itu istirahat,” ujarnya.Aku pun mengalah, keluar dari kamar Melody.Pintu langsung dikuncinya dari dalam. Tidak biasanya Melody seperti ini.Saat makan malam, terpaksa aku harus memberikan obat tidur secara diam-diam pada minuman Melody. Aku sama sekali tidak bisa menunggu sampai besok untuk mencari tahu.Setelah memastikan Melody tertidur, aku masuk menggunakan kunci cadangan.Maafkan Bunda yang lancang, Nak. Tapi ini demi kebaikanmu juga, Bunda tidak ingin kamu sampai terjerumus pada pergaulan tidak baik.Kuraih tangan Melody untuk membuka akses ponselnya. Hal pertama yang kucari adalah aplikasi pesan berlogo gagang telepon.Percakapan paling atas langsung kubuka.Mataku terbelalak, tangan langsung gemetar saat melihat foto -foto Melody yang memamerkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Air mata berjatuhan tanpa bisa kutahan.[Beruntungnya aku memilikimu. Kamu bikin aku selalu on, Baby. Minggu depan aku akan mampir ke rumahmu lagi.]Dadaku seperti dihantam palu godam apalagi saat menggulir layar ke atas dan mendapati foto lelaki yang saat ini mengisi hatiku.Gedebug!“Hwaaa, Bundaaa ....”Aku tersentak mendengar suara jatuh dan teriakan Maura. Kulempar ponsel itu begitu saja ke kasur Melody lalu berlari keluar menuju sumber suara.Maura terduduk di ambang pintu kamar mandi, aku langsung menghampirinya.“Kenapa, sayang?” Kuangkat tubuhnya, dia masih menangis sesegukan.“Sakit.” Dia meringis sambil memegangi kepala belakangnya.Kebiasaannya, keluar dan masuk kamar mandi sambil berlari, beginilah akibatnya. Memang anak-anak susah untuk dikasih tahu.Dengan lembut aku mengelus kepalanya sampai tangis Maura mereda.“Masih sakit?”“Sedikit,” cicitnya.“Ingat pesan Bunda, kalau masuk dan keluar kamar mandi tidak boleh sambil berlari. Ya?”Maura mengangguk kecil.Saking kagetnya aku sampai lupa soal tujuanku tadi ke kamar Melody. Rasanya aku masih tidak percaya, masalahnya Nino, kekasihku itu pamit untuk pemotretan ke Paris satu minggu yang lalu dan akan kembali minggu depan. Jangan sampai pikiran buruk ini membuat hubunganku dan Nino retak, lagi
[Ra, aku di jalan ke rumahmu. Sekalian menginap, anak-anak di rumah ‘kan?]Lamunanku buyar saat melihat di lintas layar pesan masuk dari Mas Tian.[Kenapa tiba-tiba, Mas? Anak-anak sudah tidur.] balasku.[Rumahmu dekat dari tempatku sekarang. Rianti tidak kuat jika harus cari hotel, tahu sendiri kondisinya.]Istrinya Mas Tian memang sedang hamil muda, katanya mudah sekali merasa mual jadi tidak bisa lama naik mobil. Rianti bukan alasan aku dan Mas Tian berpisah, kami berpisah karena memang sudah tidak cocok. Tapi hubungan kami sebagai orang tua anak-anak masih terjalin dengan baik.Bukan hanya sekali, sebenarnya sudah biasa Mas Tian dan Rianti menginap di sini, mereka tinggal di luar kota. Tapi tetap saja Melody tidak menerima, hanya Maura yang bisa sedikit akrab dengan istri baru ayahnya itu.“Sayang, kenapa layarnya hitam?”Oh, ya ampun. Aku lupa sambungan panggilan belum terputus.“Iya, Mas.” Aku tersenyum dengan kaku.“Ada masalah apa? Cerita, aku akan mendengarnya.”Aku menggelen
“Tidak ada apa-apa, Mas.”“Serra!”“Ini masalah perempuan.”“Tapi dia putriku, Serra.”“Percaya padaku, tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah anak gadismu dan kekasihnya jadi aku masih bisa menangani, tenang saja.” Aku melangkah keluar meninggalkan Mas Tian yang masih berada di kamar Melody.Malu jika pagi-pagi sudah ribut begini apalagi di depan Rianti. Sebenarnya dia itu wanita baik tapi tetap saja wanita yang berlabel ibu tiri itu buruk di mata Melody.Hari ini sengaja aku tidak masuk ke kantor, pekerjaanku pun sudah selesai kemarin. Masalah ini jelas sangat penting.“Bunda, hari ini adek tidak mau sekolah ya,” ujar Maura saat aku ikut bergabung di meja makan.“Kenapa?”“Mau jalan-jalan bersama Ayah.”Selalu seperti ini, saat ayahnya datang bukan di hari libur maka Maura akan meliburkan dirinya sendiri. Tidak masalah toh dia masih di taman kanak-kanak, jarang juga bertemu dengan ayahnya.“Ti, nanti aku titip Maura ya. Mau antar Melody ke sekolah.” Aku hanya menghabiskan segelas susu
Sejak pemasangan cctv, belum ada sesuatu yang aneh terlihat. Melody tampak anteng dengan ponselnya, menggilir video-video di sosial media. Ada chat masuk pun hanya dari grup teman sekolahnya saja.Kenapa saat aku sudah menyiapkan semua ini, malah tidak ada hal aneh yang terjadi.“Bunda adek juga mau nonton.”Aku terhenyak saat Maura membuka pintu kamar, dengan cepat mengalihkan ke layar utama. Meski tak kulihat, rekaman akan tetap tersimpan secara otomatis.“Sini.”“Bunda, nanti liburan sekolah kita mau ke mana?”“Adek mau ke mana?”“Mau ke pantai, Bunda.”“Iya, nanti kita ke sana.”Minggu depan sudah libur sekolah. Dan aku baru ingat jika laki-laki itu mengatakan akan datang ke rumah ini di minggu depan tapi dia tidak menyebutkan hari apa.Aku ingin tahu apakah Melody akan ikut saat kuajak atau memilih tetap di rumah dan bertemu dengan lelaki itu.Tiga hari sudah aku menunggu dan tidak ada yang mencurigakan. Aku jadi kesal sendiri, tidak mungkin Melody tahu aku memasang cctv di kamar
Kancing kemeja yang dikenakan Melody sudah terbuka. Tanda merah di dadanya membuat kepalaku langsung mendidih.Tidak hanya Nino dan Melody yang ada di ruangan ini, tapi ada tiga orang lainnya, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.Di meja terlihat botol-botol wine yang sebagian sudah kosong.“Sayang, karena kebetulan ada di sini. Sekalian kuperkenalkan pada teman-temanku.”Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, berbalik menatap Nino.“Mereka teman-temanmu?” tanyaku dengan dada bergemuruh.“Iya. Sebelum menemuimu aku bertemu dengan mereka karena kamu bilang mau berlibur bersama dengan anak-anakmu, aku tidak mau ganggu. Tapi ternyata kita berlibur di tempat yang sama.”“Siapa gadis itu?” Tanganku mengarah pada Melody.“Dia temanku juga? Jangan berpikir macam-macam, sayang. Aku di sini tidak sendiri.”“Apa yang terjadi padanya sampai terkapar begitu?”“Dia meminum wine satu gelas dengan sekali teguk jadi langsung tepar. Tapi aku tidak minum, sungguh. Aku sudah berjanji padamu.”N
“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit man
Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De