[Ra, aku di jalan ke rumahmu. Sekalian menginap, anak-anak di rumah ‘kan?]
Lamunanku buyar saat melihat di lintas layar pesan masuk dari Mas Tian.[Kenapa tiba-tiba, Mas? Anak-anak sudah tidur.] balasku.[Rumahmu dekat dari tempatku sekarang. Rianti tidak kuat jika harus cari hotel, tahu sendiri kondisinya.]Istrinya Mas Tian memang sedang hamil muda, katanya mudah sekali merasa mual jadi tidak bisa lama naik mobil. Rianti bukan alasan aku dan Mas Tian berpisah, kami berpisah karena memang sudah tidak cocok. Tapi hubungan kami sebagai orang tua anak-anak masih terjalin dengan baik.Bukan hanya sekali, sebenarnya sudah biasa Mas Tian dan Rianti menginap di sini, mereka tinggal di luar kota. Tapi tetap saja Melody tidak menerima, hanya Maura yang bisa sedikit akrab dengan istri baru ayahnya itu.“Sayang, kenapa layarnya hitam?”Oh, ya ampun. Aku lupa sambungan panggilan belum terputus.“Iya, Mas.” Aku tersenyum dengan kaku.“Ada masalah apa? Cerita, aku akan mendengarnya.”Aku menggeleng, “Tidak ada.”“Tidak usah bohong begitu, aku sangat mengenalmu, sayang.”Tapi aku seperti tidak mengenalmu. Apa semua sikap manis ini hanya topeng saja? Kenapa hatiku jadi gundah begini.Dia memang paling peka, selalu tahu saat aku sedang bermasalah tapi tidak akan mungkin aku menceritakan kecurigaan ini. Aku akan cari tahu sendiri tanpa melibatkan siapa pun.“Tadi kulihat punggungmu seperti ada bekas goresan.” Aku langsung mengalihkan pembicaraan.“Oh, biasa. Tahu sendiri keponakanku semua sangat aktif dan juga nakal, ya aku sering jadi korbannya.”Hatiku akan semakin sakit jika menduga-duga. Aku menghentikan obrolan dengan alasan ingin istirahat.Meski alasan yang dikatakan terdengar mungkin saja tapi jika benakku sudah terkontaminasi oleh pikiran buruk maka akan sulit untuk percaya.Sambil menunggu Mas Tian dan Rianti datang, aku memesan cctv dan juga alat penyadap pada temanku. Aku perlu alat-alat itu untuk menunjang apa yang akan kulakukan.***Mengingat obrolanku tadi malam dengan Bi Asih, pagi itu aku langsung mendatangi kamar Melody.“Ayo ke dokter,” ujarku sambil menarik tangan Melody.“Mau apa? Aku tidak sakit, Bun.” Dia melepaskan tangannya.“Tadi malam Bi Asih bilang kalau kamu alergi sampai lehernya merah-merah, jadi kita ke rumah sakit agar kamu segera diobati.”Bola matanya melebar, sepertinya kaget mendengar apa yang kukatakan.“Sudah diobati kok.”“Sejak kapan? Sejak kapan kamu punya alergi, Mel?” tanyaku dengan sorot mata tajam.Melody mencebik, “Bunda terlalu sibuk sampai anaknya punya alergi saja tidak tahu.”Aku tidak akan mungkin setidak peduli itu pada anak-anak. Kalau pun iya Melody punya alergi maka aku orang pertama yang akan tahu.“Kamu jangan bohongi Bunda!”Melody memutar bola matanya, “Memang Bunda pikir kalau itu bukan alergi apa? Bekas cupang? Seburuk itu pikiran Bunda soal aku?” teriaknya.Tok! Tok! Tok!“Serra, Melody. Ada apa?”Aku sampai lupa jika ada Mas Tian di sini.“Bunda minta maaf soal tuduhan ini, Bunda hanya takut saja. Kamu tahu ‘kan Bunda sangat menyayangimu, Bunda tidak mau kamu dirusak oleh siapa pun.”Melody menghempaskan tanganku, “Bunda memang mau buat aku tidak betah ya? Bunda mau aku tinggal bersama ayah dan ibu tiri itu. Mau aku menderita di sana?”Tenang, Serra. Kalau ikut tersulut juga yang ada masalah semakin besar nantinya. Aku harus meredam emosi sekarang.Mengajak bicara Melody memang tidak bisa dengan cara seperti ini, dia akan lebih keras lagi.“Tidak, Bunda tidak mungkin begitu. Bunda ingin kamu tetap di sini.”Dia melengos lalu melangkah membuka pintu kamarnya, berjalan melewati sang ayah yang tampak terheran-heran.Mas Tian menjatuhkan pandangan padaku, “Apa maksudnya tadi, Ra? Ada apa ini sebenarnya?”Bersambung ....“Tidak ada apa-apa, Mas.”“Serra!”“Ini masalah perempuan.”“Tapi dia putriku, Serra.”“Percaya padaku, tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah anak gadismu dan kekasihnya jadi aku masih bisa menangani, tenang saja.” Aku melangkah keluar meninggalkan Mas Tian yang masih berada di kamar Melody.Malu jika pagi-pagi sudah ribut begini apalagi di depan Rianti. Sebenarnya dia itu wanita baik tapi tetap saja wanita yang berlabel ibu tiri itu buruk di mata Melody.Hari ini sengaja aku tidak masuk ke kantor, pekerjaanku pun sudah selesai kemarin. Masalah ini jelas sangat penting.“Bunda, hari ini adek tidak mau sekolah ya,” ujar Maura saat aku ikut bergabung di meja makan.“Kenapa?”“Mau jalan-jalan bersama Ayah.”Selalu seperti ini, saat ayahnya datang bukan di hari libur maka Maura akan meliburkan dirinya sendiri. Tidak masalah toh dia masih di taman kanak-kanak, jarang juga bertemu dengan ayahnya.“Ti, nanti aku titip Maura ya. Mau antar Melody ke sekolah.” Aku hanya menghabiskan segelas susu
Sejak pemasangan cctv, belum ada sesuatu yang aneh terlihat. Melody tampak anteng dengan ponselnya, menggilir video-video di sosial media. Ada chat masuk pun hanya dari grup teman sekolahnya saja.Kenapa saat aku sudah menyiapkan semua ini, malah tidak ada hal aneh yang terjadi.“Bunda adek juga mau nonton.”Aku terhenyak saat Maura membuka pintu kamar, dengan cepat mengalihkan ke layar utama. Meski tak kulihat, rekaman akan tetap tersimpan secara otomatis.“Sini.”“Bunda, nanti liburan sekolah kita mau ke mana?”“Adek mau ke mana?”“Mau ke pantai, Bunda.”“Iya, nanti kita ke sana.”Minggu depan sudah libur sekolah. Dan aku baru ingat jika laki-laki itu mengatakan akan datang ke rumah ini di minggu depan tapi dia tidak menyebutkan hari apa.Aku ingin tahu apakah Melody akan ikut saat kuajak atau memilih tetap di rumah dan bertemu dengan lelaki itu.Tiga hari sudah aku menunggu dan tidak ada yang mencurigakan. Aku jadi kesal sendiri, tidak mungkin Melody tahu aku memasang cctv di kamar
Kancing kemeja yang dikenakan Melody sudah terbuka. Tanda merah di dadanya membuat kepalaku langsung mendidih.Tidak hanya Nino dan Melody yang ada di ruangan ini, tapi ada tiga orang lainnya, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.Di meja terlihat botol-botol wine yang sebagian sudah kosong.“Sayang, karena kebetulan ada di sini. Sekalian kuperkenalkan pada teman-temanku.”Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, berbalik menatap Nino.“Mereka teman-temanmu?” tanyaku dengan dada bergemuruh.“Iya. Sebelum menemuimu aku bertemu dengan mereka karena kamu bilang mau berlibur bersama dengan anak-anakmu, aku tidak mau ganggu. Tapi ternyata kita berlibur di tempat yang sama.”“Siapa gadis itu?” Tanganku mengarah pada Melody.“Dia temanku juga? Jangan berpikir macam-macam, sayang. Aku di sini tidak sendiri.”“Apa yang terjadi padanya sampai terkapar begitu?”“Dia meminum wine satu gelas dengan sekali teguk jadi langsung tepar. Tapi aku tidak minum, sungguh. Aku sudah berjanji padamu.”N
“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit man
Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran