“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran
“Kau pelakunya ‘kan?” Nino mencengkeram pundak Edwin.Edwin langsung mengangkat tangannya, “Wah, aku mana mungkin berani menyentuh Melody. Dia ‘kan cinta mati padamu, Bang. Aku tidak akan berani menyentuh milikmu.”Mataku membulat mendengar itu. Apa benar yang dikatakan Edwin kalau Melody sangat mencintai Nino?“Jangan sembarangan bicara kau itu! Apa yang kau katakan membuat semuanya semakin rumit!”“Abang tidak mau tanggung jawab?”Semua mata langsung tertuju pada sosok Melody yang berjalan mendekat dengan berderai air mata.“Untuk apa? Bukan aku yang menghamilimu.” Nino tetap teguh dengan apa yang diakuinya.Melody menggeleng, “Abang menganggap aku wanita murahan yang bisa ditinggalkan begitu saja setelah apa yang sudah kita lakukan?”“Memang apa sih yang sudah aku lakukan padamu? Bertemu saja baru dua kali tapi lagakmu seperti kita punya hubungan!”“Mel, bicara yang sebenarnya. Tidak usah takut, katakan siapa laki-laki itu?” Aku menghampiri Melody yang kini tangisnya sudah pecah.“
“Edwin kabur, Bu.”“Apa?” Ibu juga tampak kaget.“Tadi Mas Tian menelponku, dia berpikir tesnya sudah selesai.” Rasanya lemas sekali lututku.Apa yang dilakukan Edwin malah mempertegas jika dirinya memang ada hubungannya atau mungkin dia yang membuat Melody hamil makanya tidak berani untuk melakukan tes DNA.“Biarkan saja, Bun. Toh ayah bayiku itu Bang Nino bukan Edwin.”Ini yang membuat kepalaku seperti ingin pecah, Melody malah terus bicara dan mengatakan Nino pelakunya sedangkan di sini gelagat Edwin yang mencurigakan. Nino bahkan terlihat santai dan tidak merasa diintimidasi“Bunda tidak akan percaya pada siapapun, Bunda hanya akan percaya pada hasil tes yang dilakukan barusan. Kalau memang Edwin kabur berarti dia pelakunya.”“Bukan Edwin, Bun!” Melody berdecak sambil mengentakkan kakinya kesal.“Kenapa kamu malah membela Edwin? Sikapnya itu sangat mencurigakan.”“Sudah, Bun!” Nino mengelus pundakku
“Dok, apa hasil tes Edwin memang cocok?” Aku juga harus melihat hasilnya.Dokter membuka amplop yang kedua dan membacanya, seperti tadi memperlihatkan kertas itu pada kami.“Hasil tesnya cocok.”“Tidak mungkin!” Melody malah menjerit histeris, “Ed, ini tidak benar ‘kan? Kamu bilang-”“Kita bicara di rumah saja.” Aku membawa Melody keluar dari ruangan dokter.Tidak mungkin membicarakan hal pribadi di rumah sakit apalagi dengan reaksi Melody seperti ini. Ada yang masih mengganjal dalam hatiku meski tidak bisa dipungkiri kalau memang aku merasa lega karena bukan Nino yang melakukannya.Soal hubunganku dan Nino masih bisa dibicarakan di waktu yang lain karena untuk sekarang yang terpenting adalah urusan Melody selesai.Di belakang mobilku, mobil Nino mengikuti, Edwin juga di sana.“Bunda. Hasil tesnya pasti salah, mungkin keliru.”“Mel. Tolong jangan membuat Bunda semakin pusing. Apa kamu tadi tidak mendeng
Soal keyakinan memang sensitif, aku jadi serba salah di sini. Edwin harus tanggung jawab tapi di sisi lain tidak mungkin aku memaksanya untuk pindah keyakinan meski Edwin sendiri mengatakan bersedia jika memang orang tuanya mengizinkan Edwin menikah dengan MelodyAku pikir setelah tahu hasil tes DNA, semuanya akan selesai tapi malah ada masalah yang lebih besar lagi. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Mas Hadi, dia juga kaget karena ternyata pelakunya bukan orang yang selama ini kita tuduh, memalukan memang dan kasihan Nino tapi namanya juga semua bukti terarah padanya jadi aku percaya saja.Hari ini aku akan menemui orang tua Edwin, seorang diri. Mas Tian masih sibuk dengan pekerjaannya sedangkan aku tidak ingin Nino ikut campur dalam urusan keluargaku, sudah cukup kemarin dia dituduh dan dijadikan tersangka. Aku tidak ingin menyusahkannya lagi.“Bu, Non Mel belum makan dari kemarin,” ujar Bi Asih.“Sudah biarkan saja, Bi. Nanti juga kalau lap
“Memang aku mau menikah denganmu?”“Harus mau, sayang. Aku sudah menunggu begitu lama untuk bersanding denganmu di pelaminan. Masalah juga sebentar lagi selesai.”Kuhela napas panjang, “Jangan membicarakan lagi soal kita.”“Tante dan Bang Nino benar-benar pacaran?”“Tidak.”“Iya.”Aku menjawab sejujurnya karena sekarang kami tidak ada hubungan apapun sedangkan Nino malah masih mengakui kita masih ada hubungan. Padahal aku masih ingat betul beberapa bulan lalu memutuskan hubungan ini.“Kalau kalian pacaran kenapa Melody tidak tahu?”“Panjang ceritanya, Ed. Soal pernikahan kamu dan Melody, nanti Tante bicarakan dengan ayahnya Melody. Untuk sementara kamu tinggal di-”“Aku akan tinggal di rumah temanku.” Edwin memotong pembicaraanku.“Tidak. Kau di rumahku saja, bahaya kalau kau kabur nanti aku yang kena batunya!”Hari itu Nino membawa Edwin ke rumahnya. Kasihan juga anak itu, kalau sampai menginap di rumah temannya siapa yang akan mengurus dalam kondisi sakit seperti ini. Anak yang naka